Terkait peringatan Hari Kartini, bangsa Inonesia terperangkap dalam sejarah peradaban manusia yang sengaja diciptakan pemerintah kolonial Belanda. Kaum perempuan, sesuai kemauan penjajah, diletakkan dalam posisi tidak setara dengan laki-laki. Kegetiran seperti itu dialami Raden Ajeng Kartini 139 tahun silam. Sekarang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melalui Undang-Undang Dasar 1945, memposisikan laki perempuan dalam kesetaraan.
Lelaki dan perempuan, secara
kodrati memang berbeda, tetapi secara hak azasi sama. RA Kartini memberontak,
karena peradaban manusia pada zamannya memang memaksa Pahlawan Nasional yang
lahir di Jepar 21 April 1879 itu harus berbuat demikian.
Manusia Indonesia yang dimerdekakan
sejak 17 Agustus 1945, sangat berbeda dengan zaman penindasan abad XVIII yang dialami
RA Kartini.
Peringatan Hari Kartini yang dilakukan
setiap 21 April, seharusnya tidak sebatas pada pesta kebaya dan lomba masak
bagi kaum laki-laki. Itu semua merupakan kesetaraan vulgar dan semu.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Pasal 28C Ayat 1 dan 2 merupakan rujukan sekaligus ukuran seberapa jauh kemajuan
peradaban manusia tanpa melihat perbedaan fisik laki perempuan.
Lomba berkebaya, memasak, merangkai
bunga, mewarnai gambar, pidato, membaca pusi, makan kerupuk yang digantung,
boleh-boleh saja dilakukan, tetapi outputnya harus relevan dengan zaman, selaras
dengan landasan konstitusionil.
Orientasi zaman, sesuai UUD 1945
sekurang-kurangnya mengarah pada dua hal:
Pertama, bahwa setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, (Pasal 28C
Ayat 1 UUD 1945)
Menyebut contoh, dalam
hubungannya dengan peringatan Hari Kartini, lembaga Negara di seluruh level,
wajib mendorong putra-putri bangsa untuk berkarya di bidang tertentu, dalam
bentuk lomba.
Kedua, bahwa setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya, (Pasal 28C Ayat 2).
Mengingat-ingat perjuangan RA
Kartini tetap relevan dan penting. Tetapi sebagai anak zaman, berkarya lebih
penting ketimbang merenung dalam romantisme sejarah perjuangan. Saatnya
perngatan Hari Kartini diisi dengan gerakan dan pikiran yang terukur sesuai
amanat UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda