Rabu, 10 Agustus 2016

Ribut-Ribut Setelah Sadar Tercerabut Dari Akar Budaya


Penekanan pendidikan karakter sesungguhnya telah dimulai sejak era pemerintahan Soekarno. Presiden Jokowi seperti terperengah setelah tahu, bahwa produk pendidikan kurang menghasilkan manusia berkualitas. Buru-buru, dia menekankan pentingnya pendidikan karakter bagi anak SD serta SMP.
Muhadjir Efendy selaku Mendikbud, hanya dalam tempo seminggu setelah dilantik 27/7/2016 melakukan akrobrat, bakal menerakan model ‘sekolah sepanjang hari’. Mendikbud merencanakan, bahwa untuk SD skenarionya 80 % pendidikan karakter – 20 % ilmu pengetahuan. Sementara untuk siswa SMP komposisinya 60 % – 40 %.
Muhadjir mau punya kebijakan apa pun, sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Pertanyaan yang medesak untuk dijawab adalah begini: kalau anak tidak berkarakter, tidak berbudipekerti, tidak ngerti unggah-ungguh, siapa yang paling bertanggungjawab? Ini untuk tak menyebut siapa yang telah melakukan kesalahan.
Menengok pendidikan karakter ala Romawi, di sana lebih menekankan  pentingnya aspek keluarga.  Bentuk nyata dari pembentukan karakter itu dimulai dengan memberikan nilai moral seperti memberikan rasa hormat kepada tradisi leluhur.[1] Unsur dasar pendidikan karakter ala Romawi ialah memberikan nilai seperti mengutamakan kebaikan, kesetiaan, dan berperilaku sesuai dengan norma dalam masyarakat.[1]
Tak perlu jauh ke Romawi, dalam tradisi pendidikan di Indonesia.[1] Pendidikan karakter bukan hal baru Beberapa tokoh Indonesia modern yang kita kenal seperti Soekarno telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa yang bertujuan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter.[1]  
Haryanto, peneliti kurikulum dan teknologi pendidikan mengatakan, saat ini masalah karakter memang cukup menarik untuk dibahas,  karena munculnya praktik pendidikan kita tidak dapat diprediksi.
Praktek pendidikan yang terjadi di kelas, menurutnya  hanya meningkatkan keterampilan kognitif pada tingkat yang sangat rendah dari pendidikan. Akibatnya,  pendidikan hanya menyediakan manusia skolastik dan karakter intelectually, pintar tapi kurang  sebagai manusia yang nyata.
Menutip konsep Ki Hadjar Dewantara, Haryanto menulis: 1) praktek intelegensia emosional akan membangun karakter yang baik dan kepribadian yang kuat, yang pada akhirnya, itu dapat mengalahkan kemarahan dan kebiasaan buruk; 2) kebutuhan pendidikan karakter  terfokuskan pada tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) secara sinergis; 3) membangun karakter, berarti harus membayar  sistem ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,  tut wuri handayani); dan 4) pendidikan karakter harus mencakup semangat bangsa untuk memberikan contoh, pengulangan kebiasaan yang baik, tindakan, dan pengalaman fisik-jiwa.
Dari prepektif yang berbeda, keluarga sebagai lingkungan awal si bocah, selama ini telah melupakan tradisi  Jawa pancadriya wekasing tunggal. Kalangan keluarga tidak lagi mengajarkan lima panembah, yang pada hakekatnya merupakan satu kesatuan.
Panembah jati, itu yang pertama, bahwa manusia mutlak harus menyembah pada Yang Esa, tidak boleh tidak. Faktanya, berapa glintir ortu yang juweh menanyakan / mengontrol ihwal solat tepat waktu bagi yang muslim.
Panembah kedua, anak harus menghormati kedua orang tua, karena mereka adalah si pengukir jiwa raga. Sejelek apapun anak dilarang mengucap hus…… pada mereka.
Panembah ketiga, ditujukan kepada saudara tua, karena saudara tua bakal menjadi wakil atau pengganti ketika kedua orang tua kembali ke kasidan jati. menentang sedulur tuwo bisa kuwalat.
Panembah ke empat, ditujukan kepada bapa guru. Mereka merupakan agen pemberi lentera berupa ilmu, hebat seperti apa pun, manusia tanpa ilmu, laku dan celathunya pasti kesasar-susur.
Panembah ke lima, ditujukan kepada raja, sekarang pemerintah. Mengapa? Pemerintah itulah yang mengatur agar manusia hidup tertib, nyaman dan aman.
Dewasa ini, ajaran pancadriya wekasing tunggal, tidak lagi dipahami oleh keluarga. Kesimpulannya, kalau anak tidak memiliki atau tidak paham unggah-ungguh, yang keliru bukan si bocah. Jangan salahkan kalau mereka lebih menghormati pokemon.
Gegeran soal pendidikan karakter, ujung-ujungnya ternyata kita telah tercerabut dari akar kebudayaan bangsa. Mumpung belum terlalu jauh, mari kita kembali ke jati diri. Tidak usah takut dibilang kolot. Sudahi perjalanan sesat selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...