Orang Indonesia, terutama suku Jawa banyak menggunakan kata secara salah, tetapi dianggap lumrah (biasa).
Salah kaprah namun mlampah (jalan), kata ustad Kyai Supandi, da'i asal kota Semarang di berbagai ceramahnya.
Dia menunjuk satu sampel: nggodhok wedang, padahal yang benar adalah merebus air untuk bikin wedang.
Begitu pula kata takjil yang asal usulnya dari bahasa Arab, di Indonesia dimaknai sebagai berbagai jenis panganan untuk berbuka puasa.
Dihimpun dari berbagai sumber
takjil dalam
bahasa Arab, artinya mempercepat atau menyegerakan.
Dalam hal ini takjil tidak ada kaitannya sama sekali dengan jenis panganan untuk berbuka puasa.
Takjil (تعجيل) maknanya bersegera atau menyegerakan.
Hadist Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, “La yazalunnasu bikhairin ma‘ajjaluuhul fithra".
Maknanya: manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka (puasa).
(HR. Muttafaq 'alaih).
Dijelaskan secara jelas bahwa takjil menurut bahasa Arab adalah
penyegeraan, percepatan.
Takjil kata dasarnya ajjala : yu’ajjilu yang artinya menyegerakan, mempercepat.
Ta’jilul fitri makanya sama dengan menyegerakan dalam berbuka puasa.
Terlihat bahwa dalam hal ini makna takjil tidak ada hubungannya sama sekali dengan panganan.
Takjil dengan jelas ditulis sebagai mempercepat berbuka puasa, saat tiba waktunya.
Orang Arab bertakjil dengan kurma, arti yang benar, adalah orang Arab menyegerakan berbuka puasa dengan makan kurma.
Maknanya bukan orang Arab makanan buka puasanya adalah kurma. Bangsa Indonesia, terlanjur mengartikan secara salah kaprah, keliru tetapi berjalan terus.
Terlalu sulit untuk dikembalikan ke makna awal, seperti halnya istilah menek klopo, bahwa yang benar adalah menek glugu ngunduh klopo.
(Bambang Wahyu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda