WONOSARI, Manusia
moderen makin tidak menyadari bahwa dirinya bagian dari bumi yang menurut Gus Mus,
besarnya hanya sebiji kacang hijau. Posisi menghamba tak pernah ditingkatkan,
hanya sebatas ritual rutin. Peran wakil, sebagai penjaga kacang hijau, tidak
pernah ditunaikan dengan seksama.
Tamsil bumi sebagai kacang hijau sebagaimana
dilontarkan Gus Mus, malah digadaikan ke Amerika, ke Cina, dengan alasan demi
kesejahteraan rakyat. Menyaksikan hal ini Bung Karno menitikkar air mata.
“Kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak akan pernah
ada, ketika pemimpin tidak paham terhadap dua peran yang harus dimainkan di
bumi pertiwi,” kata Bungkarno mengusap pipi yang mulai membasah.
Melindungi tanah tumpah darah bermakna mengelola Kacang Hijau untuk keperluan seluruh manusia
(penduduk) secara adil dan beradab.
“Syarat terciptanya kemanusiaan yang adil dan beradab,
manusia harus berketuhanan,” tandas Bung Karno sembari melepas peci dan
menggaruk-garuk kepala yang makin botak karena memikirkan Indonesia.
Saya jadi ingat ucapan Profesor Supomo, landasan idiil
NKRI bersisaf hierarkhis pyramidal. Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa berketuhanan, manusa tidak akan
beradab.
Saya mulai berfikir, batang tubuh dan preambul layaknya tumbu oleh tutup. Pasal 29 Ayat 2 merupakan sebuah penataan peradaban manusia yang
mengerucut, bahwa tidak pada tempatnya orang Indonesia bercita-cita mendirikan
Negara Islam.
Pembrontakan Karto Suwiryo, merupakan sejarah perjuangan yang keblinger.
Indonesia tidak butuh menjadi Negara Islam. Berani berpegang teguh pada
landasan idiil dan konstitusionil, Indonesia bisa menjadi negara yang Islami.
Orang-orang pada tidak menyadari, bahwa Indonesia itu bisa
sangat Islami dibanding negara-negara Islam. Formatnya jelas telah disebut di
dalam Pasal 29 Ayat 2.
Pasal dan ayat tersebut merupakan impemlentasi dari nafas Islam, bahwa agamaku
adalah agamaku, agamamu adalah agamamu.
Inilah peradaban toleransasi dalam prespektif
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Saya tercenung, karena kata toleran makin lantang diucapkan, juga makin banyak dijual di
stasiun-stasiun televisi, tetapi jarang dilakukan oleh banyak orang.
Kutitipkan negeri ini kepadamu, kata Bung Karno suatu
ketika. Sementara para tokoh setelah
beliau, tidak merasa kalau hanya menerima titipan. Di antara mereka, dewasa ini
malah berebut barang titipan.
Bambang Wahyu Widayadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda