Rabu, 30 Juni 2021

ORANG BILANG LOCKDOWN ITU MENAKUTKAN



 
Manusia Indonesia telah berbelok kiblat tidak takut dan dan tidak menyembah Allah tetapi takut dan berbalik menyembah corona. Ini adalah satu bukti pengingkaran terhadap ideologi negara tetapi tidak disadari. Konsekuensi logisnya lockdown digambarkan Sebagai kondisi yang sangat mengerikan, padahal sejatinya tidak.

Warga gunung kidul mulai dari warga biasa hingga tokoh kelas daerah membayangkan bahwa lockdown itu suatu kondisi yang benar-benar menakutkan.

"Lockdown merupakan tindakan darurat dalam kondisi  saat orang-orang untuk sementara cara waktu dicegah memasuki dan atau meninggalkan area bangunan yang telah ditentukankan selama ancaman bahaya berlangsung," dikutip dari berbagai sumber.

Sani, warga Kedungpoh Kapanewon Nglipar, Kabupaten Gunungkidul mengungkapkan pandangannya, bahwa lockdown itu semua aktivitas dihentikan.

"Warga dikurung dan tidak bisa silaturahim," ujarnya, 30-6-2021.

Serupa dengan masyarakat biasa, Wakil Ketua DPRD Gunungkidul, Suharno, SE menyatakan, lockdown itu semua warga diminta berada di dalam rumah.

"Lockdown ya tidak keluar rumah tidak aktifitas sama sekali. Makan tidur, habis tidur terus mandi tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi tolong ibu membersihkan tempat tidurku. Habis itu ku nonton tv, tidak lupa makan harus bergizi," ujar Suharno serius dibumbui humor.

Tentang lockdown itu yang sulit dibayangkan adalah siapa yang akan menanggung empat sehat lima sempurna.

"Apa kuat bangsa ini membiayai semua itu," tanya Suharno yang jawabannya semua orang pasti tahu.

Tidak pernah terpikir oleh pemerintah, bahwa di tengah hantaman pandemi ini masih ada sebagian kecil warga Gunungkidul yang bersedia berbagi rejeki kepada sesama. 

Contoh, demikian pengamat sosial Joko Priyatmo (Jepe) nimbrung berkomentar, saat tempo hari terjadi bencana di Sulawesi,  Bali, Lombok dan yang lain warga Gunungkidul bergotongroyong mengirim permakanan.

"Mengapa semangat itu seperti tiba-tiba menghilang. Apa alasannya semangat kebersamaan itu tidak diberdayakan," tanya Jepe.

Dia menyayangkan para pemilik empati itu di Gunungkidul sangat banyak,  tetapi tidak diajak oleh pemerintah untuk mengatasi amukan pandemi.

(Bambang Wahyu Widayadi)




Selasa, 29 Juni 2021

BERSAMA SRI SULTAN: DIY TIDAK AKAN SEMATI TUGU

Kebijakan lockdown akan terasa berat bagi warga DIY yang tinggal di perkotaan. Sebaliknya tidak begitu berdampak bagi warga yang tinggal di pedesaan.


Mobilisasi warga kota ditutup selama 15 hari misalnya,  pasti menimbulkan persoalan sosial yang cukup serius, terutama persoalan bagaimana mencari makan untuk  mempertahankan hidup.


Bagi orang yang memiliki rezeki lebih, tidak akan ada persoalan karena logistik cukup. Berbeda halnya dengan warga yang rejekinya pas-pasan. 


Hidup di pedesaan akan relatif lebih aman karena warga bisa memakan dedaunan buah-buahan atau apapun yang ada di pekarangan maupun di tegal mereka. Ini catatan bagi mereka yang memang memiliki tegal pekarangan. Yang tidak punya biasanya ada uluran tangan dari para tetangga.


Resiko terberat dari lockdown yang kemungkinan akan dilaksanakan pemerintah DIY adalah kelaparan bakal terjadi di berbagai tempat.


Namun demikian Lockdown tidak akan sampai membuat DIY semati tugu meminjam ungkapan Chairil Anwar.


Bila kelaparan itu benar terjadi di berbagai tempat maka itu harus dipahami sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang bisa berpikir.


Cepat atau lambat warga DIY menunggu waktu bakal dilakukannya lockdown, semua bergantung pada kecepatan Covid-19 melakukan penetrasi. 


Tanda-tanda kemungkinan lockdown di dalam  Alqur'an Surat Al-Baqarah Ayat 155 yang bunyinya, "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar."


Lockdown menurut Al-Qur'an adalah kabar yang menyenangkan, dan bukan  kabar yang menyedihkan. 


Dari sebuah pertemuan rahasia tanpa tatap muka Sri Sulan Hamengku Buwono Ke-10 berpesan, warga DIY harus saling menguatkan hati, mempertebal kesabaran, saling mengolah  pikiran,  saling menasehati, dan bergandengan dalam bermunajat.


Dalam lockdown, kalau itu memang diputuskan, warga DIY tetap bersama Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-10.


Lebih dari sekedar bersama Raja Jogja, warga DIY juga bersama Raja Penguasa Alam Semesta yang kedekatannya sedekat urat nadi manusia.


Menghadapi  lockdown, tidak ada yang harus ditakutkan karena Raja Jagat Raya itu berada di dekat orang-orang beriman, "Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya".


(Bambang Wahyu Widayadi)










Senin, 28 Juni 2021

PANCASILA ITU KHILAFAH

Meski berbentuk republik tetapi sejak 17 Agustus 1945 Indonesia menjalankan sistem khilafah. Tafsir ini bebas dibantah, tetapi  faktanya Pancasila telah disepakati sebagai pandangan hidup serta dasar negara yang penerapannya adalah khilafah.


Substansi dan bukti bahwa khilafah itu ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia cukup kongkret. 


Indonesia mengakui sekaligus melindungi enam agama mulai dari Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, hingga  Penganut Aliran Keyakinan. 


Elemen agama dan aliran keyakinan itu payung hukumnya adalah sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara legal formal pengakuan itu diikat oleh Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945.  Penerapan khilafah secara eksplisit ada di konstitusi.


Khilafah itu bukan soal kepemimpinan belaka, tetapi sebuah sistem yang rohnya ada di dalam Surat ke-109 Al-Kafirun, Ayat 6 yang bunyinya, "Lakum diinukum wa liya diin. Makna ayat tersebut untukmu agamamu, dan untukku agamaku)."


Di Indonesia seseorang  mau beragama Islam boleh, mau Kristen, mau Katolik, mau Hindu, mau Budha, mau Kong Hu Chu, juga tidak dilarang. Ini namanya khilafah.


Itu fakta yang terjadi di Indonesa. Perkara ada riak kecil ketika Umat Nasrani mendirikan Gereja di satu tempat kemudian diprotes, itu mencerminkan bahwa yang protes tidak paham substansi Surat Al Kafirun Ayat 6.  


Sila kedua Perikemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak satu pun agama yang diakui di Indonesia yang ajarannya menyimpang dari perikemanusiaan. Tokoh yang ada rejeki lebih kemudian membantu warga yang kekurangan air bersih di Gunungkidul itu ajaran perikemanusiaan, berarti khilafah.


Persatuan Indonesia, sila  ketiga menjadikan masyarakat kokoh bahu membahu, bergotongroyong memperbaiki rumah, jalan, bendungan dan yang lain itu juga kilafah.


Setiap hari manusia Indonesia  menjalankan sanatullah menjalankan khilafah kok ada yang bilang tolak khilafah. Itu nalarnya bagaimana.


Rakyat menitipkan hak suaranya ke DPR. Mereka percaya kepada Majelis, meski kadang dongkol juga karena Majelisnya re rewel, tetapi rakyat tetap sabar, ikhlas menerima kebijaksanaan yang diambil di dalam sidang permusyawaratan. Apa ini bukan khilafah?


