Minggu, 29 Desember 2013

PRABOWO SUKA KUDA, PETANI SUKA SAPI



Menentukan pola pembangunan untuk kawasan pedesaan (Tulus Tambunan 1985) bukan perkara mudah. Keberhasilan pembangunan pertanian misalnya, dipengaruhi oleh 3 hal: (1). Pola pembangunan yang dipilih; (2). Besarnya modal dasar sumber daya alam; (3). Keterkaitan dengan ekonomi kota, bahkan dunia.

Robert Cambers (1983) mendahuli satun poin, pembangunan pertnian harus dilakukan oleh ‘orang dalam’.  Sukses swasembada pangan 1983, tidak bisa dipandang sebagai karya petani. Gaung swasembada beras,  semata adalah karya ‘orang luar’, alias hasil tangan panjang Presiden Soeharto. Terbukti, begitu dominasi pemerintah meredup, kemandirian beras pun menghilang.

Komunitas petani, ini catatan yang pernah dibuat Lambang Triyono (1984), senantiasa didominasi oleh kekuasaan pusat, dengan intensitas yang berbeda, tergantung kepentingan politik ekonomi rezim yang berkuasa.

Di jaman kerajaan, menurut Lambang, petani berproduksi untuk kepentingan kraton, dengan tanah dan tenaga kerja yang sepenuhnya dikuasi raja. Di jaman kolonial, petani tidak bernasib baik. Penjajah menerapkan politik tanam paksa. Petani menjadi kuda troya.

Di awal kemerdekaan, Presiden Soekarno mecoba meperbaiki keadaan dengan mencanangkan reformasi agraria. Tetapi bomerang menghatam Soekarno. Reformasi agraria justru menjadi ajang gontok-gontokan antar partai politik. PKI menguasai petani dalam Barisan Tani Indonesia. Sejarah mencatat meletuslah pembrontakan G 30-S PKI.

Saat Orde Baru tampil, situasi pun berubah. Tahun 1983 Indonesia menjadi jawara, menyandang gelar swasembada beras. Tetapi tidak lama berselang, Indonesia kembali terpuruk. Dan secara beruntun, petani berada di tangan Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY.

Eloknya situasi, di bawah SBY impor tidak hanya sebatas pada beras. Layaknya virus, impor menular ke singkong, jagung, kedelai, bahkan sampai ke daging sapi yang belakangan justru bikin heboh.

Dari sekian tokoh nasional yang terang-terangan mengusung petani sebagai simbol perjuangan pada even pencapresan 2014 hanya Prabowo Subiyanto. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dia tarik sebagai ikon. Sebuah pilihan yang cerdas, karena mayoritas penduduk Indobesia adalah petani.
Meski begitu, saya tidak yakin, Probowo akan menepati janjinya. Ada fenomena pikiran Prabowo yang kadang  tak sejalan dengan pikiran rakyat. Bayangkan, mantan menantu penguasa Orde Baru ini lebih menyukai kuda, padahal rakyat lebih memilih piara sapi.

HKTI yang sekarang dicengkeram Prabowo, ke depan tidak akan lebih dari salah satu alat politik untuk menambang suara. Prabowo adalah figur militer yang politisi.  Oleh sebab itu sah sah saja kalau orang meragukan kemampuannya menangani problem yang dihadapi petani.

1 komentar:

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...