Tradisi komunikasi politik di Indonesia tidak banyak berubah. Sejak era KH. Agus Salim hingga sekarang, pola saling menyakiti masih kental terpelihara. Pola komunikasi saling menggembirakan atau menyenangkan jarang dilakukan. Pola komunikasi gunting dan rambut langka terjadi.
Diriwayatkan, bahwa KH. Agus
Salim, tokoh Saerekat Islam berjanggut
panjang (berjangut kambing) naik podium, dalam sebuah pertemuan terbuka.
Kaum pergerakan seperti
Syahrir dan kawan-kawan yang berseberangan dengannya kompak memperdengarkan
suara kambing dengan maksud mengolok-olok.
Syahrir
menceriterakan, sekelompok besar pemuda, bersama-sama mendatangi rapat, tempat
Pak Salim akan berpidato, dengan maksud mengacaukan pertemuan.
“Setiap
kalimat yang diucapkan pak haji kami sambut dengan mengembik yang dilakukan
bersama-sama,” tutur Syahrir kala itu.
Setelah
ketiga kalinya pemuda menyahut, lanjut Syahrir, maka Pak Salim mengangkat
tangannya.
“Tunggu
sebentar. Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa
kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato
saya. Hanya sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga
mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan agar untuk
sementara mereka sekedar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini yang
ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan
saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam
agama Islam kambing pun ada amanatnya, dan saya menguasai banyak bahasa,”
seperti dikutip http://www.panjimas.com/inspirasi/2015/09/14/jenggot-bikin-goblok-haji-agus-salim-berjenggot-kuasai-banyak-bahasa/
Pidato selanjutnya senyap, tak
satu pun suara kambing diperdengarkan ulang, karena para pengembik menyadari
kekeliruannya.
Peristiwa di atas merupakan contoh
riil komunikasi politik yang dalam idiomatika Jawa disebut ngethok driji landhesan dhengkul,
(semua serba menyakitkan).
Pada era Presiden Joko Widodo,
bahkan lebih fulgar, mulai dari sertifikat ngibul, Indonesia Bubar, sampai
dengan Partai Alloh dan Partai Syetan.
Celakanya Kepala Negara tidak
selihai KH Agus Salim. Balasan yang disampaikan malah lebih dari fulgar.
Jokowi, tidak mampu mengambil pelajaran dari komunikasi Gunting dan Rambut.
Gunting yang tajamnya pitung
penyukur, mampu memotong rambut menjadi rapih, tanpa menimbulkan luka, apalagi
rasa sakit. Jokowi, tidak punya
kelebihan seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda