Beberapa tokoh bangsa berpendapat, politik tidak boleh dicampur dengan agama. Diberlakukan juga hal yang sama, bahwa agama tidak boleh dibawa-bawa ke ranah politik. Doktrin seperti ini keluar dari mulut dan pikiran orang yang mabuk karena minum oplosan peradaban sekuler. Mereka tidak sadar, bahwa memisahkan jiwa agama dengan politik (atau apapun) adalah tindakan yang sangat berbahaya.
Di Indonesia, paham memisahkan kehidupan beragama
dengan realitas politik (sekulerisme) tumbuh demikian subur. Dalam pidato di
depan publik, salah seorang tokoh yang
sangat berpengaruh di Gunungkidul berbicara tanpa tedeng aling-aling.
“Politik itu urusan dunia, sementara agama adalah
urusan akherat,” ujar sang tokoh di luar kesadaran secara berapi-api.
Terkait dengan ucapan di atas, ada dua kalimat yang
patut dicermati: Pertama, dalam
berpolitik, bisakah orang tidak beragama. Jawabannya, bisa, bahkan sangat bisa.
Kedua, dalam berpolitik, bolehkah orang itu
meninggalkan agama. Jawabannya sangat jelas, bahwa tidak boleh. Alasannya?
Politik tanpa agama merupakan kesadaran terendah, lantaran bertentangan dengan Pembukaan dan Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
Merunut sejarah, para pendiri bangsa teguh menempatkan
Ketuhanan Yang Maha Esa pada posisi
teratas (pertama) pada alinea ke 4 Preambul UUD 1945, kemudian merumuskan
secara nyata di Pasal 29 Ayat 1 dan 2, bukan tanpa alasan.
Meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, penempatan Ketuhanan
Yang Maha Esa di urutan teratas merupakan kesadaran tertinggi manusia Indonesia
pada jamannya.
Doktrin memisahkan agama dengan politik, itu pelecehan
terhadap UUD 1945. Eloknya, ketika berpidato tokoh tersebut malah diaplous habis-habisan.
Saya tidak yakin, bahwa segala kegiatan manusia bisa
dipisahkan dari rasa Ketuhanan (agma). Mana ada manusia bisa berfikir tanpa Roh
(sukma). Segala sesuatu yang ada di jagat raya ini dalam posisi selalu
bergantung kepadaNYA.
Maling ayam contoh sederhna, pun bergantung kepadaNYA.
Terbukti, dia tetap memperoleh colongan, meski tindakan itu keliru.
Keberhasilan si maling ayam karena diijinkan olehNYA.
Setya Novanto divonis 15 tahun penjara itu tidak lepas
dari nasib yang sudah digantung. Artinya, takdir Novanto telah ditulis jauh
sebelum dia melakukan korupsi E-KTP.
Untuk membenahi carut marut NKRI, para pemimpin dan
para calon pemimpin, harus kembali ke rumah besar bernama UUD 1945. Dekrit 5
Juli 1959, rupanya penting menjadi pertanda, untuk kembali ke Preambul dan
Batang Tubuh.
Tidak perlu diartikan, bahwa kembali ke UUD 1945 adalah
kembali ke sebelum perubahan. Itu pandangan yang keliru, karena sejarah terus
berjalan. Amandemen UUD 1945 adalah bagian dari nasib yang telah ditulis jauh
sebelum Indonesia merdeka.
Prembul dan Batang Tubuh UUD 1945 mengajarkan kepada
bangsa (pemimpin) untuk menegakkan jiwa agama di setiap langkah kebijakan, demi
kesejahteraan dan keadilan bersama.
Bambang Wahyu Widayadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda