Berbagai tokoh di semua lapisan mengutuk keras tindakan teror. Kutukan tersebut hanya sebagian dari cara basa-basi kebudayan karena masyarakat telah banyak kehilangan nilai religi yang seharusnya tegak di hati tegak di perilaku.
Banyak terjadi kekerasan tidak
dianggap sebagai teror. Sebut misalnya gadis muda membuang bayi di tempat
sampah. Anak menggorok leher ibu atau ayah kandung. Suami menghabisi istri
karena cemburu buta, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Hal di atas dianggap bukan
teror, karena tidak mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Benar, tetapi
tindakan tersebut merupakan kekerasan dalam prespektif teror personal. Sumber pemicunya bisa saja mirip dengan yang dilakukan
para teroris.
Teror personal akan selesai
(hilang atau berhenti) dengan cara dikutuk secara beramai-ramai? Tentu saja
tidak. Begitu pula teror Mako Brimob di Kelapa Dua, teros di Mapoltabes
Surabaya, teror di Mapolda Riau, juga teror di 3 Gereja di Jawa Timur, tak akan
teratasi dengan cara dikutuk secara bersama-sama.
Kekerasan yang dilakukan oleh
manusia, apa pun bentuk dan jenisnya semua bersumber dari runtuhnya penegakan
jiwa agama di duniya perilaku.
Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan, setiap manusia
Indonesia itu berketuhanan. Di Ayat 2 dinyatakan, setiap manusia Indonesia
bebas memeluk agama sesuai keyakinan.
Lalu, mengapa kekerasan masih
juga merajalela di bumi Nusantara? Jawaban paling mudah, manusia Indonesia
belum mampu menegakkan jiwa agama di dunia nyata.
Meminjam terminologi Islam,
agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu, adalah garis yang memberi rambu tegas, bahwa berbeda agama
tidak penting. Yang utama, seluruh manusia harus berbuat kebaikan demi
keselamatan dunia.
Menyelamatkan dunia dengan
cara membunuh jelas paradok dengan jiwa agama. Para Kyai, Pastur, Pendeta,
Biksu dan yang lain tidak cukup mebuat kesepakatan dan rapat-rapat formal untuk
memerangi kekerasan. Mereka harus memimpin umat masing-masing untuk meningatkan
kualitas ketauhidan sesuai agama yang diyakini.
Selama penegakan jiwa agama di
dunia nyata lemah, selama itu pula
kekerasan di muka bumi terus berlajut. Berharap terorisme lenyap dengan
tindakan represif pasti menelan ongkos mahal. Itu mendingan, karena tidak masuk
akal manakala terorisme diharapkan hilang dari bumi pertiwi dengan cara
mengeluarkan kutukan keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda