Alam memberi isyarat yang luar biasa. Tanda-tanda tersebut
melekat di raut Prabowo Subianto, juga
di garis wajah Joko Widodo. Pada hiruk-pikuk pilpres 2014, saya menyoroti keduanya,
dari sisi kemiripan postur tubuh.
Saya tidak
mengatasnamakan politisi. Saya juga bukan bagiaan terkecil dari timses salah
satu. Saya orang kebanyakan. Orang biasa. Secara kebetulan saya menangkap
gelagat alam. Prabowo-Jokowi, menurut saya, kok lebih mirip tokoh nasional
tempo hari.
Paparan ini sepi dari
pamrih menggiring calon pemilih. Sebuah karya agung, telah diperlihatakan.
Prabowo Subianto mirip Soekarno. Joko Widodo mirip Sudirman.
Saya sempat kaget,
kemudian merunduk dan berfikir, itu bukan sebuah kebetulan. Di mata saya sebegitu jelas. Bedanya, Prabowo
Subianto tidak suka berkacamata hitam sebagaimana Soekarno.
Jokowi, saat mengenakan
ikat kepala, dan berfoto miring, wajah Sudirman seperti manitis kepadanya.
Maaf, soal bibir lebih tebal Pangsar Sudirman.
Pikiran saya sangat terganggu
atas munculnya wajah calon pemimpin yang
bertarung di 2014. ‘Kembaran’ Soekarno-Sudirman (meski itu sebatas mirip, dan
lebih celaka lagi itu hanya imajinasi saya) terus saja membuat pikiran saya
tidak nyenyak. Ada apa di sebalik
fenomena itu.
Untuk merebut
kemerdekaan, Soekarno duduk di istana, pasang badan mengerahkan kemampuan
deplomasi. Sudirman bersama rakyat, lebih nyaman mengangakat bambu runcing,
bergerilya dari daerah ke daerah.
Menganalogi sejarah,
Prabowo Subiyanto, yang minus kacamata hitam itu, berpeluang menduduki kursi
istana. Tetapi Prabowo keluar sebagai pemenang, tentu sangat bergantung kepada:
apakah rakyat menghendaki sejarah Sukarno-Sudirman itu berulang.
Menjadi berbeda
kejadiannya, manakala sebagian rakyat menginginkan menyatunya militer-sipil
dalam konteks roso
lan pikir (jiwani-ragawi). Jokowi yang secara imajinatif saya anggap
sebagai ‘kembaran’ Pak Dirman, akan keluar sebagai pemenang alias menjadi ‘penyewa’
kursi istana. Wajahnya mirip Sudirman. Dan perang gerilya dalam kontek yang
berbeda, selalu dia lakukan.
Ini bukan analisis
politik. Kesimpulanya? Saya malah tidak tahu harus menarik kesimpulan seperti
apa. Pasalnya, mereka berdua benar-benar mirip. Mirip Soekarno, mirip Sudirman.
Pokoke emboh........ ha ha ha.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda