Pemandangan sarkastik
terjadi pada tahapan pilpres 2014. Prabowo-Jokowi tidak pandai mengindar dari sindiran aksara jawa: hana
caraka, data sawala, padha jayanya, dan maga
bathanga. Ada isyarat: mereka tidak akan berhadil memimpin Indonesia
selama mereka tidak bisa berbuat melawan arus dengn melafat aksara jawa secara
terbalik: ngatha bagama, nyayaja padha, lawasa
data, karaca naha.
Aksara ciptaan Ajisaka
itu tidak sekedar dimaknai sebagai bagian dari linguistik semata. Di dalamnya
termuat filosofi Jawa, untuk gejala
lahirnya sosok pemimpin negara.
Tak pelak, kita saksikan,
Prabowo-Joko Widodo dengan pasangan masing-masing, sama-sama mengklaim pantas
menjadi utusan (hana caraka). Oleh KPU klaim
itu kemudian dipertontonkan melalui
layar kaca. Tujuannya konon agar rakyat tidak salah pilih.
Tetapi di luar tujuan,
yang terjadi: kita disuguhi peragaan aneh. Prabowo Joko Widodo justru menampilkan
atraksi kesombongan. Yang satu menyombongkan ketegasan.
Yang dua menyombongkan kesederhanan.
Dengan modal ketegasan di
satu pihak dan kesederhaaan di pihak lain, keduanya menyatakan (data
sawala) tidak ragu-ragu, untuk membuat Indonesia menjadi sebagaimana
diimpikan oleh 250 juta rakyat.
Padha jayanya: Prabowo-Joko Widodo,
nampak sama-sama ampuh. Terlebih ketika
kita disuguhi: oleh masing-masing pendukungnya yang cenderung
mengunggulkan jago. Yang memiliki ketegasan, dinilai hebat, yang tampil
sederhana dijunjung setinggi langit.
Endingnya apa? Maga bathanga. Prabowo-Joko Widodo, itu pastinya akan
tidak bisa berbuat banyak untuk membongkar sistem kapitalisme yang telah terlanjur
menggurita.
Tidak muluk, permintaan
rakyat Indonesia itu sukup sederhana: ibu pertiwi tercinta harus berubah
menjadi loh jinawi. Loh artinya tulus kang sarwa tinandur. Jinawi
murah kang sarwa tinumbas.
Dan membuat Ibu Pertiwi
menjadi bisa paring boga kang murakabi, akan selalu dihalang-halangi oleh kaum
borjuis. Kelompok borjuis ini secara diam-diam merupakan komprador kapitalisme
dunia.
Dililit gurita
kapitalisme, Prabowo-Jokowi dipastikan hanya menjadi tumbal. Dan siapa pun yang
keluar sebagai pemenang posisinya adalah maga bathanga:
sama-sama menjadi mayat di depan kapitalisme dunia.
Untuk menghindar dari
rajah aksara Jawa, keduanya harus berani melafat 20 akasara Jawa itu scara
terbalik: ngatha bagama, nyaya jadhapa, lawasa
data, kara canaha.
Kongkritnya? Siapapun
pemenangnya, mereka harus berani LAPAR. Rakyat yang mustinya kenyang duluan.
Pemimpin, di segala level, eksekutif, legeslatif dan yudikatif, patut berpuasa selama 5 tahun. Beranikah?
Itulah persoalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda