Minggu, 08 April 2018

KONSEP RASULAN PERLU DITARIK KE RANAH SEDEKAH



GUNUNGKIDUL, Pekan terakhir Maret 2018, upacara Rasulan di Gunungkidul mulai dilaksanakan. Kegiatan yang erat dengan dunia pertanian itu dilakukan rutin tiap tahun, namun nyaris tanapa roh.  Pemberian makna Rasulan berhenti pada rasa syukur, tanpa ijtihad lebih dalam ke implimentasi nyata atas rasa yang dimaksud.
 

Tendensi utama Rasulan, mengucap syukur disertai harapan panen tahun depan bisa lebih melimpah. Dalam hal ini Rasulan dipisahkan dengan konsep Jawa Weweh (memberi / berbagi) yang dalam terminologi lain disebut sedekah.


Ucapan Syukur itu hanya kulit karena meluncur sepontan dari bibir, sementara Weweh adalah gerakan menolong orang lain, karena lahir dari lubuk hati paling dalam.


Rangkaian Rasulan dengan berbagai pertunjukan tidak akan menolong siapapun. Berbeda dengan Weweh yang dilandasi ijtihad. Sedekah di luar kenduri akan lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.


Kenduri tidak perlu dilaksanakan secara mewah dan besar-besaran dengan cara membawa seluruh makanan ke Balai Desa. Kenduri ala kadarnya dicoba dilakukan di Desa Kepek, Kecamatan Wonosari.


Kades Desa Kepek, Bambang Setyawan  memilih miniatur kenduri. Dana Rasulan yang ada di tangan masyarakat didorong ke arah sedekah dalam bentuk memugar rumah reot, memugar WC cemplung, memperbaharui fasilitas umum yang menyangkut keperluan masyarakat.


Di sinilah gagasan Bambang Setiyawan ketemu dengan konsep Bersih Desa yang semakna dengan Rasulan.


Pemerintah Desa punya peran besar untuk mengarahkan agar Rasulan tidak menyimpang jauh dari sedekah dan bersih desa. Konsep sedekah sebagai roh rasa syukur berpotensi untuk mengentaskan warga miskin secara swadaya. Hal seperti ini harus segera  dimulai dari momentum Rasulan.



Bambang Wahyu Widayadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...