Rabu, 25 April 2018

INDONESIA DALAM OPLOSAN PERADABAN SEKULER



Beberapa tokoh bangsa berpendapat, politik tidak boleh dicampur dengan agama. Diberlakukan juga hal yang sama, bahwa agama tidak boleh dibawa-bawa ke ranah politik. Doktrin seperti ini keluar dari mulut dan pikiran orang yang mabuk karena minum oplosan  peradaban sekuler. Mereka tidak sadar, bahwa memisahkan jiwa agama dengan politik (atau apapun) adalah tindakan yang sangat berbahaya.


Di Indonesia, paham memisahkan kehidupan beragama dengan realitas politik (sekulerisme) tumbuh demikian subur. Dalam pidato di depan publik, salah seorang  tokoh yang sangat berpengaruh di Gunungkidul berbicara tanpa tedeng aling-aling.


“Politik itu urusan dunia, sementara agama adalah urusan akherat,” ujar sang tokoh di luar kesadaran secara berapi-api.


Terkait dengan ucapan di atas, ada dua kalimat yang patut dicermati: Pertama,  dalam berpolitik, bisakah orang tidak beragama. Jawabannya, bisa, bahkan sangat bisa.


Kedua, dalam berpolitik, bolehkah orang itu meninggalkan agama. Jawabannya sangat jelas, bahwa tidak boleh. Alasannya?


Politik tanpa agama merupakan kesadaran  terendah, lantaran  bertentangan dengan Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.


Merunut sejarah, para pendiri bangsa teguh menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa  pada posisi teratas (pertama) pada alinea ke 4 Preambul UUD 1945, kemudian merumuskan secara nyata di Pasal 29 Ayat 1 dan 2, bukan tanpa alasan.


Meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa di urutan teratas merupakan kesadaran tertinggi manusia Indonesia pada jamannya.


Doktrin memisahkan agama dengan politik, itu pelecehan terhadap UUD 1945. Eloknya, ketika berpidato tokoh tersebut malah  diaplous habis-habisan.


Saya tidak yakin, bahwa segala kegiatan manusia bisa dipisahkan dari rasa Ketuhanan (agma). Mana ada manusia bisa berfikir tanpa Roh (sukma). Segala sesuatu yang ada di jagat raya ini dalam posisi selalu bergantung kepadaNYA.


Maling ayam contoh sederhna, pun bergantung kepadaNYA. Terbukti, dia tetap memperoleh colongan, meski tindakan itu keliru. Keberhasilan si maling ayam karena diijinkan olehNYA.


Setya Novanto divonis 15 tahun penjara itu tidak lepas dari nasib yang sudah digantung. Artinya, takdir Novanto telah ditulis jauh sebelum dia melakukan korupsi E-KTP.


Untuk membenahi carut marut NKRI, para pemimpin dan para calon pemimpin, harus kembali ke rumah besar bernama UUD 1945. Dekrit 5 Juli 1959, rupanya penting menjadi pertanda, untuk kembali ke Preambul dan Batang Tubuh.

Tidak perlu diartikan, bahwa kembali ke UUD 1945 adalah kembali ke sebelum perubahan. Itu pandangan yang keliru, karena sejarah terus berjalan. Amandemen UUD 1945 adalah bagian dari nasib yang telah ditulis jauh sebelum Indonesia merdeka.

Prembul dan Batang Tubuh UUD 1945 mengajarkan kepada bangsa (pemimpin) untuk menegakkan jiwa agama di setiap langkah kebijakan, demi kesejahteraan dan keadilan bersama.



Bambang Wahyu Widayadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...