Menentukan pola pembangunan untuk kawasan pedesaan (Tulus Tambunan 1985)
bukan perkara mudah. Keberhasilan pembangunan pertanian misalnya, dipengaruhi oleh
3 hal: (1). Pola pembangunan yang dipilih; (2). Besarnya modal dasar sumber
daya alam; (3). Keterkaitan dengan ekonomi kota, bahkan dunia.
Robert Cambers (1983) mendahuli satun poin, pembangunan pertnian harus
dilakukan oleh ‘orang dalam’. Sukses swasembada
pangan 1983, tidak bisa dipandang sebagai karya petani. Gaung swasembada beras,
semata adalah karya ‘orang luar’, alias hasil
tangan panjang Presiden Soeharto. Terbukti, begitu dominasi pemerintah meredup,
kemandirian beras pun menghilang.
Komunitas petani, ini catatan yang pernah dibuat Lambang Triyono (1984),
senantiasa didominasi oleh kekuasaan pusat, dengan intensitas yang berbeda,
tergantung kepentingan politik ekonomi rezim yang berkuasa.
Di
jaman kerajaan, menurut Lambang, petani berproduksi untuk kepentingan kraton,
dengan tanah dan tenaga kerja yang sepenuhnya dikuasi raja. Di jaman kolonial, petani
tidak bernasib baik. Penjajah menerapkan politik tanam paksa. Petani menjadi
kuda troya.
Di
awal kemerdekaan, Presiden Soekarno mecoba meperbaiki keadaan dengan
mencanangkan reformasi agraria. Tetapi bomerang menghatam Soekarno. Reformasi agraria
justru menjadi ajang gontok-gontokan antar partai politik. PKI menguasai petani
dalam Barisan Tani Indonesia. Sejarah mencatat meletuslah pembrontakan G 30-S
PKI.
Saat
Orde Baru tampil, situasi pun berubah. Tahun 1983 Indonesia menjadi jawara,
menyandang gelar swasembada beras. Tetapi tidak lama berselang, Indonesia
kembali terpuruk. Dan secara beruntun, petani berada di tangan Habibie, Gus
Dur, Megawati, dan SBY.
Eloknya
situasi, di bawah SBY impor tidak hanya sebatas pada beras. Layaknya virus,
impor menular ke singkong, jagung, kedelai, bahkan sampai ke daging sapi yang
belakangan justru bikin heboh.
Dari
sekian tokoh nasional yang terang-terangan mengusung petani sebagai simbol
perjuangan pada even pencapresan 2014 hanya Prabowo Subiyanto. Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dia tarik sebagai ikon. Sebuah pilihan yang
cerdas, karena mayoritas penduduk Indobesia adalah petani.
Meski
begitu, saya tidak yakin, Probowo akan menepati janjinya. Ada fenomena pikiran
Prabowo yang kadang tak sejalan dengan
pikiran rakyat. Bayangkan, mantan menantu penguasa Orde Baru ini lebih menyukai
kuda, padahal rakyat lebih memilih piara sapi.
HKTI
yang sekarang dicengkeram Prabowo, ke depan tidak akan lebih dari salah satu
alat politik untuk menambang suara. Prabowo adalah figur militer yang politisi.
Oleh sebab itu sah sah saja kalau orang
meragukan kemampuannya menangani problem yang dihadapi petani.
Ketua Umum HKTI tak sejalan dengan dengan petani
BalasHapus