Kamis, 26 April 2018

Pantarlih Sembilan Kecamatan Lambat Melaporkan Hasil Coklit

Ketua KPUD Gunugkidul, Zaenuri Ikhsan, foto Bambang WW


Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) Minggu pertama 17/4 -24/4 tahun 2018, ditugasi melakukan  coklit (pencocokan dan penelitian)  140 TPS di 18 Kecamatan. KPUD Gunungkidul berjanji tiap minggu melakukan evaluasi. Hasilnya mengecewakan, karena Pantarlih di Sembilan Kecamatan belum memasukkan laporan.

Hal di atas adalah ekspresi kekecewaan Zaenuri Ikhsan, Ketua KPUD Gunungkidul yang dilonlontarkan di ruang kerjanya, (26/4).

Ketua KPUD 26/4 menerujunkan 9 tim untuk menelusuri penyebab keterlambatan laporan di 18 Kecamatan. Dia belum berani menyimpulkan apa yang menjadi penyebab molornya laporan Pantarlih.

Menurut keterangan Zaenuri, sebagian Pantarlih yang ditugasi melakukan coklit rata-rata sumber daya manusia baru. Ada Pantarlih lama, tetapi pihaknya sedang melakukan pencermatan.

Dijelaskan, sembilan Pantarlih yang belum laporan meliuti Kecamamatan Gedangsari, Semanu, Ponjong, Karangmojo, Girisubo, Paliyan, Tanjungsari, Tepus, dan Panggang.
KPUD Gunungkidul, menurut Ketua, mendesak Pantarlih untuk melakukan coklit ulang, mulai dari nol. Pihaknya tidak mau Pantarlih bekerja tanpa jadwal.



Rabu, 25 April 2018

INDONESIA DALAM OPLOSAN PERADABAN SEKULER



Beberapa tokoh bangsa berpendapat, politik tidak boleh dicampur dengan agama. Diberlakukan juga hal yang sama, bahwa agama tidak boleh dibawa-bawa ke ranah politik. Doktrin seperti ini keluar dari mulut dan pikiran orang yang mabuk karena minum oplosan  peradaban sekuler. Mereka tidak sadar, bahwa memisahkan jiwa agama dengan politik (atau apapun) adalah tindakan yang sangat berbahaya.


Di Indonesia, paham memisahkan kehidupan beragama dengan realitas politik (sekulerisme) tumbuh demikian subur. Dalam pidato di depan publik, salah seorang  tokoh yang sangat berpengaruh di Gunungkidul berbicara tanpa tedeng aling-aling.


“Politik itu urusan dunia, sementara agama adalah urusan akherat,” ujar sang tokoh di luar kesadaran secara berapi-api.


Terkait dengan ucapan di atas, ada dua kalimat yang patut dicermati: Pertama,  dalam berpolitik, bisakah orang tidak beragama. Jawabannya, bisa, bahkan sangat bisa.


Kedua, dalam berpolitik, bolehkah orang itu meninggalkan agama. Jawabannya sangat jelas, bahwa tidak boleh. Alasannya?


Politik tanpa agama merupakan kesadaran  terendah, lantaran  bertentangan dengan Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.


Merunut sejarah, para pendiri bangsa teguh menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa  pada posisi teratas (pertama) pada alinea ke 4 Preambul UUD 1945, kemudian merumuskan secara nyata di Pasal 29 Ayat 1 dan 2, bukan tanpa alasan.


Meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa di urutan teratas merupakan kesadaran tertinggi manusia Indonesia pada jamannya.


Doktrin memisahkan agama dengan politik, itu pelecehan terhadap UUD 1945. Eloknya, ketika berpidato tokoh tersebut malah  diaplous habis-habisan.


Saya tidak yakin, bahwa segala kegiatan manusia bisa dipisahkan dari rasa Ketuhanan (agma). Mana ada manusia bisa berfikir tanpa Roh (sukma). Segala sesuatu yang ada di jagat raya ini dalam posisi selalu bergantung kepadaNYA.


Maling ayam contoh sederhna, pun bergantung kepadaNYA. Terbukti, dia tetap memperoleh colongan, meski tindakan itu keliru. Keberhasilan si maling ayam karena diijinkan olehNYA.


Setya Novanto divonis 15 tahun penjara itu tidak lepas dari nasib yang sudah digantung. Artinya, takdir Novanto telah ditulis jauh sebelum dia melakukan korupsi E-KTP.


Untuk membenahi carut marut NKRI, para pemimpin dan para calon pemimpin, harus kembali ke rumah besar bernama UUD 1945. Dekrit 5 Juli 1959, rupanya penting menjadi pertanda, untuk kembali ke Preambul dan Batang Tubuh.

Tidak perlu diartikan, bahwa kembali ke UUD 1945 adalah kembali ke sebelum perubahan. Itu pandangan yang keliru, karena sejarah terus berjalan. Amandemen UUD 1945 adalah bagian dari nasib yang telah ditulis jauh sebelum Indonesia merdeka.

Prembul dan Batang Tubuh UUD 1945 mengajarkan kepada bangsa (pemimpin) untuk menegakkan jiwa agama di setiap langkah kebijakan, demi kesejahteraan dan keadilan bersama.



Bambang Wahyu Widayadi

Selasa, 24 April 2018

Jokowi Getol Membangun Budaya Hukum, Tetapi Lupa Menegakkan Keadilan

Nawa Cita 4

Nawa Cita 4 dijabarkan menjadi 9 program teknis menyangkut reformasi sistem  penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Program satu sampai sembilan memiliki keterkaitan yang tidak terpisah-pisah.


Membangun politik legeslasi yang kuat, merupakan item pertama Nawa Cita 4. Jokowi bertekad melakukan pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan terhadap lingkungan hidup, serta reformasi lembaga penegak hukum.


Poin kedua, Jokowi berjanji memperkuat lembaga anti rasuah KPK. Ketiga, memberantas mafia peradilan. Keempat, meberantas penebagan liar, perikanan liar dan penambangan liar.

Kelima, Jokowi melakukan pemberntasan narkoba psikotropika. Keenam fokus pada pemberantasan tindak kejahatan perbankkan serta pencucian uang. Keenam, Jokowi menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah.


Ketujuh, Jokowi gigih melindungi anak, perempuan, dan kelompok masyarakat marjinal. Kedelapan, dia menghormati HAM dan menyelesaikan secara berkeadilan atas kasus pelanggaran HAM masa lalu. Yang terakhir, kesembilan Jokowi membangun budaya hukum.


Menyangkut pemberantasan korupsi di item satu, langkah Jokowi terseok-seok. Delapan belas anggota DPRD Kota Malang dan tiga puluh delapan anggota DPRD di Sumatera yang ditangkap KPK merupakan tamparan keras.


Janji untuk memperkuat KPK oleh sebagian besar pengamat, Jokowi dinilai lemah. KPK  ragu menghadapi skandal Bank Century, Presiden Jokowi malah lebih bimbang. Ketegasan sebagai pemimpin tidak nampak. Diduga, meski dia menjabat dua periode, kandal Century tidak  akan selesai, karena menyangkut nama-nama  besar di negeri ini.


Soal penambangan liar, khusus yang terjadi di Gunungkidul, tidak ada ketegasan dalam penegakan aturan. Penggempuran bukit kapur, yang kewenangannya ditarik ke level propinsi, terus berlanjut hingga 2018 sulit  dihentikan.


Menyebut kasus narkoba, di Indonesia tidak mereda, bahkan sebaliknya. Peredaran barang haram itu malah dikendalikan dari balik jeruji. Kasus Kalapas Purworejo menjadi  salah satu bukti, bahwa memotong jaringan narkoba tidak semudah orang membalikkan telapak tangan.


Memberi kapastian hukum hak atas tanah terhadap 9 juta bidang dilakukan, tetapi ekses carut marut pungutan di tingkat lapangan tidak mudah dimonitor. Jokowi hanya bermain gertak, para Bupati tidak berani berbuat banyak.


Melindungi kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari tekanan kebutuhan energi listrik, BBM, gas LPG 3 Kg, dan tataniaga beras juga daging, Kabinet Jokowi benar-benar kedodoran.


Jokowi termasuk tak sanggup membongkar kasus HAM masa lalu, terbuhuhnya aktifis Munir. Bahkan yang di depan mata, Polri tidak kunjung menemukan pelaku penyiriraman mata kanan Novel Bawwedan. Ini kegagalan yang suka tidak suka adalah tanggung jawab Jokowi.

Membangun budaya hukum, identik dengan menegakkan keadilan. Jokowi dalam hal ini kurang jeli, seharusnya dia memilih menegakkan keadilan, karena di dlamnya akan terjadi penegakan hukum.

Dalam Desentralisasi Asimetris, Polisi Dilibatkan Pengawasan Dana Desa

  
Nawa Cita 3
Dalam Nawa Cita 3, Jokowi bertekad membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Prioritas pertama adalah desentralisasi asimetris. Mengutip paparan M Masud Said Anggota Dewan Pakar, Pengurus Pusat Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, pilihan Jokowi adalah tepat.


Tiga provinsi di Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, dan Aceh menjadi dasar pertimbangan, mengapa Indonesia  menerapkan desentralisasi asimetris.

Implementasi desentralisasi asimetris merupakan jalan tengah, karena menurut M. Masud, biaya lebih murah dibanding otonomi khusus (otsus) dan otonomi daerah (otda) sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004.


Menurutnya, pelaksanaan desentralisasi asimetris bagi DI Yogyakarta, Papua, bahkan DKI Jakarta, dan Bali bukan hanya akan mengakomodasi keberagaman yang ada, tetapi juga memberi keleluasaan bagi propinsi tersebut untuk memperkuat jati diri dalam kerangka NKRI.


Desentralisasi asimetris, dengan demikian nyambung dengan prioritas kedua yakni pemerataan pembagunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia dan kawasan perbatasan.


Penataan daerah otonom baru, demikian item ketiga Nawa Cita 3, seperti Kepuauan Riau misalnya,  adalah pintu lain yang dibuka Jokowi untuk mensejahterakan warga.


Tidak diragukan, ini elemen yang terakir atau ke empat, UU Desa  terimplementasikan secara nyata. Dana Desa yang dikucurkan merangkak naik dari 20, 40 ke 60 triliun untuk 3 tahun terakhir.


Yang sulit ditutupi, banyak kepala desa terhantui jeruji penjara karena ceroboh dalam pengadministrasian dana desa, sehingga Polri diminta menurunkan anggota Babinkamtibmas untuk campur pengawasan dana desa.

Senin, 23 April 2018

Pada Nawa Cita 2, Jokowi Berhasil Menaklukkan Ketua-Ketua Partai

Nawa Cita 2

 Terkait Nawa Cita 2, Jokowi bertekad membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Langkah Jokowi dirintis melalui 6 (enam) jalur utama.


Pertama, Jokowi igin memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu dan lembaga perwakilan.


Jokowi gerah terhadap cara kerja para politisi. Terlebih ketika di negeri ini lahir Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).


Ketidaksenangan Jokowi terhadap sistem kepartaian di Indonesia diimplementasikan dalam bentuk menaklukan ketua-ketua partai dengan cara menarik masuk ke dalam kabinet yang dipimpinnya.

Langka Jokowi bukan memperbaiki sistem kepartaian melainkan membungkam partai supaya tidak ribut mempersoalkan kebijakan yang dijalankannya. Delapan partai dibuatnya tak berkutik, tetapi empat parpol seperti PAN, PKS, Gerindra dan Demokrat tetap pongah berada di luar kabinet.


Upaya meningkatkan keterwakilan perempuan, ini poin yang kedua dari Nawa Cita 2, bukanlah hal yang baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah merintIs ambang 30% perempuan terlibat di kepengurusan parpol dan pencalegan.


Sistem pemilu yang baru memang terjadi pada masa kekuasaan Jokowi, yakni Pileg dan Pilpres dilakukan serentak . Munculnya Parpol yang ditopang penuh oleh perempuan memang terjadi, yakni dengan berdirinya Partai Solidaritas Indonesia yang dikomandani Grace Nataly.


Keinginan Jokowi membangun sistem kepartaian tidak ada perbaikan yang berarti. Jumlah partai tidak berkurang melainkan bertambah. Peserta pemilu 2014 hanya 12, sementara tahun 2019 membengkak karena munculpartai baru seperti Beringin Berkarya, Garuda, dan PSI.


Di samping, itu tingkat kepercayaan rakyat pada DPR makin merosot. Tingkah sebagian aktor politik hampir  di seluruh parpol relatif buruk dan memuakkan.


Jokowi berkeinginan memperkuat kantor Kepresidenan. Ini  merupakan item ketiga dari  Nawa Cita 2.


Kehendak Jokowi diaktualisasikan dalam bentuk mendirikan lembaga di bawah Presiden. Wujudnnya berupa Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang dipimpin intelektual muda Yudi Latif.


Lembaga yang secara khusus ditugasi mengurus Pancasila itu dibentuk  Jokowi pada bulan Juni 2017. Hamir setahun berjalan, hasil kerja lembaga yang dikomandani Yudi Latif tidak kelihatan.


Agak aneh, di luar UKP-PIP, Jokowi mengangkat para pensiunan seperti Megawati Soekarno Putri, Tri Sutrisno, dan yang lain menjadi Pengurus UKP-PIP. Kewenangan dan ketugasan pengurus UKP-PIP tidak begitu jelas, klik di https://news.detik.com/berita/d-3522402/.


Program keempat, Jokowi bertekad membangun transparansi tata kelola pemerintahan. Ini bukan gebrakan baru, karena transparansi itu di sepanjang sejarah dikontrol oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).


Hasil pemeriksaan BPK terhadap kerja pemerintah dinyatakan  dalam status Wajar Tanpa Perkecualian (WTP). Mantan Ketua MK, Mahfud MD menyebut, status WTP yang diraih lembaga pemerintahan tidak berarti bahwa bersih dari korupsi.

  
Item kelima dari Nawa Cita 2, Jokowi getol menjalankan reformasi birokrasi. Pada proses perjalanan, pembentukan UKP-PIP beserta pelantikan pengurus, bertentangan dengan reformasi birokrasi yang dia canangkan.


Item terakhir dari Nawa Cita 2, partisipasi publik dibuka lebar. Ini bisa dimaknai, rakyat boleh menilai terhadap kerja Pemerintah. Tetapi ketika rakyat mempertanyakan masuknya tenaga asing ke proyek-proyek yang dikerjakan Cina, Jokowi memperlihatkan ketidaksukaan atas pertanyaan tersebut.
   

Minggu, 22 April 2018

Merunut 6 Program Jokowi Pada Nawa Cita 1

nawa cita 1

 Presiden Jokowi membagi Nawa Cita 1 ke dalam 6 program utama. Sejauh mana tigkat keberhasilan program tersebut, sepenuhnya berada di tangan masyarakat.



Selama memegang kekuasaan, Presiden Jokowi menaruh perhatian besar terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Ini merupakan konsistensi dari sikap politik luar negeri yang bebas aktif.


Bantuan terhadap Pengungsi Rohingya, misalnya, diapresiasi oleh Jasa Putra dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, periksa di: (http://nasional.kontan.co.id/news/).


Jokowi menghadapi pekerjaan berat menyangkut soal perlindungan terhadap pekerja migran yang terancam hukuman mati.

Melalui http://nasional.kontan.co.id/vews/ Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant CARE mengungkapkan, setidaknya 265 Buruh Migran Indonesia (BMI) terancam hukuman mati. Menurut data yang dihimpun Migrant Care, di Malaysia 213 BMI sedang dalam proses hukum, 70 kasus sudah divonis hukuman mati.

"Di Arab Saudi terdapat Sembilan kasus dengan vonis tetap hukuman mati dan 33 kasus dalam proses. Di China terdapat sembilan kasus vonis tetap hukuman mati dan 18 kasus masih dalam proses. Hal ini sangat memprihatinkan," ujar Anis Hidayah dalam keterangan persnya, Jumat (27/12/13) silam.

Berdasarkan kenyataan pahit Presiden Jokowi bilang, Kami menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.


Mengenai berapa jumlah BMI yang terancam hukuman mati yang berhasil diselamatan Jokowi, tidak banyak dipublikasikan.


Item ketiga dari Nawa Cita 1, Menteri Susi Pudji Astuti dipuji habis-habisan karena sukses menenggelamkan kapal pencuri ikan, meski akhirnya cara tersebut menjadi kontroversi. Kritikan pada Susi, mencuat ketika dia melrang nelayan tradisional menggunakan cantrang.


Anggaran pertahanan, yang diposisikan pada prioritas keempat pada Nawa Cita 1, ditarget anggaran sebesar 1,5% dari PDB.


Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, sebelum dicopot dari jabatannya mengatakan, alat utama sistem pertahanan (alutsista), dan kesejahteraan prajurit serta perumahan, pertahun dianggarkan Rp 160 triliun, cermati di: https://bisnis.tempo.co/read/710988/.


Kerja Jokowi di sektor alutista dan kesejahteraan prajurit berhimpitan dengan program pengembangan industri pertahanan yang diletakkan pada item ke lima.


Yang terakhir, Jokowi bertekad membangun rasa aman bagi seluruh warga negara dengan mengembangkan institusi Polri yang profesional.



Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Polri berkomitmen menjadi institusi yang profesional, modern, dan tepercaya.

Hal itu diwujudkan dalam bentuk penandatanganan komitmen integritas seluruh kepala biro sumber daya manusia polda se-Indonesia.


"Dengan komitmen ini, seluruh pejabat pengelola SDM Polri memahami, menyadari, dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan jujur dan amanah serta bebas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme)," kata Asisten SDM Kapolri Irjen Arief Sulistyanto Jumat (25/8/2017), lihat  di https://.detik.com/berita/d-3615364/.

Menilai keberhasilan Nawa Cita 1, harus dilihat secara makro. Artinya, pelaksanaan jajaran pemerintah pusat sampai daerah, patut dicermati. Pasalnya, Nawa Cita masuk di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menenah Nasional (RPJM-Nas) 5 tahun pemerintahan Jokowi.  

Bambang Wahyu Widayadi

SECARA KUANTITATIF, JOKOWI KONSISTEN DENGAN JANJI POLITIK

Presiden Joko Widodo


Menilai  Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari sisi kuantitas janji politik, adalah hal yang sangat sederhana. Dokumen  kampanye, Jokowi menjanjikan Nawa Cita, sebagai jalan perubahan tersimpan rapih ddalam bentuk file PDF . Evaluasi tidak perlu ke mana-mana, pelaksanaan Nawa Cita selama Oktober 2015 hingga Oktober 2019 itulah yang musti dicermati.


Dua evaluasi yang harus dibedakan adalah: (1). Jokowi konsisten dengan janjinya atau tidak; (2). Tentang janji tersebut berapa yang berhasil dan berapa yang gagal.


Mencermati perkara pertama lebih mudah ketimbang persoalan kedua. Membuka dokumen kampanye, Jokowi terbilang cerdik, dalam merebut simpati pemilih. Dia masuk ke persoalan bangsa paling utama dengan mengutip Preambul UUD 1945. 


Mei 2014, Jokowi menetapkan visi, misi dan program aksi. Dia bertekad membuat jalan perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian.


Menyitir Pembukaan UUD 1945, Jokowi bertekad (1). Melindungi segenap bangsa Indonesia dan tanah tumpa darah; (2). Memajukan kesejahteraan umum; (3). Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4). Ikut memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi.

Selama reformasi, Jokowi menengarai terjadi hal yang meprihatikan: (1). Kewibawaan negara merosot; (2). Sendi perekonomian nasional melemah; dan (3). Terjadi intoleransi dan krisis kepribadian.


Bertolak dari indikator yang dicurigai, mulai 2015 higga 2019 Jokowi menetapkan 9 prioritas yang dia kelompokkan dalam tiga tema besar.

Pertama, menghadirkan negara dalam setiap persoalan bangsa; Kedua, menciptakan kemandirian yang mensejahterakan, dan Ketiga, melakukan revolusi mental.

Tiga tema besar itulah yang dia promosikan sebagai Nawa Cita, yang secara detail dibagi menjadi 51 sub Nawa Cita.  Limapuluh satu janji politik tersebut dikerjakan atau tidak, hingga awal 2018, jawabannya positif: dilakukan.

Soal berhasil atau tidak, ini butuh percermatan serta analisa  lapangan yang memadai.



Bambang Wahyu Widayadi

Sabtu, 21 April 2018

PERINGATAN HARI KARTINI HARUS BERBANDING LURUS DENGAN PERADABAN



Terkait peringatan Hari Kartini, bangsa Inonesia terperangkap dalam sejarah peradaban manusia yang sengaja diciptakan pemerintah kolonial Belanda. Kaum perempuan, sesuai kemauan penjajah, diletakkan dalam posisi tidak setara dengan laki-laki. Kegetiran seperti itu dialami Raden Ajeng Kartini  139 tahun silam. Sekarang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melalui Undang-Undang Dasar 1945, memposisikan laki perempuan dalam kesetaraan.


Lelaki dan perempuan, secara kodrati memang berbeda, tetapi secara hak azasi sama. RA Kartini memberontak, karena peradaban manusia pada zamannya memang memaksa Pahlawan Nasional yang lahir di Jepar 21 April 1879 itu harus berbuat demikian.


Manusia Indonesia yang dimerdekakan sejak 17 Agustus 1945, sangat berbeda dengan zaman penindasan abad XVIII yang dialami RA Kartini.


Peringatan Hari Kartini yang dilakukan setiap 21 April, seharusnya tidak sebatas pada pesta kebaya dan lomba masak bagi kaum laki-laki. Itu semua merupakan kesetaraan vulgar dan semu.


Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28C Ayat 1 dan 2 merupakan rujukan sekaligus ukuran seberapa jauh kemajuan peradaban manusia tanpa melihat perbedaan fisik laki perempuan.


Lomba berkebaya, memasak, merangkai bunga, mewarnai gambar, pidato, membaca pusi, makan kerupuk yang digantung, boleh-boleh saja dilakukan, tetapi outputnya harus relevan dengan zaman, selaras dengan landasan konstitusionil.


Orientasi zaman, sesuai UUD 1945 sekurang-kurangnya mengarah pada dua hal:


Pertama, bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, (Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945)


Menyebut contoh, dalam hubungannya dengan peringatan Hari Kartini, lembaga Negara di seluruh level, wajib mendorong putra-putri bangsa untuk berkarya di bidang tertentu, dalam bentuk lomba.


Kedua, bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, (Pasal 28C  Ayat 2).

  
Mengingat-ingat perjuangan RA Kartini tetap relevan dan penting. Tetapi sebagai anak zaman, berkarya lebih penting ketimbang merenung dalam romantisme sejarah perjuangan. Saatnya perngatan Hari Kartini diisi dengan gerakan dan pikiran yang terukur sesuai amanat UUD 1945.



Bambang Wahyu Widayadi 

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...