Masuknya kontraktor Cina ke Indonesia bukan berita baru. Sejak tahun pertama periode ke dua kepemimpinan Suslilo Bambang Yudhoyono (SBY), bos dari Negara Tirai Bambu telah bercokol di Morowali, Sulawesi Tengah. Fakta lain menyebutkan, kontraktor dari Brasil berada di Indonesia bahkan sejak tahun 1968. Rebutan lapangan kerja antara pekerja asing dan pekerja lokal bukan peristiwa anyar. Kalau mendadak ada ribut-ribut, itu adalah sengatan politik 2019 belaka.
Kiswan, aktifis mahasiswa Morowali, Sulawesi Tengah
melalui https://kiswan88.wordpres.com/2013/07/16/ memaparkan, delapan tahun silam, perusahaan Cina mulai bercokol di tanah
kelahirannya.
Perseroan Terbatas (PT) Bintang Delapan
Mineral (BDM), demikian Kiswan menulis, merupakan salah satu
perusahaan tambang nikel yang terbesar di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Perusahaan tersebut mengantongi izin usaha pertambangan tahun
2010. Tahun itu adalah masa SBY berkuasa.
PT BDM Group selaku pemegang kuasa pertambangan nikel
menggandeng perusahaan raksasa asal Cina
PT Dingxin Group Cina dengan nilai
investasi 1 Miliar Dolar Amerika Serikat atau sekitar
Rp 8,9 triliun.
Usaha tersebut dalam bentuk Joint venture dengan komposisi
saham,
PT BDM 45% dan PT
Dingxin Group 55% di bawah bendera perusahaan PT Sulawesi Mining Investmen
(SMI).
Oleh karena itu, demikian lanjut
Kiswan,
perusahaan tersebut dikatakan sebagai perusahaan berwatak Jin
Hura-Hura.
Artinya, nama dan mereknya saja yang Indonesa, tetapi
kontrol kapital sepenuhnya berada di tangan kapitalis Cina.
Perusahaan tersebut beroperasi dengan
cara mengirim hasil alam atau memasok nikel
mentah untuk kebutuhan industri Cina.
Tak hanya mengirim bahan mentah ke Cina, PT BDM yang bertempat di Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali telah mengurug garis pantai, merusak hutan bakau seluas 20 hektar dijadikan pelabuhan untuk penampungan biji nikel juga sebagai kawasan perkantoran BDM.
Di desa yang sama, BDM
meraklamasi sebuah pulau kecil yang letaknya persis berada di depan pelabuhan PT BDM tanpa disertai analisis dampak
lingkungan. Pembangunan infrastruktur laut seperti ini oleh An Wan Seng disebut
sebagai pemangunan jalur sutera.
Kontrator Asing yang lain, PT. Vale Indonesia Tbk, dulu bernama PT. International Nickel Indonesia
Tbk. (INCO). Perusahaan ini, dikutip dari https://www.emis.com/php/company-profile/ID/Pt Vale
Indonesia_Tbk_id_1611060.html, beroperasi sebagai produsen
nikel di Indonesia yang diproduksi dalam matte, produk setengah jadi yang
diolah dari bijih laterit dari fasilitas pertambangan dan pengolahan terpadu
dekat Sorowako di Pulau Sulawesi.
INCO juga mengoperasikan
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). INCO tercatat di Bursa Efek Indonesia di
tahun 1990 pada Papan Utama. Perusahaan didirikan di tahun 1968 berkantor
pusat di Jakarta, Indonesia. INCO
beroperasi sebagai anak perusahaan Vale SA, sebuah perusahaan pertambangan yang
berbasis di Rio de Janeiro, Brasil.
Soeharto, dan SBY memulai menambang nikel
menggunakan tangan asing, Joko Widodo melanjutkan. Ketika Jokowi ditimpa abu
hangat, dikrtisi habis-habisan oleh kelompok oposisi, menurut saya, ahistoris.
Artinya, kelmpok oposant terlalu bernafsu merebut kekuasaan dengan
cara mencari kambing hitam, sementara jika sempat meraih kemenangan, suka tidak
suka harus bekerjasama dengan asing.
Amerika dan sekutunya, menyusul Cina, sampai hari ini
adalah kekuatan asing yang sangat menonjol di ranah teknologi tinggi. Mengikuti
jejak mereka identik dengan mengejar laju kereta api. Indosesia bisa mendahului
dengan cara memotong tikungan berbasis
laut dan dan darat, karena Indonesia merupakan negara maritim sekaligus
agraris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda