Selasa, 31 Desember 2013

KEMENSOS GELONTORKAN 2 MILYARD LEBIH UNTUK BAYI TERLANTAR DI GUNUNGKIDUL


Anak (baca: bayi) terlantar, tidak hanya tersebar di kota besar. Di Desa, bahkan di pedukuhan paling udik sekalipun, setelah didata, ternyata jumlahnya cukup Fantastik. Kabupaten Gunungkidul, menjelang tutup tahun 2013, memperoleh gelontoran dana dari Kemensos RI, tidak kurang dari Rp 2.277.600.000,00 untuk 2.847 bayi terlantar.

Anak Balita Terlantar (ABT) adalah anak  berusia 0 – 4 tahun yang karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibanya. Adanya ABT karena beberapa sebab : (1). orang tuanya miskin / tidak mampu; (2). salah satu orang tuanya sakit; (3). salah satu / kedua orang tuanya meninggal. Kemungkinan seperti itu menyebabkan kelangsungan hidup si balaita, menyangkut pertumbuhan dan perkembangannya, baik  jasmani, rohani, maupun sosial menjadi terganggu.

Kabupaten Gunungkidul, berdasarkan data tahun 2010, memiliki bayi terlantar sebanyak 3.705 anak. Tahun 2011, menyangkut keberlangsungan hidup bayi sejumlah itu, Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) mengajukan proposal ke Kemensos untuk memperoleh bantuan. Akhir 2013, berdasarkan pertimbangan waktu serta teknis,  Gunungkidul memeperoleh jatah untuk 2.847 balita.

Kecamatan Patuk, meski belum merata ke 72 pedukuhan, 241 balita secara serentak menerima bantuan Rp 800.000,00. Wakil Bupati Gunungkidul, Himawan Wahyudi, didampingi Camat Patuk, R. Haryo Ambar Suwardi, SH Msi, menyerahkan bantuan tersebut dalam kesempatan peresmian Taman Panitipan Anak (TPA) Nur Saba, di kompleks Balai Desa Patuk, Senin 30/12/2013.

Salah satu penerima bantuan itu adalah Winda (23) Warga Widoro Wetan, Desa Bunder, Patuk, Gunungkidul. Ibu mudah itu menggendong Santika (3,5 bulan) putri pertamanya. Dia datang sendirian pada acara peresmian Taman Penitipan Anak Nur Saba,  karena Gunadi (26) suaminya, bekerja sebagai buruh kasar  di kota Jogja. Pasangan Gunadi-Winda termasuk keluarga tidak mampu. Buah hati mereka Santika terkategorikan sebagai balita terlantar yang perlu menerima stimulan Rp 800.000,00.

Bantuan sejumlah itu dimaksudkan agar orang tua mampu mengasuh bayi secara optimal untuk memberi makanan tambahan (PMT); untuk membeli pakaian; kesehatan, juga untuk biaya sekolah di di jenjang PAUD. Terkait dengan peresmian TPA Nur Saba, Waub Himawan Wahyudi yakin, “Ke depan, nasib pendidikan anak bangsa akan lebih baik.”


Minggu, 29 Desember 2013

PRABOWO SUKA KUDA, PETANI SUKA SAPI



Menentukan pola pembangunan untuk kawasan pedesaan (Tulus Tambunan 1985) bukan perkara mudah. Keberhasilan pembangunan pertanian misalnya, dipengaruhi oleh 3 hal: (1). Pola pembangunan yang dipilih; (2). Besarnya modal dasar sumber daya alam; (3). Keterkaitan dengan ekonomi kota, bahkan dunia.

Robert Cambers (1983) mendahuli satun poin, pembangunan pertnian harus dilakukan oleh ‘orang dalam’.  Sukses swasembada pangan 1983, tidak bisa dipandang sebagai karya petani. Gaung swasembada beras,  semata adalah karya ‘orang luar’, alias hasil tangan panjang Presiden Soeharto. Terbukti, begitu dominasi pemerintah meredup, kemandirian beras pun menghilang.

Komunitas petani, ini catatan yang pernah dibuat Lambang Triyono (1984), senantiasa didominasi oleh kekuasaan pusat, dengan intensitas yang berbeda, tergantung kepentingan politik ekonomi rezim yang berkuasa.

Di jaman kerajaan, menurut Lambang, petani berproduksi untuk kepentingan kraton, dengan tanah dan tenaga kerja yang sepenuhnya dikuasi raja. Di jaman kolonial, petani tidak bernasib baik. Penjajah menerapkan politik tanam paksa. Petani menjadi kuda troya.

Di awal kemerdekaan, Presiden Soekarno mecoba meperbaiki keadaan dengan mencanangkan reformasi agraria. Tetapi bomerang menghatam Soekarno. Reformasi agraria justru menjadi ajang gontok-gontokan antar partai politik. PKI menguasai petani dalam Barisan Tani Indonesia. Sejarah mencatat meletuslah pembrontakan G 30-S PKI.

Saat Orde Baru tampil, situasi pun berubah. Tahun 1983 Indonesia menjadi jawara, menyandang gelar swasembada beras. Tetapi tidak lama berselang, Indonesia kembali terpuruk. Dan secara beruntun, petani berada di tangan Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY.

Eloknya situasi, di bawah SBY impor tidak hanya sebatas pada beras. Layaknya virus, impor menular ke singkong, jagung, kedelai, bahkan sampai ke daging sapi yang belakangan justru bikin heboh.

Dari sekian tokoh nasional yang terang-terangan mengusung petani sebagai simbol perjuangan pada even pencapresan 2014 hanya Prabowo Subiyanto. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dia tarik sebagai ikon. Sebuah pilihan yang cerdas, karena mayoritas penduduk Indobesia adalah petani.
Meski begitu, saya tidak yakin, Probowo akan menepati janjinya. Ada fenomena pikiran Prabowo yang kadang  tak sejalan dengan pikiran rakyat. Bayangkan, mantan menantu penguasa Orde Baru ini lebih menyukai kuda, padahal rakyat lebih memilih piara sapi.

HKTI yang sekarang dicengkeram Prabowo, ke depan tidak akan lebih dari salah satu alat politik untuk menambang suara. Prabowo adalah figur militer yang politisi.  Oleh sebab itu sah sah saja kalau orang meragukan kemampuannya menangani problem yang dihadapi petani.

PEMILU PINTU MASUK PARA KORUPTOR



Negara yang menganut paham demokrasi secara periodik melaksanakan hajat besar bernama pemilu. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang menolak pilihan Gubernur. Hemat saya, ini bukan sekedar alasan sejarah, tetapi juga alasan budaya.

Pemilu, apapun jenis dan tingkatannya, hampir pasti memamerkan perebutan kursi kekuasaan. Dalam arena semacam itu, satu hal yang sulit dihindari, yaitu kompetisi tidak sehat, sebut saja itu POLITIK UANG.

Saya musti ambil contoh dari tataran kecil tetapi gaungnya cukup besar, yakni pada pemilihan ketua umum Partai Demokrat yang dilakukan di Bandung tempo hari. Gonjang-ganjing partai biru ini, sepertinya,  secara terang-terangan mempertontonkan hura-hura politik uang.

Tanggal 9 April 2014, harinya Rabu Pon, sepanjang tak ada benca alam, hajatan besar pilihan anggota legeslatif pasti berlangsung. Maret 2014, 3 minggu sebelum hari tenang, tepatnya tanggal 16 hari Ahad Wage, kampanye terbuka dimulai.

Sedikit berbeda dengan pemilu di Partai Demokrat.  Meski susah dibuktikan, kecenderungan politik uang di musim kampanye 2014, bahkan lebih mengerikan. Di dalam Kampanye pileg, cakupan wilayah lebih luas. Masyarakat yang terlibat pun lebih hegemonik. Sementara pelaku kampanye terbilang cukup besar 12 partai. 

Di arena kampanye 2014, saya terpaksa menggunakan istilah yang sarkastik: Calegnya ‘dungu’, calon pemilihnya ‘blo’on’. Saya bilang caleg ‘dungu’ karena di dalam kampanye, para caleg selalu mempersempit fungsi legislator sebagai pengawal program.

Mengutip kebiasaan para caleg di pemilu sebelumnya, “Bapak dan Ibu, dukung dan coblos saya di nomor urut satu. Saya dari Partai Gombal Mukiyo. Saya tidak sekedar janji, saya sudah buktikan, saya mengawal ketat program yang bapak-ibu sodorkan melaui musrenbangdes.”
Ditambah dengan pidato ataupun persuasi yang bombastik, “Saya tidak keberatan membuat lantai balai pedukuhan Bapak-Ibu menjadi berkeramik.” Berikutnya caleg ini pun minta dukungan 1 TPS minimal 50 sampai 70 suara.

Seperti terkena hipnotis, masyarakat yang tadi saya bilang blo’on mempercayai omongan caleg yang sesunggunya tidak lebih dari ocehan seorang MITRO NGGEDEBUS. Sang caleg harus ‘nggombalin’ calon pemilih demi sebuah kursi yang nilai finasialnya untuk DPRD II plus minus 10 juta rupiah per bulan. Sementara pihak calon pemilih keburu banget, ingin lantai balai pedukuhannya berlantai keramik.

POLITIK UANG, rupanya terkondisi dalan hubungan yang simbiose mutualistik. Calegnya butuh kursi, pemilihnya butuh keramik. Tetapi sangat berbahaya jika kalkulasi itu meleset. Jabatan DPR itu hanya 5 tahun. Per tahun hitungan kasar,  anggota DPRD II ada penghasilan 120 juta rupiah. Sampai akhir masa jabatan total pendapatan 600 juta rupiah.

Teman saya, pada pileg 2009 lalu, untuk kepentingan ini dan itu, menguras dompet hingga 750 juta rupiah. He he...... nombok. Terus...? Tentu saja mencari jalan agar pengeluaran dan pendapatan minimal menjadi BEP, sukur ada sisa lebih.

Kesimpulan saya: pemilu, sangat boleh jadi menjadi entri point budaya korupsi. Mengapa korupsi saat ini  menjadi sangat merajalela, salah satu penyebabnya cukup jelas. Calegnya dungu, calon pemilihnya blo’on.

DIY, menolak pemilihan Gubernur, bukan karena alasan historis belaka. Substansinya, karena DIY tidak mau melanggengkan budaya korup,  yang awalnya didahului  budaya ‘kong-kalikong’ antara calon pemimpin dengan rakyat. Sayangnya, itu baru berlaku untuk pemilihan gubernur dan belum termanifestasikan dalam pemilihan walikota serta bupati.

Sabtu, 28 Desember 2013

Antisipasi Kenakalan Pelajar Versi Kapolsek Playen Gunungkidul



Kenakalan pelajar terutama di kalangan SMP-SMU-SMK, jenisnya macam-macam: tawuran, geng motor, minuman keras, narkoba, sex, dan yang lain. Ki Hadjar Dewantoro, terkait masalah peredam kenakalan, Ki Hadjar Dewantoro melahirkan konsep Tri Pusat Pendidikan. Negara, melalui institusi Polri, tak ketinggalan, gencar melakukan penyuluhan.
Hari ini, Sabtu 28/12/2013 siswa SMP-SMU-SMK se Gunungkidul terima rapor. Polisi, diturunkan untuk mengamankan situasi. Polres Gunungkidul, terutama Polsek Playen, di bawah AKP Luthfi SiK, melelakukan penyuluhan serentak ke 11 SMP dan 10 SMU-SMK.
Sasaran utama, bukan kalangan siswa, melainkan wali murid. AKP Luthfi menerapkan metode sederhana. “Kami tidak perlu  ceramahi orang tua murid,” kata Luthfi kepada wartawan. Bekerjasama dengan sekolah, rapor anak yang diambil oleh orang tua, diselipi lembaran kiat pembinaan kenakalan rermaja.  
“Jadi,” demikin Lanjut Luthfi, “begitu menerima rapor, orang tua murid mendapat bacaan suplemen meliputi: pengertian kenakalan remaja; proses timbulnya kenakalan remaja; juga cara penanggulangan kenakalan remaja.”
Harapan Luthfi, di kalangan wali murid timbul kesadaran, bahwa penanggulangan kenakalan remaja bukan semata tanggungjawab sekolah, melainkan juga di pihak orang tua.
Upaya penyuluhan orang tua murid yang teramat sederhana ini disambut baik oleh Bambang Kustianto, Wakil Kepala Sekolah SMP Negri II Playen. “Dengan adanya bacaan yang dikemas singkat yang diselipkan ke dalam rapor siswa, kami, pihak sekolah justru merasa terbantu.”

IBU-BAPAK CAWAPRES, MAMPUKAH ANDA MENCINTAI RAKYAT?



Merunut ramlan Janko Jayo Bayo, Indonesia dipimpin oleh: (1). Satrio Kinunjoro, (2).Satrio Mukti Wibowo, (3). Satrio Jinumput, (4). Satrio Pinilih, (5). Satrio Piningit, (6). Satrio Lelono, (7).Satrio Boyong, dan (8). Satrio Pinandito. Terhadap ramalan seperti itu, orang boleh berdebat, boleh juga tidak percaya.
Tetapi di celah hiruk pikuk calon presiden 2014, kemauan rakyat, ternyata sangatlah sederhana.  Ke depan, Indonesia butuh presiden, yang lahir batin mencintai rakyat. Ini ‘pilihan budaya’ harga mati.  Saking sederhananya, sejumlah tokoh yang kini gencar pamer wajah di layar kaca, perlu segera ‘mulat sariro hangroso wani’.
Megawati, Prabowo, Wiranto, Aburizal, Surya Paloh, Hata Rajasa, Jusup Kalla, Yusril, atau siapapun yang maju pada Pilpres 2014, di samping berlomba unjuk wajah, mereka harus pula memahami sekaligus mampu mengaktualisasikan ‘pesan purba’: wiwit jabang bayi umur sapto condro mapan ing guwo garbane si biyung, mring Sang Hyang Widhi Wasa  pinaringan ‘dzat sifat asmo apengal’.
Para calon presiden (pemimpin) 2014 masing-masing dikaruniai DZAT utowo urip. Artinya: uriping satriyo tomo (pemimpin) ora mligi kanggo pribadi lan golongan, nanging bisoa murakabi tumrap wong akeh, nuso, bongso munggahing agomo.
Para capres itu juga diberi SIFAT. Artinya:  yen bayi lanang pinaringan wewujudan bagus, nanging yen wadon wewujudane ayu. Maknanya: satriyo tomo kinanthen rupo bagus lahir, ugo bagus batin. Sak kabehing tindak, tanduk, laku, celathu,  bakal tinulad, tinurut poro kawulo.
Begitu lahir, mereka dikaruniai ASMO utowo jeneng. Macan mati ninggal lulang, gajah mati ninggal gading. Satriyo mati kudu ninggal jeneng ingkang nggondo amrik arum. Wangining jeneng, mujudake perlambang tumrap sepiro gedhening lelabetaniro tumrap negoro. Paringo teken wong kang kalunyon, paringo obor kawulo kang kepetengen.
Yang terakhir: APENGAL, maksudnya wohing pakaryan. Naliko labuh labet tumrap negoro, satriyo tomo ora keno ngarep-arep kekucah. Perkoro kang siji ini sumendeo ono astaning Pangeran. Sebab nambut karti sikil dinggo sirah, sirah dinggo sikil, yen durung kinersakake, koyodene tanngan tengen entuk loro, tangan kiwo ngguwang papat. Tangan tengen entuk telu, tangan kiwo ngguwang wolu. Kosok baline, naliko Pangeran wus kerso nyaketke rejeki, prasasat suket godong dadi rowang.
Pesan budaya di atas mengerucut dalam bahasa CINTA, bahwa hidup dan mati hanyalah untuk Allah melalui aktualisasi baito amot segoro.  Memimpin Indonesia dengan CINTA, koalisi politik, tidak akan membuahkan paradok melukai dan terlukai, sebagaimana diungkap Anas Urbaningrum.
Presidenku pada 2014 berciri SATRIYO BOYONG. Impian rakyat, dia berasal dari orang kebanyakan alias satrio pidak pejarakan. Bung Karno  menyebutnya MARHAEN.  Sosok inilah yang bisa mengerti, memahami keluh kesah kawulo alit. Dia tidak akan membedakan si sumbing, si grumpung, si miskin, si kaya, si ompog, si peot, si cantik, si ganteng. Semua dia rengkul dengan semangat kebersamaan.
Saya berharap. Presidenku 2014 memimpin negri tercinta dengan bahasa gotong royong. Ini budaya kuno yang bakal mengikis tuntas imperialisme dan kolonialisme baru. Dia akan menggerakkan rakyatnya dengan etos rawe-rawe rantas malang-malang putung. Presidenku tidak akan hidup di menara gading. Dia akan tidur, madi, juga makan bersama rakyat. Presidenku adalah presiden yang kandang langit kemul mego. Tanpa sekat, dia hidup bersama rakyat.
 Ibu Megawati, Pak Prabowo, Pak Wiranto, Pak Aburizal, Pak Surya Paloh, Pak Hata Rajasa, Pak Jusuf Kalla, juga Pak Yusril, cobalah merenung, mampukah Anda memimpin Indonesia dengan bahasa CINTA. Terimakasih.

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...