Selasa, 09 Agustus 2016

Renungan Agustus: 12.000 Jiwa Melayang Tidak Keruan Kuburnya


Mustaid Jalil. dok pri



Pulang dari Batavia (Jakarta) ke Jogja, bagi orang-orang sibuk biasanya memilih transportasi udara dengan alasan kejar waktu. Tidak demikian dengan ustad super sibuk yang satu ini. Mustaid Jalil memilih Fajar Utama, kereta yang sedikit lebih keren dibanding sepur kluthuk di era orde lama.

“Sekali-sekali menikmati kendaraan rakyat peninggalan kolonial, termasuk merenungi jejak pengorbanan 12.000  pekerja rodi pada abad 18,” ucap Ustad yang senantiasa berpenampilan necis, Selasa 9/8/2016.

Bulan Agustus bisa banyak mengungkit sejarah NKRI masa lalu. Dengan materi yang berbeda, semua menggambarkan pengorbanan serta nilai kemanusiaan. Di sela deru kereta, sambil lier-lier antara terjaga dan tidur, Kiai Mustaid Jalil menengok jauh ke belakang.

Perjalanan naik kereta api Ahad siang 7/8/2016 kemarin dulu, saya memperhatikan geografi sekitar rel. Tempo dulu, saat membuat jalur  tebras gunung, timbun jurang, konon  pakai tenaga manusia dengan KERJA RODI tanpa konsumsi layak. Banyak pekerja meninggal karena kelaparan. Mereka bekerja di bawah todongan bedil Belanda. yang muslim bahkan tak sempat solat,” renung Kiai Mustaid.

Kekecewaan dan keprihatinan tergurat jelas di garis jidat yang mulai sedit berkerut karena faktor usia. Mustaid menggerutu, “Kenapa kadang terdengar begitu tega, jasa KA pada orde yang lalu selalu dilaporkan defisit.

Ke depan, demikian dia berharp. sektor KA ini ada laba  yang bisa dinikmati tidak hanya bagi PT Pesero KA, tetapi juga rakyat Indonesi pada umumnya.

Ya Alloh kami bermunajad, jariyah rakyat saat itu bisa melahirkan rahmahMu hadiahi sorga bagi mereka. Semoga bangsa ini sadar betapa besar jasa para pekerja rodi kala itu. Mudah-mudahan para pengambil kebjakan paham, bawa kemerdekaan ini juga karena jasa KA yg membawa prajurit bambu runcing,” ucap Mustaid pelan menggamit doa.

Jemie Simatupang menulis, dari sumber pemerintah Inggris yang hinnga kini belum terklarifikasi menyebutkan, di bawah pemerintah Belanda, kekejaman  Gubernur Jendral Herman Williem Daendeles,  terkait pembuatan jalan KA Anyer-Panarukan menelan nyawa tidak kurang dari 12.000 jiwa.

“Siapa yang harus menghormati, dan dengan cara bagaimana bangsa ini menghargai  jiwa-jiwa yang malang,” pungkas Mustaid, begitu kakinya menapak di Stasiun Tugu Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...