Benar Presiden Joko Widodo, bangsa Indonesia harus mengembangkan sektor maritim. Pembangunan dermaga besar, yang oleh Cina disebut jalur lada itu bukan hanya memiliki alasan historis, tetapi juga argumentasi filosofis.
Sepanjang hayat manusia
Indonesia harus berziarah, mencari untuk menemukan jati diri serta kedaulatan. Ziarah tidak
terbatas pada kegiatan menengok kuburan leluhur. Ziarah adalah melihat sejarah
manusia sebelum dia terlahir ke dunia.
Laut ketuban adalah sejarah
setiap manusia yang telah terkubur puluhan tahun. Faktual, belum pernah terdengar cerita, ada manusia teringat kemudian menziarahi terminologi Jawa kakang kawah adi ari-ari.
Tidak pernah terbayangkan,
berproses selama 10 bulan 9 hari, seorang bayi berenang di tengah laut ketuban,
dengan segala keluarbiasaan (fasilitas) tanpa batas.
Lahir di bumi pertiwi, bayi
menangis, karena merasa terputus atau kehilangan fasilitas dermaga bernama
rahim (welas asih) yang mejaga dengan kelembutan yang tak terkatakan.
Tangisan bayi pun berhenti
manakala sang ibu menawarkan laut yang berbeda bernama air susu. Ini pencerahan
dalam bentuk simbol, bahwa ketika bayi dalam kesulitan, Tuhan telah menyiapkan
kemudahan.
Bayi terlahir dalam bahasa Kun
(jadilah). Ketika berangkat dewasa pun dia merasakan banyak menghadapi
tantangan dan kesulitan.
Dengan Kun, Tuhan telah menyediakan
matahari, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, tambang minyak, nikel, emas dan masih
banyak yang tak terhitung lagi untuk 261 juta mulut mantan bayi yang lahir di
Indonesia.
Terlahir di Indonesia, memang
penuh kesulitan. Persoalannya, laut kesulitan tersebut tidak pernah dimaknai, bahwa
di depan mata telah tersedia jutaan fasilitas kemudahan yang harus
diterjemahkan. Menjadi sangat ironik, ketika fasilitas kemudahan itu malah
diserahkan ke pihak lain.
Negeri yang bernama Indonesia
secara defakto menyediakan gelombang kesulitan sekaligus menyiapkan perahu kemudahan.
Suharusnya, begitulahlah cara menterjemahkan pikiran Jokowi. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran
orang-orang yang mengelilinginya.
Pembangunan tol laut mestinya
dimulai dari batok tempurung masing-masing
kepala para pemimpin, bukan dimulai di Bandar
Jakarta.
Bambang Wahyu Widayadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda