Sabtu, 27 Agustus 2016

SMA / SMK BATAL DIKELOLA PROPINSI?



 
Slamet. dok pri
Jenjang pendidikan menengah mencakup SMA dan SMK berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dikelola olen Pemerintah Propinsi. Semenrata itu untuk jenjang pendidikan dasar diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten. Selama UU tersebut tidak / belum diubah, amanat itu harus dilaksanakan.

Mendadak Walikota Blitar mengajukan gugatan ke  Mahkamah Konstitusi menyangkut Pasal 15 Ayat 1 dan 2, terkait lampiran huruf A. Pada lampiran yang dimaksud secara tegas dinyatakan, bahwa menejemen pendidikan Propinsi mengelola pendidikan menengah, kabupaten menglola pendidikan dasar.

Gugatan tersebut dilandasi adanya kekhawatiran, bahwa pendidkan gratis yang selama ini dinikmati warga akan berubah menjadi sebaliknya. Di sisi lain, hingga saat ini, MK belum mengeluarkan putusan apapun.

Pengambilalihan pengelolaan yang rencananya akan dilaksanakan Januari 2017, menurut Slamet, SPd. MM,   politisi Golkar, anggota Komisi A DPRD DIY, rupanya bakal batal dilaksanakan.

“Padahal, kalau itu diberakukan, paling tidak tiga (3) keuntungan dipetik sekaligus,” kata Slmet, Sabtu pagi 27/8/2016.

Pertama, kata dia, pengelolaan bisa fokus, karena Pesat menangani perguruan tinggi, Propinsi pendidikan menengah, Kabupaten pendidikan dasar. Yang kedua, kemungkinan terjadi KKN pada masa penerimaan siswa baru adalah kecil. Keuntungan ketiga, pemerataan kuaitas pendidikan terjaga, karena guru berkualitas akan menyebar, tidak menumpuk di kota.

Sumber lain menginformasikan, bahwa kemungkinan mundurnya peralihan pengelolaan SMA / SMK, karena Peraturan Pemerintah yang secara teknis mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan, hingga kini belum diterbitkan.

CAMAT TAK SERIUS, PENGISIAN PERANGAKAT POTENSI KISRUH



Sarmidi. dok pribadi

Komisi A menyatakan jengkel terkait dengan pengisian perangkat desa tahun 2016. Desa Puwodadi Kecamatan Tepus baru saja dilerai, muncul di Semoyo, Kecamatan Patuk. Semoyo belum terselesaikan, Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari menyusul.

“Yang salah itu Perda dan Perbubnya, atau memang aparat Desa dan Kecamatan yang tidak mampu menterjemahkan aturan, Komisi A sedang melakukan telaah,” ujar Sarmidi Politisi PAN, Jumat petang, 26/8/2016.

Dari beberapa temuan, menurut anggota Komisi A yang mantan Kades ini, rata-rata dalam melaksanakan tugas, Panitia Penguji di bawah kendali Kepala Desa tidak tranparan. Mereka menafsirkan aturan menurut kemauan dan pemahaman pribadi.

“Di samping itu, Camat yang diberi kewenangan untuk mengawasi proses pelaksanaan pengisian perangkat desa, sebagaian tidak melakukan tugas dengan semestinya,” imbuh Sarmidi.

Sekedar menunjuk bukti, lanjut Sarmidi, Desa Pilangrejo kondisinya relatif terkendali, tidak terjadi masalah. Menurut informasi yang dia terima, ketika prosesi pengisian perangkat, Camat Nglipar proaktif. Hal serupa terjadi di Kecamatan Ngawen.

Patut disinyalir, kata Sarmidi, untuk Tepus, Patuk dan Wonosari, kurang dipedulikan Camat. Akibatnya, hasil seleksi menuai kisruh dan protes.

“Terjadi kisruh pengisian perangkat desa yang bermunculan saat ini, pertama,  karena Panitia tidak transparan, sekaligus overleping menafsirkan aturan berdasarakan pemahaman pribadi. Kedua, Camat tidak mampu bekerja sesui tugas,” simpulnya.

Mumpung perbaikan Raperda soal pengisian dan pengangkatan perangkat desa belum ditetapkan, menurut Sarmidi, kalau memang tidak mampu, maka kewenangan Camat dihapus, dikembalikan ke Bagian Pemerintahan Desa.

Dalam waktu dekat, kata dia, Komisi A akan memanggil 18 Camat, untuk dimintai keterangan sesuai kewenangannya.

Sabtu, 20 Agustus 2016

REBUTAN GUNUNGAN PADA PROSESI RASULAN ITU BUDAYA 'URAKAN'



budi utama. dok pri
Tahun 2016, Kabupaten Gunungkidul dikabarkan bakal punya dinas kebudayaan. Sepanjang itu terelasisasi, urusan  tradisi / adat dan budaya yang selama ini sentuhannya terlalu kedodran, dipastikan bakal tertangani secara maksimal.
Satu pertanyaan besar dilontarkan Drs. Budi Utama, MPd. MM. seberapa banyak jumlah sumberdaya manusia yang secara akademis, ahli serta siap bekerja secara profesional menangani kebudayaan yang cenderung animistik dan 'urakan'.
“Selama ini, sepanjang pengamatan saya, latar belakang birokrat yang diberi kewenangan menangani kebudayaan adalah sarjana seni. Sementara pernik-pernik tradisi / adat serta budaya dalam pengertian serta cakupan luas, tidak cukup didekati dengan disiplin seni,” ujar Budi Utama, Sabtu pagi 20/8/2016.
Dia mengapresisi sentuhan budaya yang selama ini dilakukan Disbudpar dalam menggarap seni campur sari, ketoprak, wayang kulit, wayang orang, reog, krawitan dan sejenisnya. Tetapi dia menyayangkan, elemen kebudayaan yang berupa tradisi / adat, penanganannya selama ini masih terabaikan.
Budi Utama menunjuk contoh terhangat, salah satu adalah penyelenggaraan rasulan yang umum dilakukan masyarakat Gunungkidul. Dalam penyenlenggaraan upacara, ada  beberapa rangkaian kegiatan yang harus dibenahi. Alasannya, banyak hal yang bertentangan arah pembangunan karater masyarakat Gunungkidul.
“Nuansa aimisme dan dinamisme dibiarkan, bahkan ada kecenderungan ‘dijual’ untuk kepentingan pariwisata. Ikrar kenduri tumpeng emong untuk memetri kayi emong nyai emong, danyang semoro bumi, sebagai ekspresi rasa syukur itu paham animistik,” kritik Budi Utama.
Menurutnya, pemerintah perlu campur tangan mengarahkan pada garis munajad yang benar. Budi Utama sepakat dengan usulan Mustaid Jalil, tidak perlu menyalahkan, tetapi menuntun masyarakat memilih rois / kaum yang wasis memimpin doa.
“Bersyukur karena panen melimpah, itu bukan kepada roh, bukan kepada dewa atau dewi, melaikan kepada Tuhan Yang Esa,” tuturnya.
Ada kalanya, demikian Piolitisi PDIP ini menambahkan, rasulan diselipi acara umbar gunungan yang sengaja disediakan untuk warga dalam konteks ngalap berkah. Satu gunungan dirakit sepesial untuk diperebutkan secara beramai-ramai.
ilustrasi net
“Ini meniru prosesi rebutan gunungan ala ulang tahun Gunungkidul. Sekarang pikir dengan otak jernih. Apa pesan rebutan yang tidak jarang justru menginjak-injak materi yang diperebutkan,” kritik Budi ketus.
Kalau hal itu harus dilaksanakan sebagai perwujudan sedekah, pemerintah musti memberi tuntunan. Karena untuk keperlan sedekah, menurut mantan Ketua DPRD Gunungkidul ada tata cara yang benar.
“Jadi  tidak terkesan urakan seperti rebutan gunungan. Kalau atraksi tersebut dianggap sebagai pemanis pariwisata, menurut saya kok sangat tidak tepat,” pungkasnya.

KELEMBAGAAN GEO PARK GUNUNGSEWU DIPERTANYAKAN



ilustrasi net

Sidang Simposium GGN/UNESCO – Asia Pasifik di San’in Kaigan Jepang pada 15 hingga 20 September 2015 menghadiahi sertifikat kaliber dunia untuk Geo Park Gunungsewu. Taman Bumi Gunungsewu  tersebut membentang dari Gunungkidul, Wonogiri, sampai Pacitan. Setelah 10 bulan lebih, tindak lanjut pengelolaan Geo Park Gunung Sewu mulai dipertanyakan publik. 

Menyangkut kelembagaan, sekretariat, serta direksi yang mengelola hingga kini terkesan liar, karena tidak / belum pernah ada pengumuman resmi dari Pemda Gunungkidul, Wonogiri atau pun Pacitan.

“Mantan Sekretaris Daerah, Pak Budi Martono, demikian atif melakukan kegiatan mengatasnamakan Geo Park Gunungsewu itu memegang mandat dari Pemda, atau bagaimana, Hj. Badingah, S.Sos selaku Bupati harus mejelaskan secara transaparan kepada publik,” kata Joko Priyatmo (Jepe) warga Kecmatan Patuk, Jumat siang 19/8/2016.

Setidaknya, demikian lanjut Jepe, secara birokrasi Pemda perlu melakukan koordinasi dengan kabupaten Wonogiri dan Pacitan untuk membetuk semacam sekretariat bersama (Sekber). Pengelolanya, juga harus diperjelas swasta atau negara.

Pak Budi Martono meberikan ceramah melanglang Indonesia, juga dunia itu dibiayai APBD, atau keluar dari  saku pribadi, tidak pernah ada penjelasan apapun. Eloknya yang bersangkutan begitu yakin dan pede, mengunggah semua kegiatan terkait dengan Geo Park,” imbuh Jepe.

Secara logika, meski itu bertentangan dengan kondisi obyektif posisi Geo Park yang ada di tiga kabupaten, menurut Jepe, secara melekat yang menangani adalah Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Kabupaten Gunungkidul. 

“Ini menyangkut audit. Pak Budi Matono tampil solo seperti itu,  pertanggungjawabannya bagaimana. Siapa yang mengaudit, dan kepada siapa beliai harus membuat laporan atas pruduk kegiatan selama ini?” tanya Jepe.

Sebelum kebablasan, menurut Jepe, Pemda Gunungkidul perlu secepatnya melakukan evaluasi, serta menghentikan gerakan Budi Martono.Menurutnya, kasihan, kalau anggaran keluar dari kantong pribadi.

Jumat, 19 Agustus 2016

Visi Kabupaten Gunungkidul Bercorak Individualitik


Ilustrasi. Net
Mencari visi Indonesia, dalam hal ini dipersempit untuk Kabupaten Gunungkidul tahun 2030 atau 2050, perlu dirumuskan secara komperhensif holistik. Oleh sebab itu pencarian visi Gunungkidul ke depan, harus dilakukan secara bersama oleh segenap elemen masyarakat. Visi, tidak bisa diserahkan begitu saja kepada calon Bupti dan Wakilnya, saat dia menghadapi pertarungan di dalam pilkada. 
 
Yang selama ini terjadi, visi Gunungkidul ditentukan oleh individu calon Bupati dan Wakil. Meski kemudian oleh Bappeda diolah serta dikompilasi atau dioplos dengan sumber-sumber lain, tetap saja visi Gunungkidul, tidak mewakili kemauan rakyat, karena model dan coraknya sangat individualistik.
Ada kemauan kuat, bahwa penyusunan visi Kabupaten Gunungkidul diformulasikan secara bersama-sama, melibatkan tohoh yang memiliki kopentensi kuat di bidangnya. Hal ini akan membawa pengaruh besar dalam upaya mencapai sasaran yang lebih kongkrit dan terukur, terkait dengan visi yang telah disepakati dan ditetapkan bersama.
Setelah agenda reformasi berjalan selama 18 tahun lebih apakah Gunungungkidul saat ini dalam kondisi lebih baik atau sebakiknya? Sebagian besar warga Gunungkidul pasti sepakat menjawab lebih baik, dengan menunjuk satu bukti perkemangan pariwisata yang memang sangat mengebohkan.
Pandangan tersebut tidak keliru, namun yang perlu diingat, bahwa reformasi tidak identik dengan bomingnya pariwisata saja. Agenda utama reformasi adalah perlawan yang tidak kenal berhenti terhadap kecenderungan prakek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Berangkat dari tiga titik sasaran reformasi, Kabupaten Gunungkidul belum mencapai harapan kaum reformis. Masih terjadi praktek menyimpang, pejabat keluyuran mengkapling tanah SG di pantai selatan. Ada p ulapejabat yang nyambi menjadi body guard di Goa Pindul, sehingga area wisata ini sebentar menghanat, sebentar memanas, rakyat setempat dijadikan domba, yang siap diadu sewakt-waktu. Di Pos retribusi patai selatan, berdasarkan pemantauan para tokoh pesisir makin banyak pencurian karcis, tetap dibiarkan bahkan makin merajalela.
Di depan Bupati, sikap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menerima tenaga harian lepas, tidak ada kesamaan pandangan. Ada yang mengumumkan secara terbuka, ada yang diam-diam. Diduga  kuat, SKPD yang tertutup masih menjalankan praktek nepotisme.
Di luar eksekutif, anggota dewan selaku mitra kerja pemerintah memanfaatkan fasilitas dana aspirasi untuk keperluan mengamankan kedudukan pada pemilu 2019. Meski dikritik banyak orang bahwa payung hukum dana aspirasi itu regulasinya berfifat sepihak, karena pemerintah pusat tidak menyetujui dan tidak menandatangani.
Tidak jarang, anggota dewan nglurug ke SKPD dengan nada marah-marah,  minta jatah proyek yang diatasnamakan partainya guna menentramkan hati kontituent yang pada pileg kemarin memberikan suara kepadanya. Bahkan terjadi pula salah seorang tim sukses Bupati dan Wakil Bupati terpilih nimbrung nodong, lagaknya seperti anggota legeslatif.
Rekaman buruk seperti itu jarang dilihat oleh publik. Yang mereka tangkap sebatas glamour pembangun dan kemajuan ‘palsu’ yang dibungkus dengan slogan toto titi tentrem, gemah ripah kerto tur rahajo. 
Tentrem yang bagaimana kalau Pindul tak kunjung berhenti bergolak. Mari kita lihat agenda reformasi secara jernih dan obyektif, melalui perbaikan visi Kabupaten Gunungkidul dengan menyumbngan ide melalui berbagai saluran yang memungkinkan kita lewati. Salam reformasi, salam 17, juga salam 71.

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...