Jantung kota
Wonosari dilanda banjir. Hujan 3 jam suntuk menggegerkan warga. Sungai meluap
menimbulkan bencana lokal. Semua pihak turun tangan. Tak urung juga Bupati
Gunungkidul, Hj. Badingah, S.Sos. Anggota DPRD sibuk berfikir soal solusi. Ada
human eror, tatapi tak terpikir.
Kecamatn
Wonosari terdiri dari 13 desa masing-masing: Wonosari, Pulutan, Piyaman,
Karangtengah, Baleharjo, Gari, Siraman, Wunung, Mulo, Wareng, Karangrejek,
Selang, dan Duwet.
Banjir Rabu
petang pukul 15.00 wib, 11-12-13 meremdam rumah di tiga desa: Wonosari, Kepek
dan Siraman. Secara geografis, tiga desa tersebut memang rentan terluapi dua sungai
kecil: Besole dan Kepek.
Sebelas titik
yang rawan tergenang air meliputi pedukuhan Gadungsari, Wonosari 3 titik,
Trimulya, Kepak 3 titik, serta pedukuhan Seneng. Siraman 5 titik.
Pedukuhan Gadungsari,
tergenang air hingga 2 m terjadi di wilayah RT 1 -7 rumah, RT 2 -7 rumah, RT 7
-12 rumah, RT 9 -2 rumah dan RT 11 -15 rumah.
Air bah sedemikian
cepat. Belum terdata, kerugian harta tak terhindari. Korban jiwa nihil. Warga
terevakuasi oleh PMI, BPBD, Tagana, Dinas PU, Polisi, TNI juga elemen yang
peduli bencana. Hj. Badingah, saat itu juga langsung turun lapangan,
menyerahkan sejumlah bantuan kepada warga.
Tak pelak
tudingan penyebab banjir adalah gara-gara pendangkalan sungai Besole dan Kepek. Drs. Sugito, M.Si,
anggota DPRD II Gunungkidul, yang kabarnya langsung sibuk berkoordinasi dengan
Dinas PU setempat, menganggap Pemkab tidak memiliki ketajaman terhadap
kemungkinan peristiwa Rabu Petang 11-12-13.
Banjir, (baca:
menggenangnya air) di tengah perkampungan ibukota Kabupaten Gunungkidul petang
itu membuat semua pihak ‘terbelalak’. Secara geografis, Kota Wonosari memang
terbelah oleh dua suangai tadah hujan Kepek dan Besole.
Pengamat
lingkungan menyebutkan, dua sungai baik Besole maupun Kepek tidak bermata air. Kedua sungai,
pada musim kemarau kering. Secara fisik, masuk dalam kategori ‘sungai tadah
hujan’. Karakteristiknya beda dengan sungai Oyo yang bermata air di Watu Kelir.
Oleh sebab
itu, harap maklum, pada musim kemarau dasar sungai acap dimanfaatkan oleh warga
untuk menanam sayur, rumput kolonjono, bahkan jagung.
Dugaan bahwa
dasar sungai terjadi pendangkalan adalah benar. Ini human eror pertama. Berikut,
talud yang jebol setahun lalu, yang secara fisik berfungsi menahan aliran
Besole agar tidak meluap dan merendam pemukiman dibiarkan makin bobrok. Human
eror kedua.
Yang ketiga,
warga kota Wonosari tidak menyadari, bahwa mereka memiliki andil besar atas meluapnya
sungai Besole dan Kepek. Hampir seluruh pori-pori bumi (baca: permukaan tanah)
perkampungan kota, tertutup aspal dan
semen. Tidak ada air yang meresap ke bumi, semua lari ke Besole dan Kepek, sementara kapasitas kedua
sungai terganggu. Nah, meluap kemudian menggenang perkampungan yang berada di
sekitar bantaran.
Solusinya? Buat
aturan yang jelas, bahwa daerah aliran sungai (DAS) itu bukan tanah tegal, yang
bisa ditanami aneka tanaman. Termasuk aturan yang mampu menggerakkan warga kota
untuk membuat sumur resapan. Banjir Besole dan Kepek bukan bencana nasional.
Masih mudah diatasi dengan kearifan lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda