Minggu, 27 April 2014

PARTAI ARTIS NASIONAL

Sederet seniman, maaf, yang saya maksud adalah sederet artis: Anang Hermansyah, Desy Ratnasari , Ikang Fauzi, Luki Hakim, Eko Patrio, Marissa Haque, Primus Yustisio, Gading Martin, Dwiki Darmawan,  Jeremy Thomas, ramai-ramai masuk gedung parlemen. Mereka sama-sama membawa bendera biru, namanya PARTAI ARTIS NASIONAL. Ada yang salah? Atau ada yang lucu?

Saya pikir, salah sih enggak. Lucu itu kongkret dan jelas. Kalau toh para artis itu boleh disebut seniman di bidangnya, sesungguhnya tidak terlalu salah. Sayangnya, di Indonesia, sangat jarang seorang artis sekaligus dipredikati seniman, apalagi budayawan.

Kembali ke  Anang Hermansyah dkk. Seberapapun tipis kadar kesenimanan dan kebudayaan yang mereka miliki, sebenarnya mereka akan lebih produktif kalau setia pada dunianya.  Parlemen, itu dunia lain bagi Anang cs. Cermati saja, itu Eko Patrio. Dia bisa berbuat apa untuk negeri ini berkaitan pasca mimikri menjadi politisi. Tentu berbeda jika Eko tetap bertahan pada dunia yang dia tapaki.
Tidak hanya menyebut Eko Patrio. Yang lebih senior, seperti Tantowi Yahnya, tatkala mengenakan jaket kuning, detak seni dan hiburannya stagnan, sementara prestasi politiknya kagak kelihatan. Juga Nurul Arifin, Dyah Pitaloka si O’on yang oneng itu.

Saya menduga, mereka sedang melakukan ‘pengkhianatan’ besar-besaran terhadap hati nurani. Menelisik jagat pakeliran, ditemukan sejumlah figur  seperti semar, petruk, gareng dan bagong, di satu sisi, di seberang lain hadir juga Togok dan Trembilung yang sabuk bandhil.

Tokoh punokawan ini tidak pernah menegasi jati diri. Eksistensi mereka demikian kongkret sebagai pamomong wiji ratu: semar dan anaknya menjaga satria lurus, sementara Togok dan adiknya mengasuh ratu sabrang yang selalu saja berjalan ‘cenanangan’.

Para punakawan ini tidak pernah mimpi untuk berpindah peran menjadi ratu. Toh andaikata ada lakon ptruk dadi ratu, gareng dadi ratu, bagong dadi ratu, itu adalah sempalan cerita dalam konteks merekonstruksi sekaligus meluruskan  pemikiran para ksatria.

Pakeliran adalah jagat maya. Yang riil kita bisa tengok sejarah, sekurang-kurangnya  500 tahun silam, bersamaan runtuhnya Majapahit. Paradok batiniah antara Prabu Brawijaya dengan abdi setia Sabdo palon Noyo Genggong, adalah refleksi agama hati. Prabu Brawijaya membaca Kalimah Syahadat, sementara Sabdo Palon Noyo Genggong konsisten merasuk agama Budha (Budhi).

Raja dan abdi itupun berpisah. Sang Sabdo Palon mengucap kalimat pendek, 500 tahun ke depan, dia akan datang menumpas orang-orang tak berbudi, bersamaan meletusnya  gunung merapi.  Tahun 2006, terhitung berjarak 500 tahun dari runtuhnya Majapahit Gunung Merapi Meletus.

Sabdo Palon dan Noyo Genggong benar-benar datang mengingatkan umat manusia yang hanya pintar melafat Kalimah Syahadat, tepi tak pandai menimbang budhi. Berikut secara beruntun gempa, lumpur Lapindo, Sinabung, Abu Kelud, bahkan mungkin juga akan sampai pada muntahnya anak Krakatau.

Kehadiran Sabdo Palon dan Noyo Genggong, adalah manifestasi bahasa budi, pengejawantahan bahasa hati. Seniman, dudayawan, secara fungsional adalah penyangga bahasa budi, bahasa hati.  Kembali pada Anang dan kawan kawan.  Mereka ke Senayan menenteng leksikon politik.

