Senin, 05 Juni 2023

MENCARI LEGISLATOR BERKUALITAS, SULIT




Hasil pemilihan legislatif dengan  sistem proporsional terbuka tahun 2019 diduga tidak menghasilkan anggota DPRD Gunungkidul  yang berkualitas.

Sebagian besar pendatang baru untuk pileg 2019, diproyeksikan seperti timun wungkuk jaga imbuh.

Predikat itu pernah dikeluhkan oleh anggota  DPRD 4 periode. 

Nama senior itu tidak perlu disebut. Yang pasti keluhannya faktual obyektif, bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan. 

Dalam keluhannya dia  menyatakan, salah satu pekerjaan  yang harus diselesaikan anggota DPRD adalah berbicara. Menjadi corong rakyat di dalam  gedung  juga di luar gedung dewan 

Anggota DPRD Gunungkidul  kategori timun wungkuk jaga imbuh, ngomong saja tidak bisa, bahkan tidak berani. 

Terus mau ngapain? Kegemarannya kunjungan kerja (jungker) tanpa membawa hasil. 

Padahal, seperti ditulis Bambang Krisnandi, mantan anggota DPRD DIY dari Fraksi PDIP 2015, secara etimologis kata Parlemen berasal dari bahasa Latin “parliamentum” 

Atau dari bahasa Perancis “parler”. Artinya  suatu tempat atau badan untuk para wakil rakyat berbicara satu sama lain, membahas hal-hal yang penting bagi rakyat.

Bambang Kris menengarai, menjadi anggota DPRD semata-mata hanya mengejar: status sosial, gengsi kekuasaan, penghasilan, dan mencari pulihan ongkos saat kampanye.

"Menurut saya bukan hanya anggota dewan yang bermasalah. Tetapi rakyat juga bermasalah. Sebagian besar rakyat (terutama yang miskin dan tidak berpengetahuan), DPRD itu dianggap semacam sinterklas. Sosok yang kaya raya dan baik hati," timpal Sarwanto H. Suwarso, YouTubers dan pengamat politik asal Song Banyu, Girisuba, 2-6-2023.

Dewan hasil Pemilu 2019, secara kultur menang karena curang. Pinjam terminologi yang digunakan Menkopolhukam, Mahfud MD.
 
Kejadian di Dapil 2 Gunungkidul tahun  2019 lucu. Seorang caleg perempuan tidak pernah bertemu dengan masyarakat. Tetapi pada perhitungan dan konversi suara, dia memperoleh satu kursi DPRD. Perempuan tersebut mengantongi byname 3.201 suara. Itu berkah amplop 100 ribuan.

Yang terjadi di Dapil 1 Gunungkidul juga mengejutkan. Tokoh petahana berkampanye melawan arus.

"Seandainya Bapak Ibu atau saudara menginginkan uang Rp 100.000,00 setiap 5 tahun sekali, sebaiknya tidak perlu memilih saya," ujar tokoh tersebut.

Dengan gaya ngoboy, tokoh tersebut meraup meraih  4.678. "Saya tidak munafik, ada pula yang harus saya beli," kata tokoh tersebut.

Benar kata ahli hukum tata negara, Dr. Tugiman, bahwa kultur masyarakat Gunungkidul pada khususnya dan Indonesia pada umumnya sangat tidak mendukung kehidupan demokrasi yang bersih.

(Bambang Wahyu)

Jumat, 02 Juni 2023

BUPATI SUNARYANTA GAGAL MENYELAMATKAN LOBSTER?



Gunungkidul memiliki pantai sepanjang tidak kurang dari 71 kilometer. Itu Membentang dari Pantai Sadeng hingga Panggang.

Demikian  pernyataan lawas Immawan Wahyudi, sewaktu dia menjabat Wakil Bupati mendampingi Hj. Badingah, S.Sos. 2015-2020.

Sepanjang pantai GunungkIdul menurut 
Wahyudin R.A.  dikutip dari publikasi Pusat Kajian Pesisir dan Lautan LPPM  IPB  26 Mei 2020, di samping kaya ikan juga kaya  lobster. 

Alasannya Wahyudin, udang lobster rata menyebar mulai dari Sabang hingga Merauke.

Benih lobster alam di perairan laut Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Populasinya, diperkirakan mencapai 20 milyar ekor per tahun. 

Sebuah warta terbaru menyebutkan, lobster di perairan Gunungkidul dijarah nelayan dari luar. Tetapi kabar penjarahan tersebut belum terklarifikasi. Karena sebagian besar fakta masih berupa dugan. 

Berapa ribu ton lobster yang digarong dari perairan Gunungkidul? Tidak ada penjelasan dan rincian angka.

Sebelum duduk di kursi Bupati, Mayor Purnawirawan Sunaryanta pernah  berlayar menyusuri  pantai Sadeng, Kapanewon Girisuba. 

Dia melakukan penjajakan kemungkinan bisa tidaknya dibudidayakannya  ikan tuna teknik keramba. Istilahnya, dengan cara tebar  rajut di tengah laut.

Setelah 2021-2024 duduk di kursi kekuasaan,  Bupati Sunaryanta belum menyisir laut lagi. Setidaknya mengecek benih lobster yang konon dijarah orang, seperti yang dikabarkan media online baru-baru ini. 

Sayangnya, para penjarah itu identitasnya tidak dijelaskan secara detail. 
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2015 merilis bahwa lobster memiliki potensi lestari hanya 4.800 ton per tahun.

Di luar itu, tingkat pemanfaatan mencapai 13.549 ton per tahun.  Beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) menunjukkan, kegiatan penangkapan lobster  melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Penangkapan lobster mengalami overfishing. 

Hingga 2023, aktivitas penangkapan lobster, baik ukuran konsumsi maupun ukuran benih, terus berlangsung dalam rangka memenuhi kebutuhan  nasional dan global.

Fakta tak terpungkiri, lobster ukuran 15-60 gram  ditangkapi, dijual dengan harga murah,  Rp 60.000,00 per kg. 

Lobster ukuran pasar (> 100 g per ekor) harga sekitar Rp 200.000,00 hingga Rp 900.000,00 ribu per kg. Lobster ukuran pasar  dijual ke kota-kota besar Indonesia atau diekspor, terutama ke Cina dan Singapura.

Kembali ke perairan Gunungkidul, benarkah bayi lobster yang ditangkapi nelayan tak dikenal itu berukuran 15 hingga 60 gram dan dijual kepada para pengepul dengan harga mahal?

Ini yang harus dijawab Bupati Sunaryanta, setidaknya melalui Staf Ahli Bidang Ekonomi, Eddy Praptono, yang mantan Kepala Dinas PUPR Gunungkidul.

Arahnya supaya publik tidak berspekulasi, bahwa Gunungkidul kecolongan lobster yang nilainya trilyunan rupiah, seperti kabar yang beredar tanpa terdukung data.

(Bambang Wahyu)

TUJUH LAPAN TAHUN

Tembang Dhandhang-gula di bawah ini bisa menjadi gambaran sebagian hilangnya pekerti Pancasila di Indonesia.

PENGETAN
Lampahipun warganing negari 
Munggah langit aling-aling mega
Ngunandika sak kersane.
Lali kadang waruju
Dennya muni saget nyakiti
Angon rasa tan bisa
Remennya dinulu
Miyak wewadine bangsa 
Sesongaran kecalan lampah pekerti
Siji Juni Papat Lima.

TEMBANG DI ATAS CARA LAIN MEMPERINGATI LAHIRNYA PANCASILA

Sejumlah tokoh menyatakan, Pancasila  1 Juni 1945 merupakan rangkuman budi pekerti bangsa.

Pertanyaan menggelitik diajukan budayawan  Sujiwo Tejo. Benarkah Pancasila itu ada di Indonesia. 

Nyleneh tetapi nyata. Kalau ada, kata Sujiwo,  warga negara tidak perlu membeli air dengan harga mahal. 

Tembang Dhandhang-gula di bawah ini bisa menjadi gambaran sebagian hilangnya pekerti Pancasila di Indonesia.

PENGETAN
Lampahipun warganing negari 
Munggah langit aling-aling mega
Ngunandika sak kersane.
Lali kadang waruju
Dennya muni saget nyakiti
Angon rasa tan bisa
Remennya dinulu
Miyak wewadine bangsa 
Sesongaran kecalan lampah pekerti
Siji Juni Papat Lima.

Sejak dunia dalam kondisi tanpa sekat karena kemajuan teknologi komunikasi, sebagian budi pekerti bangsa yang termaktub di dalam Pancasila hilang.

Penduduk yang hampir mencapai 280 juta, tidak pandang bulu, dari usia kanak hingga kakek, dari rakyat bisa hingga pejabat semua berkelana ke langit.

Mereka terbang dengan  Facebook, Instagram, Tweter, Tik Tok dan sejenisnya. Bebas mengeluarkan pendapat dengan dalih dilindungi undang-undang. 

Sedikit yang menyadari, bahwa pendapat yang dianggap standar dan benar,  bisa saja menyakiti pihak lain.

Manusia Indonesia mulai kehilangan keseimbangan, kehilangan toleransi dalam  komunikasi. Kepinginnya pamer. Kepinginnya diakui bahwa dirinya serba pintar.

Tidak sedikit penduduk  yang kelewatan. Tanpa tedeng aling-aling membuka aib sesama warga, bahkan aib negara.

Semua itu sesungguhnya jauh dari pekerti yang diajarkan filosofi Pancasila.

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...