Jumat, 20 Desember 2013

KOTA DI PUNCAK BUKIT KEBANJIRAN, ANEH



Jantung kota Wonosari dilanda banjir. Hujan 3 jam suntuk menggegerkan warga. Sungai meluap menimbulkan bencana lokal. Semua pihak turun tangan. Tak urung juga Bupati Gunungkidul, Hj. Badingah, S.Sos. Anggota DPRD sibuk berfikir soal solusi. Ada human eror, tatapi tak terpikir.

Kecamatn Wonosari terdiri dari 13 desa masing-masing: Wonosari, Pulutan, Piyaman, Karangtengah, Baleharjo, Gari, Siraman, Wunung, Mulo, Wareng, Karangrejek, Selang, dan Duwet.
Banjir Rabu petang pukul 15.00 wib, 11-12-13 meremdam rumah di tiga desa: Wonosari, Kepek dan Siraman. Secara geografis, tiga desa  tersebut memang rentan terluapi dua sungai kecil: Besole dan Kepek. 

Sebelas titik yang rawan tergenang air meliputi pedukuhan Gadungsari, Wonosari 3 titik, Trimulya, Kepak 3 titik, serta pedukuhan Seneng. Siraman 5 titik.
Pedukuhan Gadungsari, tergenang air hingga 2 m terjadi di wilayah RT 1 -7 rumah, RT 2 -7 rumah, RT 7 -12 rumah, RT 9 -2 rumah dan RT 11 -15 rumah.

Air bah sedemikian cepat. Belum terdata, kerugian harta tak terhindari. Korban jiwa nihil. Warga terevakuasi oleh PMI, BPBD, Tagana, Dinas PU, Polisi, TNI juga elemen yang peduli bencana. Hj. Badingah, saat itu juga langsung turun lapangan, menyerahkan sejumlah bantuan kepada warga.
Tak pelak tudingan penyebab banjir adalah gara-gara pendangkalan  sungai Besole dan Kepek. Drs. Sugito, M.Si, anggota DPRD II Gunungkidul, yang kabarnya langsung sibuk berkoordinasi dengan Dinas PU setempat, menganggap Pemkab tidak memiliki ketajaman terhadap kemungkinan peristiwa Rabu Petang 11-12-13.  

Banjir, (baca: menggenangnya air) di tengah perkampungan ibukota Kabupaten Gunungkidul petang itu membuat semua pihak ‘terbelalak’. Secara geografis, Kota Wonosari memang terbelah oleh dua suangai tadah hujan Kepek dan Besole. 

Pengamat lingkungan menyebutkan, dua sungai baik  Besole maupun Kepek tidak bermata air. Kedua sungai, pada musim kemarau kering. Secara fisik, masuk dalam kategori ‘sungai tadah hujan’. Karakteristiknya beda dengan sungai Oyo yang bermata air di Watu Kelir.
Oleh sebab itu, harap maklum, pada musim kemarau dasar sungai acap dimanfaatkan oleh warga untuk menanam sayur, rumput kolonjono, bahkan jagung. 

Dugaan bahwa dasar sungai terjadi pendangkalan adalah benar. Ini human eror pertama. Berikut, talud yang jebol setahun lalu, yang secara fisik berfungsi menahan aliran Besole agar tidak meluap dan merendam pemukiman dibiarkan makin bobrok. Human eror kedua.

Yang ketiga, warga kota Wonosari tidak menyadari, bahwa mereka memiliki andil besar atas meluapnya sungai Besole dan Kepek. Hampir seluruh pori-pori bumi (baca: permukaan tanah) perkampungan kota,  tertutup aspal dan semen. Tidak ada air yang meresap ke bumi, semua lari ke  Besole dan Kepek, sementara kapasitas kedua sungai terganggu. Nah, meluap kemudian menggenang perkampungan yang berada di sekitar bantaran.

Solusinya? Buat aturan yang jelas, bahwa daerah aliran sungai (DAS) itu bukan tanah tegal, yang bisa ditanami aneka tanaman. Termasuk aturan yang mampu menggerakkan warga kota untuk membuat sumur resapan. Banjir Besole dan Kepek bukan bencana nasional. Masih mudah diatasi dengan kearifan lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...