Huft…….. Saya meragukan kemampuan mereka. Kredibilitas mereka di ranah hiburan cukup teruji, tetapi di bidang politik, mereka termasuk golongan orang-orang yang kurang kerjaan. Dalam konteks budaya jawa, mereka ‘legan golek momongan’.

Kehadiran mereka bukan membangun politik, melainkan sebaliknya mencederai politik. Yang paling tidak diuntungkan adalah Partai Amanat Nasional. Secara wujudiah, berubah menjadi Partai Artis Nasional, karena sepuluh artis menggerombol berkumpul di sana.

Selasa, 22 April 2014

JEJAK REKAM PILEG 2014 DI GUNUNGKIDUL



Sisi menarik Pileg 2014 di Gunungkidul: (1) warga yang nyaris tercecer, hampir tak terdaftar dalam DPT, terekam cukup fantastik: 7.404 orang; (2). warga yang tidak datang ke TPS 128.581 orang, 21,46 %; (3). suara tidak sah alias gugur 17.262 atau  3 persen lebih.  Itulah yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, selama pileg 2014 lalu.  

Sumber utama tulisan ini adalah hasil pleno KPUD Gunungkidul 20/4/2014 lalu. Total pemilih yang secara administratif terekam di DPT KPUD Gunungkidul  591.600 orang. Warga yang terjaring melalui: daftar pemilih tambahan (DPTb), daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) pengguna KTP, KK dan identitas lainnya sebanyak 7.404 orang. 

DPT sebelum disisir 591.600 ditambah hasil penjaringan 7.404, ketemu angka total pengguna hak pilih 599.004. Masyarakat yang menggunakan hak pilih pada pileg 9/4/2014,  470.423 orang. Angka ketidakhadiran 128.581 orang. Dipresentase, mencapai 21,66 %.

Mengapa 128.581 orang, tidak hadir pada pileg 9 April 2014 lalu? Ini tidak mudah dijelaskan. Juga tidak gampang menyebut, bahwa mereka adalah GOLPUT. Alasannya  sederhana, KPU dalam menata DPT sampai dengan pelaksanaan pileg 2014, tidak pernah benar. Yang pasti, tanpa iming-iming hadiah, warga Gunungkidul yang respek mendatangi TPS hanya. 470.423, tidak kurang, tidak lebih.

Berbilang soal suara tidak sah, ini perkara alain.  Ada bermacam perkiraan: kartu suara tanpa dibuka langsung dicoblos; kartu suara dibuka tetapi dicoblos pada logo warna merah; kartu suara tanpa dicoblos sama sekali; dan masih banyak lagi kekeliruan yang lain.

Tingkat keguguran 17.262 suara,  atau 3.66 persen, diduga disebabkan oleh sistem yang dibangun KPU, juga  kemapuan SDM pencoblos dalam memahami kecanggihan demokrasi abad 21.

KPU lemah dalam sosialisasi teknik pencoblosan, berakibat tidak semua calon pencoblos memiliki gambaran awal, seperti apa wujud kartu suara yang bakal digunakan di bilik suara. Para caleg gigih memperagakan, namun tetap saja besaran anggka gugur tak terelakkan.

Indikator surat suara gugur: (1). surat suara tidak dibuka, tidak dicobos; (2). surat suara tidak dibuka langsung dicoblos; (3). surat suara dibuka, tetapi yang dicoblos logo warna merah, bukan partai atau caleg; (4) surat suara dicoblos di luar kotak yang disediakan.
Tiga dinamika pileg 2014 di atas adalah pengalaman berharga untuk pileg 2019. Atau setidaknya bisa dijadikan rujukan perbaikan sistem untuk pilpres Juli 2014 mendatang.

Senin, 21 April 2014

PERHITUNGAN SEMENTARA PEROLEHAN KURSI PILEG 2014 DPRD II GUNUNGKIDUL



Penetapan perolehan suara calon anggota DPR Kabupaten Gunungkidul dilakukan Ahad, 20/4/2014. Penentuan peringkat masing-masing calon  seluruh partai, dari dapil 1 sampai dapil 5, digelar pula pada pleno hari yang sama. Komposisi sementara, berkaitan dengan perolehan kursi parpol ramai diperbincangkan publik. Partai yang berada di 5 besar adalah PDIP, PAN, Golkar, Gerindra, kemudian PKS.




Komposisi sementara perolehan kursi DPRD II Gunungkidul Pada Pileg 2014, Rapu Pon, 9 April 2014.






Dapil


Total
No
Partai
1
2
3
4
5








Kursi
1
PDIP
4
2
2
1
2
11
2
PAN
2
2
1
1
1
7
3
Golkar
2
1
1
1
1
6
4
Gerindra
1
1
2
1
1
6
5
PKS
1
1
1
1
1
5
6
Demokrat
1
1
1
0
1
4
7
PKB
1
0
1
1
0
3
8
Nadem
0
0
1
1
0
2
9
Hanura
0
0
0
1
0
1
JML
KURSI
12
8
10
8
7
45



Total suara sah di Dapil 1 sejumlah 123.585. Jatah kursi untuk dapil ini  12. Sesuai peraturan perundangan yang berlaku, penetapan BPPnya dihitung, total suara sah 123.585 dibagi 12 Kursi, ketemu angka  10.229. Itu sebabnya kursi pertama sampai ke empat langsung diembat PDIP, karena partai moncong putih ini di dapil 1 meraup suara 41.884.


Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di dapil 1 mencakup Kecamatan Semanu, Wonosari dan Playen memimpin perolehan kursi. PDIP mencomot 4 kursi,  dikuntit Golkar, PAN, Gerindra, PKB, Demokrat dan PKS.


Pertarungan di Dapil II meliputi Kecamatan Patuk, Gedangsari, Nglipar dan Ngawen. Suara sah di Dapil 2 sejumlah 81.479, dengan jatah kursi 8 biji. Angka BPP terekam 10.185.


PDIP di dapil 2 langsung ambil kursi ke satu dan kedua. PAN brebut di kursi ketiga dan kedelapan. PKS, Golkar, Demokrat dan Gerindra, ambil kursi ke 4, 5, 6 dan 7. PKB kehilangan kursi di Dapil 2. Partai warisan Gus Dur ini rebutan sisa suara di kursi ke delapan dengan PAN. Selisih angka sisa suara  lumayan tipis, hanya 119 suara. PKB mengantongi sisa suara 4.960, sementara PAN masih menyimpan sisa suara 5.079.


Berikutnya, gambaran pertarungan di Dapil 3, meliputi kecamatan Semin, Karangmojo dan Ponjong. Yang bermain di dapil ini lumayan seru. Berbeda dengan Dapil 1 dan 2, Partai Nasdem mampu merebut kursi ke enam, dari 10 jatah yang dipagu. Masih juga PDIP mengambil kursi pertama dan kedua. Elok, kursi ke 3 dan ke 8 disikat Gerindra. Kursi ke 4, 5, 6,7, 9 dn 10 diduduki PAN, Golkar, Nasdem, Demokrat, PKB dan PKS.


Perolehan kursi di dapil 4 merata. Golkar, PAN, PDIP, Nasdem, PKB, PKS, Gerindra dan Hanura  masing-masing 1 kursi. Posisi ke 8, dilibas Hanura. Demokrat bertekuk lutut dengan selisih perolehan suara 329. Hanura nangkring di angaka 4.353, sementara Demokrat ada pada posisi sisa suara 4.024.



Pungkasan, gambaran perolehan kusrsi di Dapil 5. PDIP kembali menenteng dua kursi, ambil di kursi pertama dan keenam. Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS masing-masing 1 kursi. Spesifik PKS, rebutan di kursi ke 8 dengan Nasdem. PKS unggul jauh, 704 suara. PKS mampu menangguk suara 5084, Nasdem keteteran di angka 4379.




DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...