Sabtu, 19 Mei 2018

TINDAKAN KEKERASAN TIDAK AKAN BERHENTI DENGAN CARA DIKUTUK


Berbagai tokoh di semua lapisan mengutuk keras tindakan teror. Kutukan tersebut hanya sebagian dari cara basa-basi kebudayan karena masyarakat telah banyak kehilangan nilai religi yang seharusnya tegak di hati tegak di perilaku.


Banyak terjadi kekerasan tidak dianggap sebagai teror. Sebut misalnya gadis muda membuang bayi di tempat sampah.  Anak  menggorok leher ibu  atau ayah kandung. Suami menghabisi istri karena cemburu buta, dan masih banyak lagi yang lainnya.


Hal di atas dianggap bukan teror, karena tidak mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Benar, tetapi tindakan tersebut merupakan kekerasan dalam prespektif teror personal.  Sumber pemicunya bisa saja mirip dengan yang dilakukan para teroris.


Teror personal akan selesai (hilang atau berhenti) dengan cara dikutuk secara beramai-ramai? Tentu saja tidak. Begitu pula teror Mako Brimob di Kelapa Dua, teros di Mapoltabes Surabaya, teror di Mapolda Riau, juga teror di 3 Gereja di Jawa Timur, tak akan teratasi dengan cara dikutuk secara bersama-sama.


Kekerasan yang dilakukan oleh manusia, apa pun bentuk dan jenisnya semua bersumber dari runtuhnya penegakan jiwa agama di duniya perilaku.


Pasal 29 Ayat 1   UUD 1945 menyatakan, setiap manusia Indonesia itu berketuhanan. Di Ayat 2 dinyatakan, setiap manusia Indonesia bebas memeluk agama sesuai keyakinan.

Lalu, mengapa kekerasan masih juga merajalela di bumi Nusantara? Jawaban paling mudah, manusia Indonesia belum mampu menegakkan jiwa agama di dunia nyata.


Meminjam terminologi Islam, agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu, adalah garis  yang memberi rambu tegas, bahwa berbeda agama tidak penting. Yang utama, seluruh manusia harus berbuat kebaikan demi keselamatan dunia.


Menyelamatkan dunia dengan cara membunuh jelas paradok dengan jiwa agama. Para Kyai, Pastur, Pendeta, Biksu dan yang lain tidak cukup mebuat kesepakatan dan rapat-rapat formal untuk memerangi kekerasan. Mereka harus memimpin umat masing-masing untuk meningatkan kualitas ketauhidan sesuai agama yang diyakini.


Selama penegakan jiwa agama di dunia nyata lemah, selama itu pula  kekerasan di muka bumi terus berlajut. Berharap terorisme lenyap dengan tindakan represif pasti menelan ongkos mahal. Itu mendingan, karena tidak masuk akal manakala terorisme diharapkan hilang dari bumi pertiwi dengan cara mengeluarkan kutukan keras.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...