Jumat, 25 Mei 2018

DUA PASANG PENGANTIN TERBAHAK-BAHAK DI RUANG RESEPSI YANG SAMA


Saya mendatangi undangan resepsi pengantin. Lokasi ada di gedung megah, tengah sawah. Kata teman saya, biar alami, karena jenuh hiruk pikuk kota. Di perut kota, kata dia, terlalu hingar-bingar dan bising.


Manten jaman kini, tidak mau  tamunya tersesat. Pada undangan, di samping disertakan pentunjuk lokasi, ditulis sejumlah rincian teknis seperti: jam berapa harus datang, pakaian bebas tapi rapih, termasuk tidak menerima cendera mata.


Rupanya ini siasat cerdas, bahwa si pengantin tidak mau repot menyiapkan truk tronton gara-gara kado yang menggunung di samping pintu gedung.


Amplop berisi sejumlah uang talikasih adalah pilihan tepat dan barangkali juga pilihan utama. Itung-itung bisa bantu bayar seluruh makanan yang dipesan untuk prasmanan. Agak naif, tetapi fakta banyak yang begitu.


Saya tidak habis pikir, bahasa para penerima tamu  diseragamkan, bahkan disesuaikan dengan perkembangan teknologi canggih.


Saya dihampiri sepasang penerima tamu. Tetap menggunakan gerak santun peradaban, mereka menyodorkan jempol tangan kanan.



“Silakan Bapak mengunggah makanan yang telah tersedia,” kata mereka berbarengan.


Saya kaget karena bahasa yang barusan mereka ucapkan. Buru-buru, seseorang yang sejak masuk pintu gedung berbarengan, berbisik lirih ke saya.


“Mengunggah itu maksudnya menikmati atau mencicipi hidangan,” ujar dia.


Saya tersenyum, makanan kok seperti foto atau video, diunggah.


Tidak mau kalah, karena pengantin yang hari itu berdiri di ruang resepsi dua pasang (kakak beradik), maka ketika berpamitan saya pun menyampaikan pesan terbuka.


“Awas, kalian jangan salah munnggah ya,” saya meminjam mikrofon pembawa acara.


Dan kedua pasang pengantin itu pun gelak ketawa, diikuti riuh ribuan tamu yang hadir.   



Bambang Wahyu Widayadi

Rabu, 23 Mei 2018

ZIARAH KEHANGATAN KAKANG KAWAH ADI ARI-ARI




Benar Presiden Joko Widodo, bangsa Indonesia harus mengembangkan sektor maritim. Pembangunan dermaga besar, yang oleh Cina disebut jalur lada itu bukan hanya memiliki alasan historis, tetapi juga argumentasi filosofis.


Sepanjang hayat manusia Indonesia harus berziarah, mencari untuk menemukan  jati diri serta kedaulatan. Ziarah tidak terbatas pada kegiatan menengok kuburan leluhur. Ziarah adalah melihat sejarah manusia sebelum dia terlahir ke dunia.


Laut ketuban adalah sejarah setiap manusia yang telah terkubur puluhan tahun.  Faktual, belum pernah terdengar cerita, ada  manusia  teringat kemudian menziarahi terminologi Jawa  kakang kawah adi ari-ari.


Tidak pernah terbayangkan, berproses selama 10 bulan 9 hari, seorang bayi berenang di tengah laut ketuban, dengan segala keluarbiasaan (fasilitas) tanpa batas.


Lahir di bumi pertiwi, bayi menangis, karena merasa terputus atau kehilangan fasilitas dermaga bernama rahim (welas asih) yang mejaga dengan kelembutan yang tak terkatakan.


Tangisan bayi pun berhenti manakala sang ibu menawarkan laut yang berbeda bernama air susu. Ini pencerahan dalam bentuk simbol, bahwa ketika bayi dalam kesulitan, Tuhan telah menyiapkan kemudahan.

Bayi terlahir dalam bahasa Kun (jadilah). Ketika berangkat dewasa pun dia merasakan banyak menghadapi tantangan dan kesulitan.

Dengan Kun, Tuhan telah menyediakan matahari, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, tambang minyak, nikel, emas dan masih banyak yang tak terhitung lagi untuk 261 juta mulut mantan bayi yang lahir di Indonesia.

Terlahir di Indonesia, memang penuh kesulitan. Persoalannya, laut kesulitan tersebut tidak pernah dimaknai, bahwa di depan mata telah tersedia jutaan fasilitas kemudahan yang harus diterjemahkan. Menjadi sangat ironik, ketika fasilitas kemudahan itu malah diserahkan ke pihak lain.


Negeri yang bernama Indonesia secara defakto menyediakan gelombang kesulitan sekaligus menyiapkan perahu kemudahan. Suharusnya, begitulahlah cara menterjemahkan pikiran Jokowi.  Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran orang-orang yang mengelilinginya.


Pembangunan tol laut mestinya dimulai dari  batok tempurung masing-masing kepala para pemimpin, bukan dimulai  di Bandar Jakarta.



 Bambang Wahyu Widayadi


Selasa, 22 Mei 2018

TUJUHPULUH TIGA TAHUN, FILOSOFI IBU NEGARA DIPERLEMAH

fatmawati

Istri Presiden disebut juga sebagai Ibu Negara. Peran penting yang dimainkan, terutama di awal menjelang kemerdekaan sangat dominan. Ibu Negara Fatmawati, istri Soekarno, menjahit Sang Saka bisa ditafsirkan sebagai isyarat zaman. Ini sebuah simbol, bahwa Ibu Negara harus melindungi seluruh Anak Negara. Setelah Fatmawati, tangan filosofis itu memudar, melemah, atau bahkan diperlemah. Bendesa Pusaka  jahitan Fatmawati tidak lagi bisa dikibarkan. Yang tegar setiap 17 Agustus, adalah duplikat. Sementara terkait roh filosofi Ibu Negara, tidak pernah diduplikasi.


Dewasa ini (2018), Ibu Negara punya kewajiban melindungi 261 juta Anak Negara. Tugas tersebut merupkan konsekuensi logis dari fitroh perempuan. Fakta biologis, setiap perempuan ditakdirkan melindungi janin selama 9 bulan sepuluh hari.


Begitu generasi mungil lahir ke dunia, seorang ibu, tanpa batas mengemban kewajiban menjaga, sampai dia bisa berfikir dewasa. Karena alasan kesibukan, urusan menjaga bayi diserahkan kepada pihak lain.


Di Indonesia, karena alasan yang tidak pernah bisa dipahami,  Ibu Negara menyerahkan 261 juta Anak Negara kepada agen yang tidak pernah diketahui identitasnya.


Anak Negara yang diterlantarkan oleh Ibu Negara, muncul   resiko tragis dalam berbagai bentuk.   Ada yang terlilit oleh jebakan narkoba dan miras. Ada yang memilih menjadi teroris. Banyak pula yang meniti jalan menuju Suka Miskin karena terbukti menjadi koruptor.


Pengertian Ibu Negara harus diperluas, tidak sebatas hanya istri Presiden. Sebut saja mulai dari istri Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati / Walikota,   Kepala Desa / Lurah, hingga istri anggota DPR, Tentara, Polisi dan yang lain. Pendek kata, setiap perempuan Indonesia adalah Ibu Negara. Mereka memiliki peran sentral menjaga anak negara melalui jejaring perempuan sesuai jalur masing-masing.


Ibu Negara, dalam pengertian yang diperluas seperti di atas  memiliki kekuatan besar dalam menumpas narkoba, melawan teror, menghentikan korupsi. Tiga penyakit masyarakat, bisa ditanggulangi tidak hanya secara parsial (sepotong-sepotong) tetapi secara holistik (menyeluruh).


Kegiatan Ibu Negara, dengan demikian tidak harus mengekor suami. Secara otonom, Ibu Negara boleh merencanakan sekaligus melaksanakan program melindungi seluruh anak negara.     


Ibu Fatmawati telah memulai dengan menjshit Bendera Pusaka. Perempuan Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan buah karya dan pikiran Fatmawati.


Bambang Wahyu Widayadi

Senin, 21 Mei 2018

Bunga Matahari Diperkirakan Mekar Bersamaan Idul Fitri 2018



Kreatifitas dan responsibilitas anak muda yang diprakarsai Risdiyanto, membagun taman bunga matahari di kawasan kecamatan Patuk ditanggapi Dinas Pariwisata Gunungkidul. Camat setempat pun geleng-geleng kepala. 

Pemda mendukung tumbuhnya destinasi baru yg diinisiasi masyarakat, sepanjang hal itu sudah memikirkan dampak yg muncul jika terjadi booming kunjungan.

Asti, Kadinas Pariwisata, Gunungkidul

“Tidak hanya membangun obyeknya tetapi juga melengkapi  sarana prasarana pendukung wisata, utamanya tempat parkir, rambu penunjuk lokasi, toilet, dan lain-lain yang dibutuhkan dalam melayani wisatawan agar merasa nyaman,” pesan Asti, Kadinas Pariwisata Gunungkidul (21/5).


Berikutnya, Sekretaris Dinas Pariwisata Gunungkidul, A. Hary Sukmono mengamati, bahwa kegiatan tanam bunga matahari di bibir jalan propinsi cukup menarik.


“Itu bagian dari daya tarik wisata. Booming istagrambel menjadi media untuk mengangkat potensi wisata,” timpalnya.


Yang penting, menurutnya, pegelola kebun tidak boleh memaksa penunjung untuk datang.


Menanggapi obyek yang sama, Camat Patuk, R. Haryo Ambar Suwardi, geleng kepala, tanda mengapresiasi kegiatan Risdiyanto dan kawan-kawan.


“Sebelum berbunga, saya ingin melihat kegiatan mereka,” ujar Camat Ambar





Minggu, 20 Mei 2018

JOKOWI: DUA COPY PASTE, SATU LONPATAN BELALANG


 Diam-diam Jokowi mengcopy pate  dua formula yang dilakukan Cina. Pertama pembangunan besar-besaran tol darat, kedua tol laut. Terobosan yang baru, Jokowi mengambil kebijakan lompatan belalang.

Tidak banyak diungkap media, pembangunan tol darat dan tol laut yang dikerjakan Jokowi selama 2014-2019 tidak jauh berbeda dengan strategi bisnis yang dilakukan Cina.

“Untuk menjalin dengan dunia luar, Cina menempuh dua jalan yaitu melalui darat yang disebut jalur sutra, dan jalan laut yang disebut jalur lada,” dikutip dari Formula Bisnis Negara Cina, halaman 7.

RRC, menurut Hadi Soesastro, dalam satu artikel yang ditulis di Harian Kompas 31 Mei 2004, meraih keberhasilan yang spektakuler.

“Luar biasa, Cina mampu mengangkat 200 juta warganya keluar dari garis kemiskinan, karena pertumbuhan ekonominya yang sangat pesat,” kata Hadi Soesastro.

Sebagaimana diketahui, bahwa total penduduk Cina saat ini  1,3 miliar jiwa. Penduduk Indonesia akhir tahun 2017 berjumlah 261,890 juta jiwa, dengan warga kategori di bawah garis kemiskinan 27 juta jiwa.

Pada  tahun yang sama Badan Pusat Statstik membeberkan, bahwa angka penganggguran terbuka terjadi kenaikan.

Pada bulan Februari 2017 tercatat 5,33% atau 13.911.300 penanggur, pada bulan Agustus tahun yang sama naik menjadi 5,50% atau 14.500.000 penganggur.

Di dalam Nawa Cita Jokowi bertekad membuka kesempatan kerja bagi 10 juta penganggur. Ini pertanda baik, bahwa angka penganguuran bakal turun drastis.

Pembangunan jalan tol serta dermaga di seluruh Indonesia yang dilakukan Jokowi, mirip dengan jalur sutra dan jalur lada yang dikerjakan Cina. Kelebihan Jokowi ada di lompatan belalang, alias pembangunan bandara udara.

Melihat gegapnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan, logikanya dalam hal mengentaskan warga miskin, Pemerintah Indonesia tidak harus menunggu sampai tahun 2050.

Cina, dalam satu dasa warsa mampu keluar dari keterpurukan yang sangat memalukan. Indonesia, seharusnya paling lama dua dasa warsa, sehingga tahun 2040, merah putih berkibar di dunia, menyanyikan senandung kemajuan perekonmian bangsa. Benarkah, ini yang kita tunggu.

Dukuh Menyerahkan Jabatan, Mengejar Kursi DPRD II

agus priyanto berbaju putih

 Agus Priyanto, Dukuh Dusun Ngembes, Desa Pengkok, Kecamatan Patuk, Gunungkidul menyerahkan surat pengunduruan diri. Sugit, Kades Pengkok menerima permohonan tersebut di balai desa setempat.

Sigit selaku atasan langsung sudah memberi masukan, agar pengunduran diri itu dipikir masak. Tetapi karena tekad Agus Priyanto maju sebagai bakal caleg 2019 cukup kuat, maka Sugit tidak punya hak untuk menghalangi.


“Saya hanya berdoa, semoga cita-cita Pak Agus diridhoi dan dikabulkan,” tutur Sugit usai menerima surat pengunduran Agus, 16/5.


Sesuai rencana,  tokoh yang masih tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Kartika Bangsa ini bergabung ke Partai Golkar, maju di dapil 2, Patuk, Gedangsari, Nglipar dan Ngawen.


Subroto, warga Salam yang tahun 2014 maju mengendari Hanura namun gagal, diajak berpasangan. Artinya Agus maju di DPRD II, Subroto bertarung untuk DPRD I DIY.


Sementara pengamat mengatakan, Agus keluar dari perangkat desa memiliki nilai plus. Namun demikian, langkah dia dinilai terlalu spekulatif dan berani.


Mencermati jejak rekam, Agus dilantik menjadi Dukuh Ngembes, melalui SK Kepala Desa Ngembes Nomor 24/KPTS/2016 tertanggal 5 Oktober 2016.


Dia mengundurkan diri per 16 Mei Tahun 2016, karena merujuk Surat Edaran Menteri dalam Negeri No. 140/2661/SE Tahun 2008 tetang perangkat desa yang mencalonkan diri sebagai caleg harus diberhentikan permanen.


“Saya taat hukum dan  prosedur. Oleh sebab itu,  mengundurkan diri merupakan keputusan pribadi dan final,” tegas Agus Priyanto.


MENUNGGU RABU 17 APRIL 2019 SORE HARI


 Nominator bakal calon presiden pada pemilu 2019 masih menguat di Joko Widodo dan Prabowo. Di tengah budaya elektronik, nominasi calon,  menurut drs. Bambang Cipto, MA, dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMY, hanya merupakan riak kecil dari perjalanan panjang seorang bakal calon presiden lolos dari bilik pemilu yang sesungguhnya.


Kampanye belum dimulai, Jokowi dan Prabowo terlihat begitu inten berhubungan dengan para calon pendukung. Peran Parpol, baik pengusung maupun pendukung bergeser dari menjual calon ke ranah berebut mencari perhatian untuk bisa mendampingi bakal calon presiden.


Rebut perhatian antara Muhaimin Iskandar dan Airlangga Hartarto, begitu mendominasi berita politik di tanah air. Begitu pula Agus Harimurti Yudhoyono dan Gatot Nurmantyo.


Parpol, atau Ketua Parpol lupa, bahwa tugas utama mereka adalah mempromosikan bakal calon yang diusung dan didukung. Secara lucu sekaligus menyedihkan, PKS menawarkan nama yang diberi label terbaik, hingga sembilan tokoh.


Parpol sedemikian sibuk mengincar kursi wakil presiden, merupakan konsekuensi logis dari pemilu serentak antara legeslatif dan eksekutif.  Tidak mengherankan, ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, bahwa 2019 merupakan Pemilu terumit di dunia.


Kerumitan yang dimaksud JK hadir di depan mata 261 juta manusia Indonesia. Paling tidak, Jokowi dan Prabowo rumit dalam menentukan dan memilih tokoh yang pas untuk mendampingi sebgai wakilnya.

Kerumitan lain, Sebagian Parpol peserta Pemilu 2019 tidak menyadari, bahwa perang tanding terjadi di tingkat Padukuhan atau dengan sebutan lain. Representasi Padukuhan adalan TPS. Untuk merebut suara di TPS, Parpol harus menyiapkan mesin sampai ke garda paling ujung.


Faktanya, sebatas menyebut kasus, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) membatasi hanya sampai ke level desa, dengan kepengurusan yang terdiri dari 5 personil.


Pada Pemilu 2019, sangat boleh jadi banyak pihak yang kecewa karena secara kuantitas hasilnya tidak sesuai dengan harapan yang dimpikan. Kekecewaan tersebut seperti apa, ditunggu hingg Rabu 17 April 2019 sore hari.


Sabtu, 19 Mei 2018

TINDAKAN KEKERASAN TIDAK AKAN BERHENTI DENGAN CARA DIKUTUK


Berbagai tokoh di semua lapisan mengutuk keras tindakan teror. Kutukan tersebut hanya sebagian dari cara basa-basi kebudayan karena masyarakat telah banyak kehilangan nilai religi yang seharusnya tegak di hati tegak di perilaku.


Banyak terjadi kekerasan tidak dianggap sebagai teror. Sebut misalnya gadis muda membuang bayi di tempat sampah.  Anak  menggorok leher ibu  atau ayah kandung. Suami menghabisi istri karena cemburu buta, dan masih banyak lagi yang lainnya.


Hal di atas dianggap bukan teror, karena tidak mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Benar, tetapi tindakan tersebut merupakan kekerasan dalam prespektif teror personal.  Sumber pemicunya bisa saja mirip dengan yang dilakukan para teroris.


Teror personal akan selesai (hilang atau berhenti) dengan cara dikutuk secara beramai-ramai? Tentu saja tidak. Begitu pula teror Mako Brimob di Kelapa Dua, teros di Mapoltabes Surabaya, teror di Mapolda Riau, juga teror di 3 Gereja di Jawa Timur, tak akan teratasi dengan cara dikutuk secara bersama-sama.


Kekerasan yang dilakukan oleh manusia, apa pun bentuk dan jenisnya semua bersumber dari runtuhnya penegakan jiwa agama di duniya perilaku.


Pasal 29 Ayat 1   UUD 1945 menyatakan, setiap manusia Indonesia itu berketuhanan. Di Ayat 2 dinyatakan, setiap manusia Indonesia bebas memeluk agama sesuai keyakinan.

Lalu, mengapa kekerasan masih juga merajalela di bumi Nusantara? Jawaban paling mudah, manusia Indonesia belum mampu menegakkan jiwa agama di dunia nyata.


Meminjam terminologi Islam, agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu, adalah garis  yang memberi rambu tegas, bahwa berbeda agama tidak penting. Yang utama, seluruh manusia harus berbuat kebaikan demi keselamatan dunia.


Menyelamatkan dunia dengan cara membunuh jelas paradok dengan jiwa agama. Para Kyai, Pastur, Pendeta, Biksu dan yang lain tidak cukup mebuat kesepakatan dan rapat-rapat formal untuk memerangi kekerasan. Mereka harus memimpin umat masing-masing untuk meningatkan kualitas ketauhidan sesuai agama yang diyakini.


Selama penegakan jiwa agama di dunia nyata lemah, selama itu pula  kekerasan di muka bumi terus berlajut. Berharap terorisme lenyap dengan tindakan represif pasti menelan ongkos mahal. Itu mendingan, karena tidak masuk akal manakala terorisme diharapkan hilang dari bumi pertiwi dengan cara mengeluarkan kutukan keras.


PT Cipto Wening Handayani Meluruskan Ribet-Ribet Soal Batoer Hill


 Rio Erwin Setiawan, salah satu tokoh yang duduk pada Struktur PT Cipto Wening Handayani selaku pengelola Batoer Hills meluruskan kesimpangsiuran informasi. Tokoh yang banyak disebut-sebut memprakarsai destinasi Batoer Hill selama ini lima orang, sementara yang benar adalah tujuh personil.


Kepada awak media, setelah beredar kabar bahwa pengelola pecah kongsi, Rio Erwin Setawan mejelaskan duduk perkara yang sebenarnya.


Pertama kali yang dia jelaskan adalah personil inti yang termaktub di dalam struktur PT Cipto Wening Handayani.


“Kami, Yoyok Setiawan, Wignyo Marganing Mulyo, Baskoro Iwan Sandjojo, Suswiarno, Agung Prsetyo, Muhaminul Adil Haq, dan Rio Erwin Setiawan, secara legal formal adalah pengelola Batoer Hills”, ujar  Rio melalui Whatsapp, (18/5).


Terkait dengan pembongkaran 10 unit tempat penginapan, menurut Rio tidak bisa dimaknai sebagai pecah kongsi, sebagaimana diberitakan infogunungkidul.com.


Hal pembongkaran 10 rumah penginapan berkaitan surat peringatan dari Pemerintah Desa Putat Nomor 271/68/V/2018, tertanggal 3 Mei 2018.


Intinya, PT Cipto Wening Handayani  dimimta menertibkan bangunan (rumah penginapan), yang posisinya melebihi (berada di luar perjanjian kesepakatan) dengan desa.


“Cipto Wening Handayani  diijinkan menggunakan area tanah kas desa seluas 5000 meter persegi,” jelas Rio.


Persoalannya, demikian Rio menambahkan,  setelah diukur 10 unit rumah penginapan berada di luar batas 5000 meter, maka bangunan tersebut harus kami bongkar.


Mereka bertujuh, berdasarkan penjelasan Rio, ke depan masih berkomitmen mengembangkan Batoer Hills demi kemajuan wisata Gunungkidul.


baca juga: 
1. http://wahyuwidayadi.blogspot.co.id/2018/05/kades-putat-memastikan-batoer-hill.html
2. http://wahyuwidayadi.blogspot.co.id/2018/05/pecah-kongsi-pemegang-saham-batoer-hill.html


Kades Putat Memastikan Batoer Hill Bertahan


Sukardi, Kades Desa Putat, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, menurut rencana hari ini mengundang 4 orang pemodal yang menangani pengembangan destinasi wisata Batoer Hill. Yoyok, Rio, Wignyo serta Agung, menurut Sukardi dimungkinkan masih bisa bertahan bersama setelah satu investor –Suswinarno membongkar 11 unit bangungan pelengkap.


“Saya yakin Pak Yoyok dan kawan-kawan masih bisa berembuk secara baik-baik,” ujar Sukardi (17/5).


Desa Putat, bedasarkan laporan PT Cipto Wening (pengelola Batoer Hill) selama dua triwulan menerima bagi hasil tidak kurang dari Rp 10 juta.


“Triwulan ketiga belum ada laporan pembagian hasil, keburu terjadi konflik di internal personil penanam modal,” imbuh Sukardi.


Kades Putat meyakini, Batoer Hill tetap berlanjut. Pihaknya menunggu hasil pembicaraan 4 orang pemodal.


Kalau Batoer Hill benar-benar  mandeg, menurut Sukardi Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des), disiapkan sebagai pengelola pengganti.


Terpisah, dua pengunjung Mia dan Aninditya, warga Salak, Semoyo, Patuk, yang sempat dimintai pendapatnya menyayangkan jika  Batoer Hill tiba-tiba hilang.


“Tempatnya cukup bagus, lumayan baik untuk buka bersama,” ujar mereka.


DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...