Tokoh politik bebas mendekati perangkat desa. foto-bewe |
WONOSARI, - Perangkat Desa dilarang menjadi pengurus partai politik. Regulasi seperti itu tidak melemahkan parpol, tetapi justru mempertajam penglihatan dalam melakukan pendekatan ke jajaran perangkat desa. Alasannya, pada 17 April 2019, secara personal perangkat desa bebas menentukan pilihan.
Tidak perlu cerdas, tetapi
sekedar jeli menangkap peluang. Sebagian aktor politik yang ingin bertarung
pada pileg 2019, sudah ada yang mengambil teknik gerilya model cerita Kancil
berpacu dengan Keong di tepi parit.
Dari 14 parpol peserta pemilu 2019, Sebagian politisi Golkar
memposisikan diri sebagai Keong yang berbaris di sepanjang 144 parit (desa), di
Gunungkidul.
Parpol lain, apa lagi parpol baru, dalam hal ini kalah start. Mereka
mirip Kancil yang sombong menantang Keong. Mereka tidak menyadari, bahwa perangkat desa, secara
individual mulai diajak pacak paris.
Pada masa kejayaan Golkar di bawah Orde Baru, perangkat desa secara
terang-terangan mendukung penuh Partai Kuning. Masih lamat-lamat terdengar,
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di bawah Suryadi meneriakan yel-yel keras.
“Aja manut Lurahe, aja nggugu dukuhe,” demikian cara PDI Suryadi melawan
Golkar kala itu.
Harus diakui, Golkar adalah Partai Gaek, yang cukup berpengalaman. Meski
Undang-Undang belum membolehkan untuk berkampanye, aktor-akor intelektual yang
berniat maju ke Pileg 2019 melakukan pertemuan terbatas di berbagai parit di
Gunungkidul.
Ada informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya, tokoh partai lain
di luar Golkar pun melakukan kegiatan yang sama.
Kalau informasi tersebut benar, itu meneguhkan dugaan, bahwa Pemilu
2019, akan dimenangkan oleh parpol yang bergerilya ala Kancil dan Keong.
Bambang Wahyu Widayadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda