Wayu Mareta: Pesta demokrasi menang harus dibayar mahal |
Menghitung kasus pileg 2014, sangat melelahkan. Terlalu
banyak untuk disebut satu persatu. Kerja KPU jauh dari standar. Lembga penyelenggara
pemilu kali ini bahkan memiliki predikat
pemecah rekor amboradul. Wahyu Maretha Dwiantari
melempar solusi untuk pilpres Juli 2014, dan pemilu 2019.
ILUSTRASI KECIL:
diduga kuat, terjadi penggelembungan suara untuk salah satu parpol, pada pileg
2014 di Desa Watusigar dan Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Kecurigaan
itu menurut pengamat politik segmen perempuan Wahyu Maretha Dwiantari adalah sangat
berlebihan. Pileg 2014 tak cukup dengan
dicurigai, melainkan harus dikawal dengan solusi teknologi sederhana.
Kecurigaan sebagaimana
tersebut di atas memaksa PPK setempat membongkar 26 kotak suara. Pada proses periksa ulang data, PPK salah dalam memahami
peraturan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui kadernya mempertanyakan
kemampuan PPK.
PPK Kecamatan
Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, bekerja super keras, membongkar 14 kotak suara
untuk Desa Watusigar dan 12 kotak suara untuk Desa Beji, guna mencocokan data
yang ada pada C1 plano dan C1 folio, Selsa 15/4/2014 lalu.
Data perolehan
suara DPR RI untuk Partai Nasdem Caleg No. Urut 1 pada Plano C1 tertulis memperoleh
suara 1. Sontak salah satu saksi interupsi, karena yang tertulis di C1 folio
adalah caleg no urut 2. Dan PPK pun membuka C1 folio berhologram. Ternyata
benar, caleg no. urut 2 memperoleh angka suara 1. Plano C1 diralat disesuaikan
dengan C1 folio berhologram.
Sakti (26),
warga Lempongsari, Monumen Jogja Kembali, Sleman, Yogyakarta, salah satu kader
PKS mendekati Budi Haryanto, selaku Panwaskab Gunungkidul. Dia memprotes,
ketidakpahaman PPK dalam membaca ulang data dari PPS. Menurut Sakti, data primairnya
adalah C1 plano.
Mustinya,
menurut Sakti, C1 plano, tidak boleh diubah. Alasannya, C1 plano adalah data
primair. Apa yang tertulis di C1 plano, diisi saat penghitungan suara
dilakukan. Dan itu disaksikan sejumlah saksi. Menurut Sakti, kemungkinan salah
adalah kecil. Sementara C1 hologram itu adalah pindahan dari C1 plano, yang
hanya dikerjakan oleh salah satu petugas PPS.
Wahyu Maretha
Dwiantari, anggota pengamat politik segmen perempuan menilai, kekisruhan
seperti di Watusigar dan Beji, Kecamatan
ngawen, mustinya tidak perlu terjadi. Kalau toh terlanjur seperti sekarang ini,
dengan dukungan teknologi sederhana. Menurut Maretha, C1 plano bisa diduplikasi dalam bentuk foto
ataupun video.
Para saksi yang
ditugaskan di masing-masing TPS harus siap menyimpan C1 plano dalam bentuk
rekaman. Mereka, tak cukup mengandalkan C1 folio. Dengan dukungan teknologi
rekaman, Maretha yakin, manipulasi data, dalam bentuk apa pun akan sulit
dilakukan. “Ini bukan teori doang,” kata Maretha, “hal itu bisa dipraktekkan pada
pilpres Juli 2014, termasuk untuk pemilu 2019 mendatang.”
Sejauh mana para
saksi parpol menguasai teknologi sederhana, sebagaimana ditunjuk Maretha, adalah
pekerjaan rumah, bagi petinggi parpol. Selebihnya, kalau negra ikhlas berbuat
jujur, setiap TPS harus ada PPL. Bukan seperti sekarang, satu desa hanya ada
dua atau 3 PPL. Pesta demokrasi
ongkosnya memang mahal. Dan itu, mau tak mau harus dibayar.
Hitung saja seluruh Indonesia ada 545.776 TPS. Sesuai ide Maretha, jumlah
PPL dikalikan Rp 500.000,00 dalam 6 bulan kerja, ongkos pengawasan lapangan
ketemu Rp 1.637.328.000.000,00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda