Belanda hengkang dari ibu kota Yogyakarta tanpa upacara simbolis
Peran masyarakat Gunungkidul dalam hal melawan tentara Belanda setelah agresi militer ke-2, Minggu Legi 19 Desember 1949, tidak perlu diragukan.
Tetapi terkait hengkangnya Belanda dari ibukota Yogyakarta, Rabu Pon, 29 Juni 1949, Dinas Kebudayaan Gunungkidul menyatakan, upacara penarikan tentara Belanda secara simbolis dilakukan di Desa Siraman, Kapanewon Wonosari.
Pernyataan Dinas Kebudayaan Gunungkidul memicu keraguan, sebab menurut Purnawan Tjondronegoro, penulis buku Merdeka Tanahku Merdeka Negriku penarikan tentara Belanda dilakukan di kota Yogyakarta.
Begitu Operasi Gagak berakhir, demikian sebutan lain terhadap Agresi Belanda Ke-2, tentara Belanda ditarik mundur dalam waktu sehari dengan jam yang berbeda.
Di bawah pengawasan Persatuan Bangsa Bangsa, jam 07.30 WIB, tentara Belanda yang berada di Jalan Bantul, Secodiningratan, Ngabean, Wirobrajan ditarik. Menurut Purnawan Tjondronegoro, Lokasi tersebut ganti dikuasai TNI. (halaman 562 alinea 2).
Pukul 09.0 WIB, serdadu Belanda yang berada di posisi utara rel kereta api digeser. TNI siaga di selatan rel sekitar 500 meter (562 alinea 3).
Jam 11.30 WIB tentara Belanda yang menduduki area barat
sungai Code (sekarang UIN Sunan Kalijaga) ditarik, dan TNI masuk menguasai wilayah tersebut (562, alinea 4).
Terakhir, jam 14.30 WIB tentara Belanda ditarik seluruhnya, dan TNI ful menguasai kota (562, alinea 5).
Dari penuturan Purnawan Tjondronegoro, prosesi penarikan tentara Belanda, tidak ada satupun yang dilakukan secara simbolis.
Pernyataan Sigit dari Dinas Kebudayaan Gunungkidul bahwa ia Gunungkidul dijadikan ajang penarikan tentara Belanda secara simbolis, dan dihadiri Sri Sultan Hamengku Buwono IX cukup menarik.
Disayangkan rilis tersebut mandek, tidak ada tindak lanjut, sehingga publik penasaran tentang kebenaran peristiwa bersejarah tersebut.
Sigit kala itu sebagai Kabid Sejarah, Bahasa, Sastra dan Permusiuman, tidak melengkapi literatur sehingga keakuratan rilisnya disangsikan, padahal peran warga Gunungkidul dalam memerangi Belanda tidak perlu diragukan.
Masyarakat berharap, siapa pun pejabat yang duduk di kursi Kabid Sejarah tidak boleh asal membuat pernyataan yang menimbulkan banyak tanda tanya.
Kuntowijoyo budayawan, sastrawan, dan sejarawan asal Bantul, menyatakan, lima langkah harus diperhatikan terkait dengan penelitian sejarah.
Lima syarat penulisan atau pernyataan yang berkaitan dengan sejarah menurut Kunto meliputi:
1. pemilihan topik;
2. heuristik / pengumpulan sumber;
3. verifikasi / kritik sejarah;
4. interpretasi / penafsiran dan
5. historiografi / penulisan, termasuk statemen pejabat pemerintah.
Bertolak dari pikiran Kuntowijoyo, statemen penjabat Dinas Kebudayaan bisa dikatakan:
1. Topik sejarah yang sangat menarik;
2. Data dan sumber kurang lengkap;
3. Kritik bahwa Siraman sebagai ajang pelepasan tentara Belanda secara simbolis tidak digali lebih dalam;
4. Penafsiran terhadap informasi masyarakat tidak dilakukan; dan
5. Pernyataan yang dirilis melalui media terkesan sembarangan.
(Bambang Wahyu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda