Senin, 23 Juni 2014

PDIP DI AMBANG KEHANCURAN?



Partai politik yang miskin kader dalam arti tidak punya ‘calon pemimpin nasional’ adalah PDIP. Partai berkepala banteng ini tidak lebih dari sekedar partai keluarga. Di dalamnya tumbuh subur kultus individu. Apa kata Mega, itu yang dijalankan oleh para pengikut yang taqlit buta. 

Munas, adalah kudung paling aman untuk mendewakan Mega. Di tubuh PDIP subur adagium, tidak ada orang ampuh selain Megawati. Meski realitanya, Megawati Sukarno Putri itu sangat kurang beruntung, untuk tak menyebut bernasib buruk.

Tanpa Abdulrahman Wahid (Gus Dur), lebih kongretnya, tanpa peran palu Amin Rais, mustahil dia menduduki kursi istna. Setelah itu,  dua kali jago presiden: 2004 Mega-Hasym, keok oleh SBY; 2009 Mega-Prabowo tersungkur juga ketika berhadapan dengan orang yang sama. 

Tahun 2014? Pikiran Megawati telah pikun untuk tak menyebut gemporen. Dia benar-benar capek, sehingga trimo leyeh-leyeh tidak njago presiden, karena waktunya memang telah lewat.

Sementara itu, PDIP terlanjur krisis kader. Mau menjagokan Puan Maharani, so pasti tidak laku. Pramono Anung, Tjahya Kumala, dua orang ini tidak lebih dari sekedar penebeng hidup di PDIP.

Dalam hal kaderisasi, PDIP kalah jauh dengan Golkar. Partai berlambang beringin menggunakan strategi tebar benih. Partai Kuning, punya kader di Demokrat, di Hanura, di Gerindra, di Nasdem.

PDIP adalah partai tertutup. Partai ini menjadi sangat alergi demokrasi, sekaligus tidak mampu menyusupkan orang-orangnya ke rumah lain. Yang terjadi malah sebaliknya, PDIP sangat mudah tersusupi. Pramono Anung dan Tjaja Kumala adalah penebar paham taqlit buta. Pokoknya kata Bu Mega, harus dipatuhi.

Terkait pesta politik 2014, Mega merasa memperoleh angin. Ada tokoh berasal dari kota bengawan bernama Joko Widodo. Silakan bongkar arsip organisasi PDIP, Joko Widodo yang pasti bukan kader PDIP. Tidak ada ceritanya Joko Widodo digembleng dalam kawah PDIP.

Lelaki berbadan kurus yang wajahnya mirip Pak Dirman, kadang cenderung glelang-gleleng mirip Obama, tidak lebih dari anak temon (bocah temuan). Dia menjadi tokoh nasional karena dikarbit oleh media massa. Catatan khusus: Jokowi bukan anak didik Megawati Sukarno Putri.

PDIP tinggal menunggu waktu. Begitu Megawati Sukarno Putri tidak lagi mampu pegang kendali karena faktor usia, partai banteng ini masuk ke ambang kehancuran. Secara internal akan terjadi rebut kekuasaan. Puan Maharani, karena faktor keturunan, kalau keluar sebagai pemenang, akan semakin mengukuhkan bahwa PDIP adalah partai keluarga.

Terkait dengan pilpres 2014, selama Jokokowi unggul, PDIP dipastikan selamat. Tetapi jika Jokowi tersungkur, PDIP jelas tamat. Dan Megawati Sukarno Putri, akan menggerutu seumur hidup.  


PRESIDEN ITU HARUS ORANG YANG PUNYA 'NGELMU'



Untuk calon presiden 2014 dan seterusnya, saya memilih kriteria   berbeda denngan yang diomongkan para cendekia berlatangbelakang pendidikan barat. Presiden, menurut saya, tidak perlu neka-neka. Simpel saja, dia harus memiliki ngelmu. Presiden, menurut saya adalah bagian dari  sistem. Kepala Negara dan Ketua RT itu adalah dua sisi mata uang.

Ngelmu, menurut idiomatika Jawa: digembol ora mbedosol, diguwak ora kemrosak (dikuasai tidak kelihatan, dibuang tidak akan hilang, bahkan makin bertambah banyak).

Ngelmu yang saya maksud adalah yang menyatu dalam sistem jagat cilik manusia. Selain golongan manusia, pada hemat saya, tidak akan mampu menguasai ngelmu. Konteksnya dengan alam semesta: volume ngelmu, ditulis dengan tinta 7 lautan, tintanya habis, ngelmunya masih kelewat banyak untuk disebut  berlebih.

Dalam  tembang Jawa pupuh pucung disebutkan: Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Lekase lawan khas. Tegese khas nyantosai. Setya budya pangekesing dur angkara. Pertanyaan sederhana: di antara Prabowo dan Jokowi, siapa yang masuk kategori manusia yang meguasai ngelmu.

Ke depan, sekurang-kurangya dalam kurun 5 tahun, mereka: siapa pun yang jadi presiden dituntut untuk ngekes dur angkara (menghilangkan angkara murka) yang datang baik dari dalam maupun dari luar.

Ngelmu mereka berada di mana? Di jidad? Atau di dada? Nglemu iku kelakone kanthi laku. Siapa di antara keduanya yang meraih nglemu dengan laku? Dan laku itu lekase lawan khas, tegese khas nyantosani. Meraih ngelmu, berangkatnya  dari jiwa. Hanya dengan iman di dada, ngelmu yang haq bisa  dikuasai.

Untuk mengukur kadar ngelmu Prabowo-Jokowi, saya menyodorkan pertanyaan teknis pragmatis begini: jumlah anak yatim piatu di indonesia saat ini (2014) sebenarnya ada berapa juta.

Saya yakin, keduanya tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan angka yang akurat. Pasalnya? Karena mereka tidak memiliki ngelmu. Tetapi jangan keburu memvonis mereka berdua, sebagai ‘bodoh’. Jangan, Anda keliru.

Ketidaktahuan Prabowo-Jokowi, toh tidak lepas dari karya SBY. Penguasa yang lahir di kota Pacitan Jawa Timur ini juga tidak memili ngelmu untuk mengetahui jumlah anak yatim piatu di Indonesia.

Kembali kepada Prabowo-Jokowi, siapapun yang tepilih, supaya kekuasaannya bermanfaat, mereka harus meletakkan: satu mata di kursi istana, satu mata yang lain di kursi ketua-ketua RT se Indonesia.

Kepala Negara dan Ketua RT adalah dua sisi mata uang, untuk membangun negeri tercinta. Yang paham  jumlah angka anak yatim piatu itu adalah Ketua-Ketua RT.

Mata kepala Negara yang di kursi Istana tidak akan mampu melihat. Tetapi karena mata yang lain menyatu di kursi ketua-ketua RT, kepala negara menjadi tahu jumlah anak yatim-piatu se Indonesia. Ini kerja sistem. Pengambilan kebijakan, kemudian sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan.


Minggu, 22 Juni 2014

MENYIMAK KAMPANYE PILPRES 2014 DI GUNUNGKIUL



Mengamati dinamika pilpres 2014, utamanya di Gunungkidul, sepertinya tanpa greget. Kedua tim pemenangan tampil adem ayem. Tetapi di media online, mereka saling klaim bakal keluar sebagai penangguk suara terbanyak. Tim Prabowo klaim dapat 60%, tim Jokowi 70%. Pokoknya seru, padahal jadwal kampanye yang ditetapkan KPUD, jarang mereka manfaatkan.

Hingga Juni hari ke 19, kampanye terbuka untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden tahun 2014 yang dijadwalkan KPUD Gunungkidul, terlewati 8 Putaran sudah. Ini berarti, jatah kampanye terbuka tinggal 8 putaran lagi. 

No Pasangan






Juni





Juli
1 Prabowo 4 6 8 11 13 15 16 18 21 22 24 25 28 1 2 4
2 Jokowi 5 7 9 10 12 14 17 19 20 23 26 27 29 30 3 5

Terkait dengan jadwal kampanye yang telah ditetapkan, masing-masing kubu tim pemenangan capres-cawapres mengklaim telah bergerak sampai ke level akar rumput.
Imam Taufik, atas nama timses pemenangan Prabowo-Hatta, menyebutkan, strategi yang dipilih adalah serangan udara. “Kami banyak bergerak di media sosial, facebook, twiter, istagram dan lainnya,” kata Imam di jujung telepon 19/6/2014.

Di samping itu, mesin politik masing masing partai, tanpa diperintah, telah bekerja sesuai instruksi pusat. “Saya yakin, untuk Gunungkidul, Prabowo-Hata akan meraup suara 60%.
Lain Iman, lain Budi Utama. Politisi PDIP yang masih menjabat ketua DPRD, sekaligus ketua pemenangan Jokowi-Jeka memaparkan, timnya bergerak sebagaimana irama air.
Diam, pelan, tapi merembes sampai ke mana-mana, “Target kami, 70% menang di Gunungkidul,” paparnya. 

Mengamati gerakan kedua tim, saya berani memastikan: seberapa pun perolehan suara Prabowo-Jokowi di Gunungkidul, sesungguhnya bukan semata kerja keras timses mereka.
Mendingan timnya Prabowo, mereka punya Sekretariat bersama, di ruko Siyono Harjo. Untuk Jokowi? Muter-muter, kota Wonosri sentral pemenangan itu susah untuk ditemukan.

Lagi pula, saya memperoleh info tentang gerakan kedua tim, sebatas melalui telepon. Para tokoh, ternyata banyak berada di luar kota, dengan kepentingan di luar konteks pemenangan pilpres.

Lebih ngeri lagi, ketua tim pemenangan Prabowo-Hata, Hj. Badingah, S.Sos yang notabene adalah Bupati Gunungkidul, sama sekali tidak bicara sepatah kata pun. Terbentuknya tim pemenangan, untuk kedua kubu saya pikir hanya sekadar untuk memenuhi prosedur.

Tidak perlu diajari, masyarakat Gunungkidul, nampaknya telah tergiring oleh TV One, maupun Metro TV. Tanpa timses pun, ide-ide besar kedua capres itu, telah sampai ke pelosok Gunungkidul.

Sisa jatah 8 putaran kampanye terbuka itu mau digunakan atau tidak, Prabowo-Jokowi, dipastikan bakal perang hebat dan seru. Umpama selisih, diperkirakan tidak besar-besar banget.

Saya hanya ingin mengatakan: kedua tim dari dua kubu capres-cawapres itu sebenarnya IMPOTEN.




DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...