Mustaid Jalil. dok pri |
Pulang dari Batavia (Jakarta) ke Jogja, bagi
orang-orang sibuk biasanya memilih transportasi udara dengan alasan kejar
waktu. Tidak demikian dengan ustad super sibuk yang satu ini. Mustaid Jalil
memilih Fajar Utama, kereta yang sedikit lebih keren dibanding sepur kluthuk di
era orde lama.
“Sekali-sekali menikmati kendaraan rakyat peninggalan kolonial, termasuk merenungi
jejak pengorbanan 12.000 pekerja rodi pada
abad 18,” ucap Ustad yang senantiasa berpenampilan necis, Selasa 9/8/2016.
Bulan Agustus bisa banyak mengungkit sejarah NKRI masa lalu. Dengan materi
yang berbeda, semua menggambarkan pengorbanan serta nilai kemanusiaan. Di sela
deru kereta, sambil lier-lier antara terjaga dan tidur, Kiai Mustaid Jalil menengok
jauh ke belakang.
“Perjalanan naik kereta api Ahad siang 7/8/2016 kemarin dulu, saya memperhatikan
geografi sekitar rel. Tempo dulu, saat membuat jalur tebras gunung, timbun jurang, konon pakai tenaga manusia
dengan KERJA RODI tanpa konsumsi layak. Banyak pekerja meninggal karena kelaparan. Mereka bekerja di bawah todongan bedil Belanda. yang muslim bahkan tak sempat solat,” renung Kiai Mustaid.
Kekecewaan dan keprihatinan tergurat jelas di garis jidat yang mulai sedit berkerut karena faktor
usia. Mustaid menggerutu, “Kenapa kadang terdengar begitu tega, jasa KA pada orde yang lalu selalu dilaporkan
defisit”.
Ke depan, demikian dia
berharp. sektor KA ini ada laba yang bisa dinikmati tidak hanya bagi
PT Pesero KA, tetapi juga rakyat Indonesi pada umumnya.
“Ya Alloh kami bermunajad, jariyah rakyat saat
itu bisa melahirkan rahmahMu hadiahi sorga bagi mereka. Semoga bangsa ini sadar
betapa besar jasa para pekerja rodi kala itu. Mudah-mudahan para pengambil
kebjakan paham, bawa kemerdekaan ini juga karena jasa KA yg membawa
prajurit bambu runcing,” ucap Mustaid pelan menggamit doa.
Jemie Simatupang menulis, dari sumber pemerintah Inggris yang hinnga kini belum
terklarifikasi menyebutkan, di bawah pemerintah Belanda, kekejaman Gubernur Jendral Herman Williem Daendeles, terkait pembuatan jalan KA Anyer-Panarukan
menelan nyawa tidak kurang dari 12.000 jiwa.
“Siapa yang harus menghormati, dan dengan cara bagaimana bangsa ini
menghargai jiwa-jiwa yang malang,”
pungkas Mustaid, begitu kakinya menapak di Stasiun Tugu Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda