budi utama. dok pri |
Tahun 2016, Kabupaten Gunungkidul dikabarkan bakal punya dinas kebudayaan.
Sepanjang itu terelasisasi, urusan tradisi / adat dan budaya yang selama ini sentuhannya
terlalu kedodran, dipastikan bakal tertangani secara maksimal.
Satu pertanyaan besar dilontarkan Drs. Budi Utama, MPd. MM. seberapa banyak
jumlah sumberdaya manusia yang secara akademis, ahli serta siap bekerja secara
profesional menangani kebudayaan yang cenderung animistik dan 'urakan'.
“Selama ini, sepanjang pengamatan saya, latar belakang birokrat yang diberi
kewenangan menangani kebudayaan adalah sarjana seni. Sementara pernik-pernik
tradisi / adat serta budaya dalam pengertian serta cakupan luas, tidak cukup
didekati dengan disiplin seni,” ujar Budi Utama, Sabtu pagi 20/8/2016.
Dia mengapresisi sentuhan budaya yang selama ini dilakukan Disbudpar dalam
menggarap seni campur sari, ketoprak, wayang kulit, wayang orang, reog,
krawitan dan sejenisnya. Tetapi dia menyayangkan, elemen kebudayaan yang berupa
tradisi / adat, penanganannya selama ini masih terabaikan.
Budi Utama menunjuk contoh terhangat, salah satu adalah penyelenggaraan
rasulan yang umum dilakukan masyarakat Gunungkidul. Dalam penyenlenggaraan
upacara, ada beberapa rangkaian kegiatan
yang harus dibenahi. Alasannya, banyak hal yang bertentangan arah pembangunan
karater masyarakat Gunungkidul.
“Nuansa aimisme dan dinamisme dibiarkan, bahkan ada kecenderungan ‘dijual’
untuk kepentingan pariwisata. Ikrar kenduri tumpeng emong untuk memetri kayi
emong nyai emong, danyang semoro bumi, sebagai ekspresi rasa syukur itu
paham animistik,” kritik Budi Utama.
Menurutnya, pemerintah perlu campur tangan mengarahkan pada garis munajad
yang benar. Budi Utama sepakat dengan usulan Mustaid Jalil, tidak perlu
menyalahkan, tetapi menuntun masyarakat memilih rois / kaum yang wasis memimpin
doa.
“Bersyukur karena panen melimpah, itu bukan kepada roh, bukan kepada dewa
atau dewi, melaikan kepada Tuhan Yang Esa,” tuturnya.
Ada kalanya, demikian Piolitisi PDIP ini menambahkan, rasulan diselipi
acara umbar gunungan yang sengaja disediakan untuk warga dalam konteks ngalap
berkah. Satu gunungan dirakit sepesial untuk diperebutkan secara beramai-ramai.
ilustrasi net |
“Ini meniru prosesi rebutan gunungan ala ulang tahun Gunungkidul. Sekarang
pikir dengan otak jernih. Apa pesan rebutan yang tidak jarang justru
menginjak-injak materi yang diperebutkan,” kritik Budi ketus.
Kalau hal itu harus dilaksanakan sebagai perwujudan sedekah, pemerintah
musti memberi tuntunan. Karena untuk keperlan sedekah, menurut mantan Ketua
DPRD Gunungkidul ada tata cara yang benar.
“Jadi tidak terkesan urakan seperti
rebutan gunungan. Kalau atraksi tersebut dianggap sebagai pemanis pariwisata, menurut
saya kok sangat tidak tepat,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda