Tanggal 1 Juni 2017, Presiden Joko Widodo berpidato memperingati hari lahirnya Pancasila. Kala itu, Jokowi menyatakan, Indonesia menjadi rujukan masyarakat internasional dalam hal membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta berbicara beda, hingga 1 Juni 2018, hal yang disampaikan Jokowi terkoyak radikalisme dan bom bunuh diri.
“Kita harus
belajar dari pengalaman buruk negara lain. Mereka dihantui oleh
radikalisme dan konflik social. Mereka dihantui oleh
terorisme dan perang saudara,” ujar Jokowi dalam naskah pidato kala itu.
Dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam bingkai NKRI dan
Bhinneka Tunggal lka, lanjut Jokowi, kita bisa terhindar dari masalah-masalah
tersebut. Kita bisa hidup rukun, bergotong royong untuk memajukan
negeri ini.
“Dengan
Pancasila, lndonesia menjadi rujukan masyarakat
internasional dalam membangun kehidupan yang
damai,
adil, dan yang
makmur
di tengah kemajemukan dunia,” tandas Jokowi.
Pidato
Presiden Jokowi gampang jatuh merek, kemudian tidak lebih dari pernyataan
basa-basi, karena lain harapan lain pula kenyataan.
Peristiwa
tragis terjadi di Mako Brimob Kelapa II. Lima anggota polosi terbunuh oleh 155
tahanan napi teroris. Disusul bom meledak di tiga gereja di Jawa Timur, serentetan
bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabya, juga insiden di Polda Riau.
Belakangan,
anak ingusan usia 16 tahun pun begitu berani mengumbar sumpah serapah kepada
Presiden Jokowi. Ini isyarat bahwa Pancasila dan UUD1945 merosot derajadnya?
Tidak.
Pancasila
tetap memiliki kekuatan. Selaku sistem, keduanya tak ada yang salah. Yang
keliru adalah manusia yang berada di sebalik dua kekuatan tersebut. Lisan
megaku berketuhanan, tetapi dalam perilaku lebih condong berkesyetanan.
Pidato
1 Juni 2017 berhasil memuji Pancasila, tetapi gagal membentuk gerakan manusia yang
berkdetuhanan.
Produk
mansia berketuhnan, sesuai ideologi negra, indikasinya tercermin dalam empat
perilaku.
Pertama,
manusia mampu bertindak adil sesuai perkembangan peradaban. Kedua, manusia
mampu menyatu, tak terbelah seperti air dengan minyak. Ketiga manusia gemar
mengutamakan musyawarah mufakat. Keempat, manusia gemar mewujudkan keadilan
sosial untuk kemaslahatan bersama.
Bambang
Wahyu Widayadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda