Senin, 24 September 2018

DESAKU DESAMU

Yank Tiek
Lagu ini sedang digarap oleh kelompok seniman Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumbangsih untuk perkembangan budaya dan pariwisata. 

Lagu berjudul Desaku Desamu karya Pak Dhe Trima, Pengisi suara Yank Tiek, diaransir oleh Kempleng Gading Handoyo. Semoga bermanfaat.


Desaku ‘ben dina ‘ra sepi ing karya
Lakune budaya, gebyare wisata
Diulur dijangka, dicoba disangga
Rinengkuh ing warga, rinumat  temata

Kancane nyawiji, atine temali
Tangane makarti, landesan agami
Sumendhe mring Gusti, ngupaya rejeki
Tinuntun pikiran, sinempen ing ati


Reff

Ora kendat sukune padha jumangkah
Ora lali sayekti padha sumarah
Pamrihe desaku desamu  gagah
Tinggalane siji kanggo putra wayah


Aja wedi kudu wani, aja mangu-mangu
Kudu ngerti aja amung tiru-tiru
Sesantine para wasis lawan maha guru
Pawelinge kang mesti padha digugu


Desmu, desaku, desamu desaku






Rabu, 29 Agustus 2018

DEMOKRASI BARAT ITU BENGKOK, HARUS DILURUSKAN MELAUI DEMOKRASI ALA INDONESIA



WONOSARI, - Media sosial, apapun bentuk dan jenisnya, dirakit untuk mempermudah komunikasi. Medsos lahir tidak bertentangan dengan takdir. Sementara sebagian besar manusia tidak memahami secara baik hubungan medsos dengan firman Allah Swt.


"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti," Al-Hujarat ayat 13.


Faktual, pemanfaatan medsos, terutama pada masa menjelang pesta demokrasi, dimanfaatkan untuk perang tagar (tanda pagar: #). Ini menyimpang dari esensi Al-Hujarat 13.


Di langit perang tagar, di bumi persekusi. Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Persekusi berasal dari bahasa Inggris: persecution. Maknanya adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok, terhadap individu atau kelompok lain, karena suku, agama, atau pandangan politik.


Al Quran menunjukkan, perlakuan buruk itu pun tidak lepas dari firman Allah Swt.


“Katakanlah (Muhammad), Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain. Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kekuasaan Kami) agar mereka memahami(nya),” Al-An am,  Ayat 65.


Mencermati kalimat: Dia (Allah) mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain, benar-benar terjadi pada #Jokowiduaperiode dan #2019gantipresiden.


Dalam Pasal 29 Ayat 1  ditegaskan, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.


Perang tagar menjelang pemilu 17 April 2019, yang kemudian melahirkan persekusi, perlu dipahami dari roh bernegara dan berbangsa.


Seluruh warga negara Inonesia harus kembali kepada Ketuhanan Yang Maha Esa yang harus diprakekkan oleh para pemeluk : Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Kong Hucu, serta aliran kepercayaan.


Perang tagar tidak dilarang, tetapi  harus dilakukan sesuai kaidah 6 agama, 1 aliran kepercayaan, bukan malah diperparah dengan perang mulut di layar kaca.


Tidak sepenuhnya demokrasi barat melahirkan kebebasan yang nyaman. Bangsa Indonesia memiliki kesanggupan meredam ekses negatif demokrasi barat. Itu harus diimplemntasikan dalam pesta demokrasi 17 April 2019.



Bambang Wahyu Widayadi



Rabu Dinihari, Gunungkidul Diguncang Gempa 5,8 SR




WONOSARI, Gempa bumi berkekuatan 5,8 Skala Richter (SR) mengguncang Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Belum ada laporan kerusakan, tetapi gempa tersebut tidak menimbulkan potensi gelombang tsunami.


“Gempa tektonik terjadi Rabu, 29 Agustus 2018, pukul 01.36.36 WIB, di Samudera Hindia,” terang  Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono, S.T., Dipl. Seis, M.Sc.


Hasil analisis  BMKG menunjukkan, titik gempa bumi  terletak pada koordinat 8,93 LS dan 110,22 BT. Tepatnya berlokasi di laut pada jarak 114 km,  selatan Kota Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi DIY, kedalaman 62 km.


Menurut Rahmat Triyono, gempa bumi berkedalaman dangkal ini diakibatkan oleh aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia yang menyusup ke bawah Lempang Eurasia.


Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan, gempa bumi tersebut dipicu oleh deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik (Thrust Fault).

Dampak gempa bumi berdasarkan shakemap BMKG dan laporan masyrakat menunjukkan, guncangan dirasakan di daerah Bantul Jogjakarta, Karanganyar, Karang Kates, Purworejo, Trenggalek, Wonogiri, Sawahan, Banjarnegara dan Magelang.


Hingga saat ini belum ada laporan dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat gempa bumi tersebut.

“Dari hasil pemodelan menunjukkan,  gempabumi tidak berpotensi tsunami,” terang Rahmat Triyono.


Hingga pukul 02:00 WIB, Hasil monitoring BMKG belum menunjukkan adanya aktivitas gempa bumi susulan (aftershock).


Bewe 

Jumat, 27 Juli 2018

Soal Kursi DPR-RI: Golkar DIY Pasang Target Keras dan Target Lunak



Gandung Pardiman Masuk Senayan
JAKARTA, Gandung Pardiman yang 26 Juli 2018 masuk Senayan mem-PAW Stiti Hediyati Soeharto, menyatakan, DPD Golkar DIY memiliki dua rencana. Terkait kursi DPR-RI, Golkar DIY pasang target keras dan target lunak.


“Artinya begini, untuk kursi DPR-RI, target kerasnya Golkar harus memperoleh 2 (dua) kursi. Sementara target lunak, cukup 1 (satu) kursi,” ujar Gandung Pardiman, (27/7), di Jakarta.


Lebih rinci Politisi gaek alumnus IKIP Negeri Yogyakrta, sekarang UNY ini menjelaskan, target keras mengisyaratkan para petarung harus siap bekerja siang malam nonstop.


Ditanya soal target kursi DPRD DIY dan DPRD Gunungkidul dia menyebut angka 10 (sepuluh) untuk DPRD DIY, 9 (sembilan) kursi untuk DPRD Gunungkidul.


Menurut Gandung Pardiman  lagu lama tahun 1960-an bertajuk “Merantau” yang dilantunkan Titik Sandhora, menginspirasi kader Golkar dalam langkah perjuangan.


“Lagu Merantau membuat kita tidak kenal lelah dalam berjuang. Golkar selalu mencintai wong cilik, teringat suka duka tempo kecil.  Kita tetap ingin berjuang bersama rakyat meningkatkan kesejahteraan,” pungkasnya.

Rabu, 13 Juni 2018

DOA SEORANG POLITISI PADA PEMILU 2019


 Berkaitan dengan Pemilu 2019, kekonyolan terjadi di bumi Handayani. Seorang politisi kategori ketua partai berdoa secara vulgar. Umur setiap orang yang telah ditentukan dalam batas takdir, tetapi diminta untuk diamandemen demi memperebutkan kekuasaan.   


“Panjangkanlah umur kami dan umur seluruh bakal calon anggota legeslatif (bacaleg) partai kami,” pinta politisi paruh baya kepada Allah SWT (14/6).


Dikutib dari sumber yang kebenarannya tidak mungkin terbantah, jatah umur setiap manusia berada di dalam koridor innamaaa amruhuuu izaaa aroooda syai an ay yaquula lahu kun fa yakuun (Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia (Allah) mengendaki sesuatu, Dia hanya berkata Jadilah, maka jadilah sesuatu itu).


Kapan seseroang mati, tidak bisa dimajukan atau dimundurkan. Umur, rizki, juga jodoh telah ditulis sebelum anak manusia lahir ke dunia.


“La apa dia sudah tahu batas seberapa umurnya, kok minta diperpanjang,” tanya politisi senior, Boedi Oetama Prasetya (BOP), terkait doa pendek di atas.

Manakala paham dasar negara, terutama sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut BOP, dia tidak akan berdoa seaneh itu.


Penegakan agama Islam yang dilakukan Nabi akhir zaman, Muhammad SAW, soal ketauhidan (Keesaan Tuhan) menjadi fondamen utama. Itu dilakukan di kota Mekah, sebelum beliau berpindah ke Madinah.


Bung Karno dalam seri tulisan Di Bawah Bendera Revolusi menyebut, sebelum membangun negara, manusia Indonesia harus memperkokoh keyakinan, bahwa segala sesuatu bergantung pada Yang Maha Tunggal.


Kekuasaan tidak perlu di minta. Kekuasaan akan diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki.  Kekusaan untuk kebaikan atau kerusakan adalah bagian dari ujian, seirama dengan jatah usia yang ditetapkan.



Bambang Wahyu Widayadi

Jumat, 01 Juni 2018

DUA JENIS MANUSIA: SATU BERKETUHANAN, YANG LAIN BERKESYETANAN


Tanggal 1 Juni 2017, Presiden Joko Widodo berpidato memperingati hari lahirnya Pancasila. Kala itu, Jokowi menyatakan, Indonesia menjadi rujukan masyarakat  internasional dalam hal membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta berbicara beda, hingga 1 Juni 2018, hal yang disampaikan Jokowi terkoyak radikalisme dan bom bunuh diri.


Kita harus belajar dari pengalaman buruk negara lain. Mereka dihantui  oleh radikalisme dan konflik social.  Mereka dihantui oleh terorisme dan perang saudara,” ujar Jokowi dalam naskah pidato kala itu

Dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal lka, lanjut Jokowi,  kita bisa terhindar dari  masalah-masalah tersebut. Kita bisa hidup  rukun, bergotong royong untuk  memajukan negeri ini.

Dengan Pancasila, lndonesia menjadi rujukan masyarakat internasional dalam membangun kehidupan  yang damai,  adil, dan yang makmur di tengah kemajemukan dunia,” tandas Jokowi.

Pidato Presiden Jokowi gampang jatuh merek, kemudian tidak lebih dari pernyataan basa-basi, karena lain harapan lain pula kenyataan.

Peristiwa tragis terjadi di Mako Brimob Kelapa II. Lima anggota polosi terbunuh oleh 155 tahanan napi teroris. Disusul bom meledak di tiga gereja di Jawa Timur, serentetan bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabya, juga insiden di Polda Riau.

Belakangan, anak ingusan usia 16 tahun pun begitu berani mengumbar sumpah serapah kepada Presiden Jokowi. Ini isyarat bahwa Pancasila dan UUD1945 merosot derajadnya? Tidak.

Pancasila tetap memiliki kekuatan. Selaku sistem, keduanya tak ada yang salah. Yang keliru adalah manusia yang berada di sebalik dua kekuatan tersebut. Lisan megaku berketuhanan, tetapi dalam perilaku lebih condong berkesyetanan.

Pidato 1 Juni 2017 berhasil memuji Pancasila, tetapi gagal membentuk gerakan manusia yang berkdetuhanan.

Produk mansia berketuhnan, sesuai ideologi negra, indikasinya tercermin dalam empat perilaku.

Pertama, manusia mampu bertindak adil sesuai perkembangan peradaban. Kedua, manusia mampu menyatu, tak terbelah seperti air dengan minyak. Ketiga manusia gemar mengutamakan musyawarah mufakat. Keempat, manusia gemar mewujudkan keadilan sosial untuk kemaslahatan bersama.


Bambang Wahyu Widayadi

Jumat, 25 Mei 2018

DUA PASANG PENGANTIN TERBAHAK-BAHAK DI RUANG RESEPSI YANG SAMA


Saya mendatangi undangan resepsi pengantin. Lokasi ada di gedung megah, tengah sawah. Kata teman saya, biar alami, karena jenuh hiruk pikuk kota. Di perut kota, kata dia, terlalu hingar-bingar dan bising.


Manten jaman kini, tidak mau  tamunya tersesat. Pada undangan, di samping disertakan pentunjuk lokasi, ditulis sejumlah rincian teknis seperti: jam berapa harus datang, pakaian bebas tapi rapih, termasuk tidak menerima cendera mata.


Rupanya ini siasat cerdas, bahwa si pengantin tidak mau repot menyiapkan truk tronton gara-gara kado yang menggunung di samping pintu gedung.


Amplop berisi sejumlah uang talikasih adalah pilihan tepat dan barangkali juga pilihan utama. Itung-itung bisa bantu bayar seluruh makanan yang dipesan untuk prasmanan. Agak naif, tetapi fakta banyak yang begitu.


Saya tidak habis pikir, bahasa para penerima tamu  diseragamkan, bahkan disesuaikan dengan perkembangan teknologi canggih.


Saya dihampiri sepasang penerima tamu. Tetap menggunakan gerak santun peradaban, mereka menyodorkan jempol tangan kanan.



“Silakan Bapak mengunggah makanan yang telah tersedia,” kata mereka berbarengan.


Saya kaget karena bahasa yang barusan mereka ucapkan. Buru-buru, seseorang yang sejak masuk pintu gedung berbarengan, berbisik lirih ke saya.


“Mengunggah itu maksudnya menikmati atau mencicipi hidangan,” ujar dia.


Saya tersenyum, makanan kok seperti foto atau video, diunggah.


Tidak mau kalah, karena pengantin yang hari itu berdiri di ruang resepsi dua pasang (kakak beradik), maka ketika berpamitan saya pun menyampaikan pesan terbuka.


“Awas, kalian jangan salah munnggah ya,” saya meminjam mikrofon pembawa acara.


Dan kedua pasang pengantin itu pun gelak ketawa, diikuti riuh ribuan tamu yang hadir.   



Bambang Wahyu Widayadi

Rabu, 23 Mei 2018

ZIARAH KEHANGATAN KAKANG KAWAH ADI ARI-ARI




Benar Presiden Joko Widodo, bangsa Indonesia harus mengembangkan sektor maritim. Pembangunan dermaga besar, yang oleh Cina disebut jalur lada itu bukan hanya memiliki alasan historis, tetapi juga argumentasi filosofis.


Sepanjang hayat manusia Indonesia harus berziarah, mencari untuk menemukan  jati diri serta kedaulatan. Ziarah tidak terbatas pada kegiatan menengok kuburan leluhur. Ziarah adalah melihat sejarah manusia sebelum dia terlahir ke dunia.


Laut ketuban adalah sejarah setiap manusia yang telah terkubur puluhan tahun.  Faktual, belum pernah terdengar cerita, ada  manusia  teringat kemudian menziarahi terminologi Jawa  kakang kawah adi ari-ari.


Tidak pernah terbayangkan, berproses selama 10 bulan 9 hari, seorang bayi berenang di tengah laut ketuban, dengan segala keluarbiasaan (fasilitas) tanpa batas.


Lahir di bumi pertiwi, bayi menangis, karena merasa terputus atau kehilangan fasilitas dermaga bernama rahim (welas asih) yang mejaga dengan kelembutan yang tak terkatakan.


Tangisan bayi pun berhenti manakala sang ibu menawarkan laut yang berbeda bernama air susu. Ini pencerahan dalam bentuk simbol, bahwa ketika bayi dalam kesulitan, Tuhan telah menyiapkan kemudahan.

Bayi terlahir dalam bahasa Kun (jadilah). Ketika berangkat dewasa pun dia merasakan banyak menghadapi tantangan dan kesulitan.

Dengan Kun, Tuhan telah menyediakan matahari, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, tambang minyak, nikel, emas dan masih banyak yang tak terhitung lagi untuk 261 juta mulut mantan bayi yang lahir di Indonesia.

Terlahir di Indonesia, memang penuh kesulitan. Persoalannya, laut kesulitan tersebut tidak pernah dimaknai, bahwa di depan mata telah tersedia jutaan fasilitas kemudahan yang harus diterjemahkan. Menjadi sangat ironik, ketika fasilitas kemudahan itu malah diserahkan ke pihak lain.


Negeri yang bernama Indonesia secara defakto menyediakan gelombang kesulitan sekaligus menyiapkan perahu kemudahan. Suharusnya, begitulahlah cara menterjemahkan pikiran Jokowi.  Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran orang-orang yang mengelilinginya.


Pembangunan tol laut mestinya dimulai dari  batok tempurung masing-masing kepala para pemimpin, bukan dimulai  di Bandar Jakarta.



 Bambang Wahyu Widayadi


Selasa, 22 Mei 2018

TUJUHPULUH TIGA TAHUN, FILOSOFI IBU NEGARA DIPERLEMAH

fatmawati

Istri Presiden disebut juga sebagai Ibu Negara. Peran penting yang dimainkan, terutama di awal menjelang kemerdekaan sangat dominan. Ibu Negara Fatmawati, istri Soekarno, menjahit Sang Saka bisa ditafsirkan sebagai isyarat zaman. Ini sebuah simbol, bahwa Ibu Negara harus melindungi seluruh Anak Negara. Setelah Fatmawati, tangan filosofis itu memudar, melemah, atau bahkan diperlemah. Bendesa Pusaka  jahitan Fatmawati tidak lagi bisa dikibarkan. Yang tegar setiap 17 Agustus, adalah duplikat. Sementara terkait roh filosofi Ibu Negara, tidak pernah diduplikasi.


Dewasa ini (2018), Ibu Negara punya kewajiban melindungi 261 juta Anak Negara. Tugas tersebut merupkan konsekuensi logis dari fitroh perempuan. Fakta biologis, setiap perempuan ditakdirkan melindungi janin selama 9 bulan sepuluh hari.


Begitu generasi mungil lahir ke dunia, seorang ibu, tanpa batas mengemban kewajiban menjaga, sampai dia bisa berfikir dewasa. Karena alasan kesibukan, urusan menjaga bayi diserahkan kepada pihak lain.


Di Indonesia, karena alasan yang tidak pernah bisa dipahami,  Ibu Negara menyerahkan 261 juta Anak Negara kepada agen yang tidak pernah diketahui identitasnya.


Anak Negara yang diterlantarkan oleh Ibu Negara, muncul   resiko tragis dalam berbagai bentuk.   Ada yang terlilit oleh jebakan narkoba dan miras. Ada yang memilih menjadi teroris. Banyak pula yang meniti jalan menuju Suka Miskin karena terbukti menjadi koruptor.


Pengertian Ibu Negara harus diperluas, tidak sebatas hanya istri Presiden. Sebut saja mulai dari istri Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati / Walikota,   Kepala Desa / Lurah, hingga istri anggota DPR, Tentara, Polisi dan yang lain. Pendek kata, setiap perempuan Indonesia adalah Ibu Negara. Mereka memiliki peran sentral menjaga anak negara melalui jejaring perempuan sesuai jalur masing-masing.


Ibu Negara, dalam pengertian yang diperluas seperti di atas  memiliki kekuatan besar dalam menumpas narkoba, melawan teror, menghentikan korupsi. Tiga penyakit masyarakat, bisa ditanggulangi tidak hanya secara parsial (sepotong-sepotong) tetapi secara holistik (menyeluruh).


Kegiatan Ibu Negara, dengan demikian tidak harus mengekor suami. Secara otonom, Ibu Negara boleh merencanakan sekaligus melaksanakan program melindungi seluruh anak negara.     


Ibu Fatmawati telah memulai dengan menjshit Bendera Pusaka. Perempuan Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan buah karya dan pikiran Fatmawati.


Bambang Wahyu Widayadi

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...