Minggu, 15 April 2018

NKRI BUKAN NEGARA ISLAM, TETAPI BISA ISLAMI BANGET



WONOSARI, Manusia  moderen makin tidak menyadari bahwa dirinya  bagian dari bumi yang menurut Gus Mus, besarnya hanya sebiji kacang hijau. Posisi menghamba tak pernah ditingkatkan, hanya sebatas ritual rutin. Peran wakil, sebagai penjaga kacang hijau, tidak pernah ditunaikan dengan seksama. 

Tamsil bumi sebagai kacang hijau sebagaimana dilontarkan Gus Mus, malah digadaikan ke Amerika, ke Cina, dengan alasan demi kesejahteraan rakyat. Menyaksikan hal ini Bung Karno menitikkar air mata.


“Kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak akan pernah ada, ketika pemimpin tidak paham terhadap dua peran yang harus dimainkan di bumi pertiwi,” kata Bungkarno mengusap pipi yang mulai membasah.


Melindungi tanah tumpah darah bermakna mengelola   Kacang Hijau untuk keperluan seluruh manusia (penduduk) secara adil dan beradab.


“Syarat terciptanya kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia harus berketuhanan,” tandas Bung Karno sembari melepas peci dan menggaruk-garuk kepala yang makin botak karena memikirkan Indonesia.


Saya jadi ingat ucapan Profesor Supomo, landasan idiil NKRI bersisaf hierarkhis pyramidal. Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa berketuhanan, manusa tidak akan beradab.


Saya mulai berfikir,  batang tubuh dan preambul layaknya tumbu oleh tutup. Pasal 29 Ayat 2 merupakan sebuah penataan peradaban manusia yang mengerucut, bahwa tidak pada tempatnya orang Indonesia bercita-cita mendirikan Negara Islam.


Pembrontakan Karto Suwiryo,  merupakan sejarah perjuangan yang keblinger. Indonesia tidak butuh menjadi Negara Islam. Berani berpegang teguh pada landasan idiil dan konstitusionil, Indonesia bisa menjadi  negara yang Islami.


Orang-orang pada tidak menyadari, bahwa Indonesia itu bisa sangat Islami dibanding negara-negara Islam. Formatnya jelas telah disebut di dalam Pasal 29 Ayat 2.


Pasal dan ayat tersebut merupakan  impemlentasi dari nafas Islam, bahwa agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu.


Inilah peradaban toleransasi dalam prespektif kemanusiaan yang adil dan beradab.


Saya tercenung, karena kata toleran makin lantang  diucapkan, juga makin banyak dijual di stasiun-stasiun televisi, tetapi jarang dilakukan oleh banyak orang.


Kutitipkan negeri ini kepadamu, kata Bung Karno suatu ketika. Sementara para tokoh  setelah beliau, tidak merasa kalau hanya menerima titipan. Di antara mereka, dewasa ini malah berebut barang titipan.


Bambang Wahyu Widayadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...