Jumat, 27 Mei 2016

Revolusi Mental Bukan Revolusi Terong


suntik berkala, supaya gak ganas.detik

Saya menemukan dua peristiwa besar. Pertama, Uni Soviet rontok gagal mempertahankan paham komunis. Kedua, Indonesia gagal membangun moral. Kegagalan besar negeri ini menimbulkan kekacauan, sehingga lahirlah bayi merah bernama Perppu No. 1  2016.
 
Revolusi mental dengan revolusi terong itu jauh berbeda. Terong, sebutan lain dari piranti kelamin lelaki (penis), memiliki daya rusak ‘destroyed’ yang luar biasa. Tetapi jangan salah sangka, bahwa vagina yang dalam khasanah jawa disebut perji, juga mimiliki tingkat keganasan yang tak kalah hebat.
Umur anomali piranti yang takdirnya untuk mengembangkan keturunan itu ribuan bahkan jutaan tahun. Libido yang rohnya menyatu dalam koridor ‘lauwamah’ bukan hanya monopoli laki-laki. Terjadi dalam sejarah, perempuan bisa menjadi penantang utama.
Nabi Yusuf, harus meringkuk di dalam jeruji besi, gara-gara Zulaiha melakukan agresi sepihak. Baju Nabi Yusuf sobek  bagian belakang adalah fakta, betapa kuatnya akhlak putra Nabi Yaqub alaihissalam. Meski Raja Mesir mengakui, bahwa Zulaiha istrinya bersalah, untuk menutup rasa malu Nabi Yusuf harus dikorbankan, nginap di hotel prodeo berbulan-bulan.
Maraknya perkosaan di negri ini, menyebabkan kaum laki-laki mendapat label predator sex, walau ini bukan istilah yang tepat. Lho apa pemberian julukan itu tidak berbau diskriminatatif, sebab, contoh sejarah cukup jelas. Kalau mau jujur, kebobrokan moral itu telah melanda tidak kenal batas gender.
Siswi SMP/SMA, hamil 3 bulan dibuntingi teman sekelas, sementara dia berada di kelas 9/kelas 12, yang secara akademik sedang menghadapi ujian. Ini kekerasan sexsual, atau kelembutan sexsual. Pertanyaan tambahan, siapa yang mau dianggap sebagi predator sex, siswi atau siswa?
Perpu No. 1 Tahun 2016, tidak secara cerdas mengakomodir kecenderungan hamil saat anak masih dalam proses belajar. Pemerintah mau mengkebiri pelaku pemerkosaan, atau bahkan memotong burungnya sekalian, itu bodo amat. Lha kalu yang memaksa itu perempuan, seperti kasus Zulaiha, hukum tambahannya apa, pemerintah mau menciptakan mesin obras? Ha ha ha……….
Subtansi persoalan yang membahayakan bukan hanya pada kekerasan sexsual. Kelembutan sexsual seperti dipertontonkan siswa yang hamil di sekolah pun menjadi pemicu dekadensi moral.
Kilas balik ke tahun 1960-an, di negeri ini ada tokoh namyanya Yusuf Muda Dalam yang dihukum mati karena 4 pelanggaran berat, salah satu di antranya melakukan penyimpangan perkawinan yang dilarang undang-undang. Konon, tokoh ini punya bini hingga 12 orang.
Dekadensi moral  adalah kecenderungan lintas zaman. Kalau belakangan ini ada kejahatan sexsual, sebagaimana variasinya diilustrasikan, pelakunya siswa sekolah, hukum kebiri musti diberlakukan tidak pilih-pilih bulu, dikenakan untuk laki dan perempuan. Tujuannya jelas, supaya revolusi mental tidak berubah menjadi revolusi terong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...