Tetangga dekat terkena Covid-19 resikonya diwajibkan isolasi mandiri. Karena tidak bebas keluar rumah, maka tetangga yang sehat dipandu Dukuh setempat mengirim makanan bergizi, itu implementasi keadilan sosial. Masih mau bilang ini tidak khilafah?


Secara spesifik khilafah itu tunduk pada hukum alam. Tidak satupun manusia yang bisa lepas dari syariat alam.


Hidup di Indonesia itu apa yang tidak kilafah. Sebagai  bangsa, mestinya bangga dengan Pancasila yang diletakkan di ujung Kemerdekaan. 


(Bambang Wahyu Widayadi)






SENJATA PAMUNGKAS MENGHADAPI PANDEMI

Menghadapi wabah Covid-19, Hakim Maha Hakim  memerintahkan manusia untuk mengerjakan dua hal. Secara umum, dua perkara itu dirasa berat sehingga tidak dilakukannya. 

Hakim dunia belum tentu putusannya adil, sebab hakim dunia masih  bisa diseret ke ranah naik banding, bisa pula dinaikkan ke tingkat kasasi.

Rata-rata manusia lupa bahwa ada Hakim Maha Hakim yang putusannya benar-benar adil, inkrah absolut, tak ada ruang untuk dibantah apalagi dilawan. Adanya memang harus dilaksanakan. 

Al Hakam, begitu salah satu Asmaul Husna atau nama Allah yang baik dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang menjadikan Dia, Hakim Maha Hakim.  Yang terjadi, soal Covid-19 sebagian besar manusia tidak mau memohon kepada Sang Hakim Maha Hakim.

Indonesia  dikerumuni pandemi, satu setengah tahun lebih dihitung sejak Maret 2020. Sejatinya pandemi itu adalah sebuah keputusan yang tidak bisa ditolak. Manusia tidak punya kekuatan untuk menolak pandemi. 

Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan seperti: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bahkan ditambah Mikro, gerakan penyuntikan vaksin, dibarengi aturan  protokol kesehatan super ketat, tetapi hasilnya tidak cukup menggembirakan.

Dengan kata lain, Pemerintah Indonesia telah membawa setumpuk  berkas bahaya Covid-19  disertai bukti lengkap, faktanya Hakim Tunggal (Allah Ta'ala) tidak atau belum menurunkan keputusan) bahwa Covid-19 berhenti atau berlanjut.

Manusia memandang, turunnya Covid-19 merupakan kabar buruk. Mereka tidak mampu melihat, bahwa Covid-19 itu sesungguhnya adalah kabar yang sangat  menggembirakan.

Dalil kabar gembira itu berbunyi, "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan (ini) sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar," Al-Baqarah, Ayat 155.

Pandemi dengan segala macam efek dominonya merupakan kabar gembira. Itu sebuah keputusan  yang tidak mungkin salah. Menghadapi keputusan tersebut manusia diminta banyak bersabar.

Perintah bersabar itu adalah janji atau ketetapan pula, yang cepat atau lambat akan berujung pada diangkatnya pandemi  oleh Sang Maha Hakim. Kapan waktunya memang tidak diberitahukan, kecuali manusia diperintah untuk melaksanakan dua hal, dan tidak perlu banyak protes.

"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan (sholat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk," Al-Baqarah  Ayat 45.

"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar," Al-Baqarah  Ayat 153.

Orang-orang yang sabar itu diperintahkan untuk berbuat kebajikan, di mana pun  kapan pun serta dalam kondisi apa pun.

"Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." Al-Baqarah Ayat 177.

Kalau ada pihak yang menganalisis bahwa pandemi Covid-19 merupakan konspirasi, maka harus disadari, bahwa konspirasi itu pun merupakan satu ketetapan yang mau tidak mau harus diterima.

Obat Covid-19 ditunjukkan bhawa ada tidak jauh dari manusia bermukim.  Ini menganalogi, saat Nabi Ayub Alaihi salam diuji dengan penyakit kulit selama 7 tahun.

"Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum." Surat Sad Ayat 42.

Senjata untuk menghadapi pandemi secara filodofis kesimpulannya adalah sabar, solat, berbuat baik, mandi dan minum 'air bersih'. 


(Bambang Wahyu Widayadi)







Minggu, 27 Juni 2021

UMAT ISLAM SEDANG MENUNGGU LANGIT PECAH

Hampir seratus tahun, sejak 1924, Umat Islam tanpa pemimpin. Jumlah umat Islam banyak tetapi tidak diperhitungkan. Selama 97 tahun umat Islam menghadapi berbagai tekanan. Di tahun 2025 Umat Islam akan keluar dari himpitan berat. 


Setidaknya begitu kesimpulan ceramah Ustad Zulkifli Muhammad Ali, Lc. MA dalam kanal YouTube berdurasi 18 menit 50 detik yang beredar di media sosial.  


Dia mengutip ucapan Nabi Mohammad SAW yang menyatakan bahwa umat beriman  di dunia ini hanya berada di lima fase kepemimpinan. 


Menurut Ustad, fase kepemimpinan dunia itu antara lain fase Kenabian, fase Kekalifahan, fase Kerajaan, fase Tanpa Kalifah, dan terakhir fase Kilafah Islamiyah.


Fase pertama adalah fase Kenabian yang dipimpin Nabi Mohammad, dan itu berakhir setelah Rasululloh wafat. 


Kemudian, lanjut Ustad, disusul fase Kekhalifahan yang lamanya hanya 30 tahun, setelah Ali bin Abi Tholib meninggal.


Ustad Zulkifli Muhammad Ali, Lc. MA melanjutkan penjelasannya, bahwa dalam fase ketiga, umat Islam dipimpin para Khalifah dalam bentuk kerajaan. Dan kepemimpinan raja  melahirkan dinasti seperti Bani Ummayah, Abbasyiah juga dinasti Saud.


Fase umat Islam dipimpin raja, kata Ustad Zulkifli Muhamad Ali, sudah   berakhir  tanggal 3 maret 1924.


"Berikutnya  kita masuk fase keempat yaitu fase umat Islam tidak dipimpin oleh seorang khalifah pun," tandasnya.


Pada fase ini Nabi mengatakan, terang Zulkifli,  Islam jadi pecundang. Kaum muslim menjadi bulan-bulan. Jumlah mereka banyak tapi tidak berharga dan tidak diperhitungkan.


Umat Islam menghadapi tekanan  politik, ekonomi, kesehatan, bencana alam dan persolan sosial lainnya.


Pada saat umat Islam tanpa pemimpin, klimaknya terjadi bersamaan dengan munculnya ujian berat bencana  mewabahnya penyakit menular yang menyebar ke mana-mana. 


Negara tidak mau perekonomian ambruk, tetapi penanggulangan pandemi tidak kunjung teratasi. Umat Islam kebingungan.


Tahun 2025, menurut Zulkifli Muhammad Ali, masih mengutip sabda Rasululloh, umat Islam akan masuk ke fase terakhir. Umat Islam akan dipimpin oleh Khilafah Islamiah. 


Tetapi tidak lama hanya 9 tahun," terang dia, dalam ceramahnya pada tahun 1437 Hijriah atau 2017 silam.


Umat Islam dalam tempo 50 tahun ke depan dihitung dari 1437 Hijriah, menurutnya tinggal menunggu angin lembut yang berasal dari Negeri Zaman membungkus dunia.


Seluruh orang beriman, menurutnya oleh Allah SWT dengan angin lembut itu digulung secara serentak alias dimatikan. Dalam bahasa Al Qur'an disebut Kiamat. 


Penjelasan Ustad Zulkifli Muhamad Ali memang diingatkan oleh Surat 25 Al-Furqan Ayat 25.


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Dan (ingatlah) pada hari (ketika) langit pecah mengeluarkan kabut putih dan para malaikat diturunkan (secara) bergelombang."


Umat Islam saat ini sedang menunggu langit itu pecah. 


(Bambang Wahyu Widayadi)





Rabu, 23 Juni 2021

KEHEBATAN BUPATI SUNARYANTA, TIDAK SEPERTI YANG SAYA BAYANGKAN

Gunungkidul mengejar  pertumbuhan ekonomi melupakan kemerataan adalah omong kosong.

Pertumbuhan ekonomi adalah identik dengan rejeki massal yang diturunkan dari langit, meskipun hal itu tidak pernah diakui oleh sejumlah  pemimpin dunia yang angkuh dan sombong. Fakta di lapangan menunjukkan, dompet pejabat gemuk, dompet rakyat kurus. Pertumbuhan ekonomi tinggi tidak serta merta mencerminkan kemerataan.  

Untuk diketahui, pertumbuhan ekonomi itu bisa saja dihalangi, bahkan diberhentikan sama sekali oleh Yang Maha pembagi Rejeki. 

Isyaratnya sangat jelas, "Atau siapakah yang dapat memberimu rejeki jika Dia menahan rejeki-Nya? Bahkan mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri (dari kebenaran," demikian sebuah keputusan yang tertulis dalam Al-Mulk, Ayat 21. 

Tetapi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tetap kukuh  memproyeksikan bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,9% pada tahun 2021.

Berdasarkan survei OECD pertumbuhan ekonomi Indonesia akan kembali naik menjadi 5,4% pada tahun 2022.

Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria mengatakan, pemulihan ekonomi Indonesia akibat pandemi akan berlangsung secara bertahap dan tergantung pada penanganan di sektor kesehatan.

"Indonesia sedang menghadapi tantangan terberatnya sejak krisis 1997. Dengan reformasi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan energi dan bakat dari populasi mudanya dan membuat ekonomi bergerak maju lagi," kata Sekretaris Jenderal OECD pada OECD Economic Review of Indonesia 2021, Kamis 18-3-2021. 

Proyeksi di atas adalah kesombongan manusia yang luar biasa besar, sementara realitasnya Indonesia jauh dari tanda-tanda ekonomi itu akan membaik.

 Satu setengah tahun negeri yang kaya raya akan sumber daya alam ini diganyang pandemi. Pemimpin bangsa tidak sanggup berbuat banyak, kecuali kebingungan kemudian sibuk membuat regulasi dan berputar-putar tidak jauh dari protokol kesehatan.

Mengapa di masa pandemi seorang pemimpin selalu bingung mengatasi persoalan pertumbuhan ekonomi?  Karena di hati kecilnya biasa mendebat sebuah keputusan, padahal nenganalogi bahasa hukum, keputusan Pemilik Alam  ini adalah inkracht (inkrah).

 "Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," dia berkata, "Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata, "Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat." Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim." dikutip dari Al-Baqarah, Ayat 258.

Mendebat atau menyangkal sebuah keputusan Sang Pemilik alam semesta, terjadi bersamaan  merajalelanya wabah. Ini sesungguhnya tidak menguntungkan.

Turunnya pandemi ke dunia sepatutnya dijadikan  ajang mawas diri, betapa manusia telah banyak berbuat melampaui batas. Pertumbuhan ekonomi  tinggi, tetapi  tidak memenuhi syarat kemerataan. 

Di Indonesia, kesenjangan ekonomi sedemikian nyata. Hanya sedikit orang memiliki uang trilyunan rupiah, dan terlalu banyak warga yang dompetnya kosong melompong.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,5% di tahun 2022 sulit untuk terealisasi, termasuk pertumbuhan ekonomi Gunungkidul. 

Salah satu Indikator pertumbuhan ekonomi terletak pada sumbangan sejumlah sektor terhadap PDRB.

 Di Gunungkidul, berdasarkan laporan yang terdata tahun 2020 sektor pertanian menyumbang PDRB sebesar 24,67%. 

Di bawah kepemimpinan Bupati Sunaryanta, saya tidak yakin sumbangan pertanian terhadap PDRB  kemudian naik menjadi 50%.


(Bambang Wahyu Widayadi)


DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...