WONOSARI, Tahun 2018, para kandidat pengelola negara
berkumpumpul di dalam 14 partai politik. Calon Presiden, calon Wakil Presiden, calon
DPR RI, DPRD I dan DPRD II, digadang mampu memandu rakyat dengan hikmat dan
bijaksana dalam permusyawaratan / perwakilan. Harapan tersebut rupanya masih sulit
terwujud. Tanda-tandanya, pesta demokrasi 2019 menghindari filosofi NKRI.
Pemilu serentak 2019 merupakan salah satu usaha manusia
Indonesia dalam melindungi tanah tumpah darah. Pesta demokrasi serentak, akan menghasilkan
pemimpin yang berpihak ke segenap rakyat, dengan catatan proses tersebut memenuhi tiga hal.
Pertama, kontestasi dilakukan sesuai tugas pokok manusia, baik
sebagai hamba maupun sebagai utusan. Kedua, pertarungan dilakukan secara
beradab. Ketiga, kompetisi dilandasi
jiwa besar dalam semangat persatuan.
Tiga syarat di atas tidak boleh ditawar-tawar. Tanpa
ketiganya, Pemilu 2019 tidak lebih dari ajang pertarungan syahwat kekuasaan.
Rakyat Indonesia yang berjumlah 261 juta
jiwa tidak akan memperoleh manfaat apa pun.
Pemilu yang menghindari filosofi utusan, keberadaban,
serta solidaritas atau persatuan terkait dengan pesan bahwa Pemerintah
Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia demi memajukan
kesejahteraan umum, belum akan terwujud secara nyata.
Gemuruh percakapan pra Pemilu 2019 tidak hanya memekakkan
telinga, tetapi juga menandakan bahwa konflik horisontal bakal seru dan
mengkhawatirkan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai hasil
Pemilu 2019, masih merupakan teka-teki besar.
Menengok Pemilu 2014 dan sebelumnya, masih menunjukkan
adanya dominasi syahwat kekuasaan. Indikator nyata, ratusan pejabat kesandung
ing rata, kebentus ing tawang. Belakangan ini, 18 dan 38 anggota DPRD dicokok KPK karena
persoalan suap dan kurupsi.
Bambang Wahtu Widayadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda