Selasa, 31 Mei 2016

Supaya Lomba Desa Tidak Terkesan Buang-Buang Biaya


uang hasil gotong royong dimanfaatkan supaya tidak terbuang percuma. foto net


Lomba desa, sesuai Permendagri nomor 13 tahun 2007 dilakukan berjenjang. Delapan indikator dipatok, guna mengetahui tingkat perkembangan dan kemajuan desa. Dari 8 item yang dinilai, sub-indikator pamerintahan, hanya dijamah kulitnya, tidak dilihat isinya.

Peraturan berjenjang itu terlihat jelas pada Permendagri nomor 13 tahun 2007 pada pasal 2 ayat 1 sampai 4. Di sana dinyatakan secara eksplisit, bahwa perlombaan desa dan kelurahan dilakukan oleh camat, bupati/walikota, gubernur, serta mentri dalam negri.

Selama 7 bulan berturut-turut mulai Februari sampai Agustus, desa yang  selalu meraih juara pertama, akan disibukan dengan pekerjaan yang sangat melelahkan. Imbalannya, secara material tidak akan imbang dengan ongkos yang dikeluarkan. Tetapi karena lomba desa ini bagian dari implemetasi peraturan yang berlaku, maka suka tidak suka harus dilaksanakan.

Pada pasal 4 ayat (1) dinyatakan, perlombaan desa dan kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan setiap tahun. Karena aturannya begini, maka lomba desa menjadi wajib.

Jenjang pertama, perlombaan desa dan kelurahan tingkat kecamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret. Meski atruan cukup jelas, namun untuk Gunungkidul tahapan ini gerakannya nyaris tidak terdengar.

Berikutnya di ayat (3) dinyatakan, perlombaan desa dan kelurahan tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei. Pelaksanaan  tahap ini tampak membahana, dan Desa Bale Harjo, kecamatan  Wonosari keluar sebagai juara dengan mengantongi nilai 1004 poin.

Perlombaan desa dan kelurahan tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dilaksanakan pada bulan Juni. Agus Setiawan Kades Bale Harjo, sebagaimana dilansir sorotgunungkidul.com bertekad menang di propinsi.

Puncak Perlombaan desa dan kelurahan tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4 ) dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus. Kalau asumsinya desa Bale Harjo lolos, maka ongkos untuk lomba  akan semakin membengkak.

Sesuai pasal 9, juara lomba tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi setidaknya unggul pada 8 item meliputi: pendidikan; kesehatan masyarakat; ekonomi masyarakat; keamanan dan ketertiban; partisipasi masyarakat; pemerintahan; lembaga kemasyarakatan; dan pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga.

Dari delapan kriteria, berdasarkan pengalaman juga realita di lapangan, indikator pemerintahan hanya disentuh kulitnya, tidak menyasar ke substansi.

Di bidang pemerintahan, dewan juri tidak akan memperoleh gambaran yang komperhensif kalau sekedar membaca data dinding. Dinamika desa tidak sebatas di data dinding. Salah satu roh desa ada di pengelolaan keuangan, sementara itu, selama bertahun-tahun lomba berjalan, hal ini tidak pernah dijamah.  

Saya paham, bahwa dewan juri lomba desa terikat pada Permendagri nomor 13 tahun 2007 pasal 5. Secara tersirat di sana dinyatakan, bahwa dewan juri hanya membandingkan data desa / kelurahan dua tahun terakhir.

Tetapi dikaitkan dengan parameter lomba tingkat nasional, pasal 10 yatat 1 huruf c, elemen pengawasan menjadi relevan. Secara tersirat di sana dinyatakan bahwa desa yang diikutkan dalam perlombaan perlu dilihat tingkat kepatuhnnya dalam hal membuat kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Ini artinya dewan juri melakukan penilaian semi pegawasan, karena begitu membuka dukumen kebijakan keuangan desa misalnya, harus juga membuka dukumen implentasi pembukuaan.

Tendensi penyelenggaraan lomba desa ternyata tidak hanya untuk  memotivasi, tetapi juga  mengawasi. Sayangnya elemen pengawasan ini tidak dominan. Menjadi tidak mustahil, desa yang baru saja menerima penghargaan, mendadak heboh menjadi desa yang jawara dalam hal penggelapan uang negara.

Minggu, 29 Mei 2016

Nilai Tukar Petani Anjlog, 80 Ribu Rumah Tangga Miskin Jadi Korban



Bulan Juli 2016, NTP polowijo mungkin naik, tetapi NTP peternakan bisa anjlok drastis, dan secara agregat NTP pertanian turun. Foto Ton Martono
Badan Pusat Statistik (BPS) DIY merilis, Nilai Tukar Petani (NTP) per Maret 2016 turun. Pemerintah Gunungkidul tidak terlihat mengambil langkah strategis. Diprediksi, triwulan kedua  NTP petani akan tambah merosot. Dimungkinkan 80.243 rumah tangga miskin terpukul telak.

Dalam keterangan resmi yang ditayangkan dalam bentuk file PDF dipaparkan, bahwa NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan / daya beli petani di pedesaan. Penghitungan indikator ini diperoleh dari membandingkan antara Indeks Harga Yang Diterima Petani (IT) dengan Indeks Harga Yang Dibayar Petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase.
Lebih lanjut dijelaskan, NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) antara produk pertanian yang dijual petani dengan barang dan jasa yang dibutuhkan petani dalam berproduksi dan konsumsi rumah tangga.
Dengan membandingkan kedua perkembangan angka IB dan IT, menurut BPS DIY,  dapat diketahui dua hal. Pertama, peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan petani dapat dikompensasi dengan pertambahan pendapatan petani dari hasil pertaniannya. Kedua, untuk melihat  kenaikan harga jual produksi pertanian berpengaruh dan tidaknya terhadap  pendapatan petani yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan.
Kesimpulan BPS DIY, semakin tinggi angka NTP, relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani.
Diperoleh tambahan keterangan dari BPS Gunungkidul, bahwa NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.
Manakala NTP = 100, berarti petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.
Kalau lNTP< 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya.
Sampai triwulan pertama, Januari, Februari, Maret 2016, hasil survey yang dilakukan BPS DIY menunjukan,  posisi NTP pada angka 102,57%, turun sebesar 1,28% dibanding bulan sebelumnya, 103,90%.
BPS tidak merinci faktor yang mempengarui turunnya NTP yang dimaksud, tetapi angka 102,57% masih dianggap aman.  Akan berbeda dan mungkin mengkhawtirkan ketika memasuki bulan Juni, Juli 2016 triwulan ke 2.
Puasa, lebaran, dan tahun pelajaran baru akan menjadi faktor determinan  yang memicu kenaikan harga bahan pokok, di satu sisi, serta ambruknya harga jual ternak di sisi lain. Klimak merosotnya NTP diprediksi bakal terjadi di bulan Juli.
Publik berharap  NTP tidak berada di bawah angka 100%. Kalau ini sampai terjadi yang paling terpukul adalah 80.243 rumah tangga miskin (RTM).

Berita tentang turunnya NTP yang dirilis BPS DIY diunggah 1 April 2016. Tidak terlihat, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul melakukan langkah persiapan antisipasi. Seluruh SKPD terkait larut dalam prosesi hari jadi ke 185. Ya ampun.

Jumat, 27 Mei 2016

Hutang Budi di Negeri Batu


Dalam usia ke 185, Gunungkidu negeri batu masih banyak janji yang belum terpenuhi. foto Badingah-Badingah

Jumat Pahing 27 Mei 2016, rasaku seperti menjadi raja sehari. Setahun kemudian tanggal 27 Mei 2017, jatuh Sabtu Pahing. Nilai hari dan pasaran sama-sama 9. Aku bermimpi ulang tahun Negeri Batu bakal lebih meriah dan membahana. Habis anggaran seberapun tak masalah. Duit entek? Tuku, kata Enthit sahabat Waljinah si Walang Kekek.

Mulai pagi, helikopter dari pasukan kebahagiaan meraung-raung di langit Wonosari, ibukota Gunungkidul. Satu kompi tentara payung diterjunkan mereka, mengenakan pakaian kebesaran kejawen lengkap. Prajurit putri sebelumnya harus berebut solek di salon kecantikan, nggak masalah. 

Apel besar memperingati hari jadi Gunungkidul ke 185, ditutup dengan karnaval ramai-ramai mubeng kutha. Kringet sak jagung-jagung melibas tisu, no problem. 

Itu semacam sesajen  pesta kebahagiaan untuk orang-orang yang setia berderet di tepi jalan, yang sebelum tak pernah merasa bahagia, kecuali melihat ribuan priyayi berbaur dengan petani berjalan kaki setahun sekali. 

Lelah sih lelah, tetapi tak ada rasa capek. Suka cita, haru, terpesona, sampai muka merah padam karena terbakar terik matahari, campur aduk. 

Petang hari, ibarat pitik iwen, awan agelar ing pangonan, sore mlebu ing kandhange dhewe-dhewe. Aku tidak bisa seperti mereka. Ayam tidur mlangkring, sapi ndhekem sambil nggayemi, aku enggak bisa pulas. 

Pikiranku  bergerak anteng kitiran, mengingat sedulur ndeso yang jumlahnya paling sedikit 25.000 (duapuluh lima ribu)  KK. Rumah mereka tergambar masih reot. Sementara karib saya Mas Eddy Praptono membisikkan isyarat, setahun Gunungkidul hanya dijatah merehabilitasi 500 unit. Weleh-weleh, kalau ajek dicatu segitu, 50 tahun baru kelar. 

Problem akut yang lain, luka Goa Pindul semakin menganga. Rebut Kikis Tunggarana bisa dilerai Bathara Wisnu yang mangejawantah Raja Dwarawati. Pindul tak kunjung reda karena pemainnya para priyayi gung,  termasuk yang ikut kirab jalan kaki mubeng kutha.

Belum lagi, mikir soal ulah para makelar dan blantik tanah Sultan Ground di sepanjang pantai selatan yang bentangnya tak kurang dari 70 km. 

Tambah pusing mikir PR kronis, meski dekat air, adanya air laut, air tawar musti ditebus melalui tangki. PDAM, dengan alasan sangat teknis, jaringan belum menjangkau permintaan warga Negeri Batu. Wis, bayangin coba,  PR kok sak jagat apa nggak WL-WL-KWT (wala-wala kuwata)?

Lantas? Ya harus kerja keras, sesuai semboyan Gunungkidul maju dan mandiri. Bahagia mahargya hari jadi, puncaknya cuma sehari pada Jumat Pahing 27 Mei 2016. Sabtu Pon, Minggu Wage, Senin Kliwon 31 Mei 2016 harus mikir.  

Gunungkidul maju dan mandiri itu harus dipikir dengan tindakan nyata, dan ukuran eksekusinya harus jelas, tak cukup dengan upacara menggunting pita dan menumpuk sertifikat penghargaan. Rakyatku, (seumpama aku ini penguasa) tidak akan terangkat hanya dengan dongkrak sertifikat. 

Ya, aku bersumpah, habis bersenang-senang, aku harus mikir hutang melunasi janji, janji kepada warga Negeri Batu. Kerja belum selesai. Belum apa-apa, kata Chairil Anwar, penyair angkatan 45.

Revolusi Mental Bukan Revolusi Terong


suntik berkala, supaya gak ganas.detik

Saya menemukan dua peristiwa besar. Pertama, Uni Soviet rontok gagal mempertahankan paham komunis. Kedua, Indonesia gagal membangun moral. Kegagalan besar negeri ini menimbulkan kekacauan, sehingga lahirlah bayi merah bernama Perppu No. 1  2016.
 
Revolusi mental dengan revolusi terong itu jauh berbeda. Terong, sebutan lain dari piranti kelamin lelaki (penis), memiliki daya rusak ‘destroyed’ yang luar biasa. Tetapi jangan salah sangka, bahwa vagina yang dalam khasanah jawa disebut perji, juga mimiliki tingkat keganasan yang tak kalah hebat.
Umur anomali piranti yang takdirnya untuk mengembangkan keturunan itu ribuan bahkan jutaan tahun. Libido yang rohnya menyatu dalam koridor ‘lauwamah’ bukan hanya monopoli laki-laki. Terjadi dalam sejarah, perempuan bisa menjadi penantang utama.
Nabi Yusuf, harus meringkuk di dalam jeruji besi, gara-gara Zulaiha melakukan agresi sepihak. Baju Nabi Yusuf sobek  bagian belakang adalah fakta, betapa kuatnya akhlak putra Nabi Yaqub alaihissalam. Meski Raja Mesir mengakui, bahwa Zulaiha istrinya bersalah, untuk menutup rasa malu Nabi Yusuf harus dikorbankan, nginap di hotel prodeo berbulan-bulan.
Maraknya perkosaan di negri ini, menyebabkan kaum laki-laki mendapat label predator sex, walau ini bukan istilah yang tepat. Lho apa pemberian julukan itu tidak berbau diskriminatatif, sebab, contoh sejarah cukup jelas. Kalau mau jujur, kebobrokan moral itu telah melanda tidak kenal batas gender.
Siswi SMP/SMA, hamil 3 bulan dibuntingi teman sekelas, sementara dia berada di kelas 9/kelas 12, yang secara akademik sedang menghadapi ujian. Ini kekerasan sexsual, atau kelembutan sexsual. Pertanyaan tambahan, siapa yang mau dianggap sebagi predator sex, siswi atau siswa?
Perpu No. 1 Tahun 2016, tidak secara cerdas mengakomodir kecenderungan hamil saat anak masih dalam proses belajar. Pemerintah mau mengkebiri pelaku pemerkosaan, atau bahkan memotong burungnya sekalian, itu bodo amat. Lha kalu yang memaksa itu perempuan, seperti kasus Zulaiha, hukum tambahannya apa, pemerintah mau menciptakan mesin obras? Ha ha ha……….
Subtansi persoalan yang membahayakan bukan hanya pada kekerasan sexsual. Kelembutan sexsual seperti dipertontonkan siswa yang hamil di sekolah pun menjadi pemicu dekadensi moral.
Kilas balik ke tahun 1960-an, di negeri ini ada tokoh namyanya Yusuf Muda Dalam yang dihukum mati karena 4 pelanggaran berat, salah satu di antranya melakukan penyimpangan perkawinan yang dilarang undang-undang. Konon, tokoh ini punya bini hingga 12 orang.
Dekadensi moral  adalah kecenderungan lintas zaman. Kalau belakangan ini ada kejahatan sexsual, sebagaimana variasinya diilustrasikan, pelakunya siswa sekolah, hukum kebiri musti diberlakukan tidak pilih-pilih bulu, dikenakan untuk laki dan perempuan. Tujuannya jelas, supaya revolusi mental tidak berubah menjadi revolusi terong.

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...