Sabtu, 21 April 2018

PERINGATAN HARI KARTINI HARUS BERBANDING LURUS DENGAN PERADABAN



Terkait peringatan Hari Kartini, bangsa Inonesia terperangkap dalam sejarah peradaban manusia yang sengaja diciptakan pemerintah kolonial Belanda. Kaum perempuan, sesuai kemauan penjajah, diletakkan dalam posisi tidak setara dengan laki-laki. Kegetiran seperti itu dialami Raden Ajeng Kartini  139 tahun silam. Sekarang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melalui Undang-Undang Dasar 1945, memposisikan laki perempuan dalam kesetaraan.


Lelaki dan perempuan, secara kodrati memang berbeda, tetapi secara hak azasi sama. RA Kartini memberontak, karena peradaban manusia pada zamannya memang memaksa Pahlawan Nasional yang lahir di Jepar 21 April 1879 itu harus berbuat demikian.


Manusia Indonesia yang dimerdekakan sejak 17 Agustus 1945, sangat berbeda dengan zaman penindasan abad XVIII yang dialami RA Kartini.


Peringatan Hari Kartini yang dilakukan setiap 21 April, seharusnya tidak sebatas pada pesta kebaya dan lomba masak bagi kaum laki-laki. Itu semua merupakan kesetaraan vulgar dan semu.


Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28C Ayat 1 dan 2 merupakan rujukan sekaligus ukuran seberapa jauh kemajuan peradaban manusia tanpa melihat perbedaan fisik laki perempuan.


Lomba berkebaya, memasak, merangkai bunga, mewarnai gambar, pidato, membaca pusi, makan kerupuk yang digantung, boleh-boleh saja dilakukan, tetapi outputnya harus relevan dengan zaman, selaras dengan landasan konstitusionil.


Orientasi zaman, sesuai UUD 1945 sekurang-kurangnya mengarah pada dua hal:


Pertama, bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, (Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945)


Menyebut contoh, dalam hubungannya dengan peringatan Hari Kartini, lembaga Negara di seluruh level, wajib mendorong putra-putri bangsa untuk berkarya di bidang tertentu, dalam bentuk lomba.


Kedua, bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, (Pasal 28C  Ayat 2).

  
Mengingat-ingat perjuangan RA Kartini tetap relevan dan penting. Tetapi sebagai anak zaman, berkarya lebih penting ketimbang merenung dalam romantisme sejarah perjuangan. Saatnya perngatan Hari Kartini diisi dengan gerakan dan pikiran yang terukur sesuai amanat UUD 1945.



Bambang Wahyu Widayadi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...