Minggu, 29 Desember 2013

PEMILU PINTU MASUK PARA KORUPTOR



Negara yang menganut paham demokrasi secara periodik melaksanakan hajat besar bernama pemilu. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang menolak pilihan Gubernur. Hemat saya, ini bukan sekedar alasan sejarah, tetapi juga alasan budaya.

Pemilu, apapun jenis dan tingkatannya, hampir pasti memamerkan perebutan kursi kekuasaan. Dalam arena semacam itu, satu hal yang sulit dihindari, yaitu kompetisi tidak sehat, sebut saja itu POLITIK UANG.

Saya musti ambil contoh dari tataran kecil tetapi gaungnya cukup besar, yakni pada pemilihan ketua umum Partai Demokrat yang dilakukan di Bandung tempo hari. Gonjang-ganjing partai biru ini, sepertinya,  secara terang-terangan mempertontonkan hura-hura politik uang.

Tanggal 9 April 2014, harinya Rabu Pon, sepanjang tak ada benca alam, hajatan besar pilihan anggota legeslatif pasti berlangsung. Maret 2014, 3 minggu sebelum hari tenang, tepatnya tanggal 16 hari Ahad Wage, kampanye terbuka dimulai.

Sedikit berbeda dengan pemilu di Partai Demokrat.  Meski susah dibuktikan, kecenderungan politik uang di musim kampanye 2014, bahkan lebih mengerikan. Di dalam Kampanye pileg, cakupan wilayah lebih luas. Masyarakat yang terlibat pun lebih hegemonik. Sementara pelaku kampanye terbilang cukup besar 12 partai. 

Di arena kampanye 2014, saya terpaksa menggunakan istilah yang sarkastik: Calegnya ‘dungu’, calon pemilihnya ‘blo’on’. Saya bilang caleg ‘dungu’ karena di dalam kampanye, para caleg selalu mempersempit fungsi legislator sebagai pengawal program.

Mengutip kebiasaan para caleg di pemilu sebelumnya, “Bapak dan Ibu, dukung dan coblos saya di nomor urut satu. Saya dari Partai Gombal Mukiyo. Saya tidak sekedar janji, saya sudah buktikan, saya mengawal ketat program yang bapak-ibu sodorkan melaui musrenbangdes.”
Ditambah dengan pidato ataupun persuasi yang bombastik, “Saya tidak keberatan membuat lantai balai pedukuhan Bapak-Ibu menjadi berkeramik.” Berikutnya caleg ini pun minta dukungan 1 TPS minimal 50 sampai 70 suara.

Seperti terkena hipnotis, masyarakat yang tadi saya bilang blo’on mempercayai omongan caleg yang sesunggunya tidak lebih dari ocehan seorang MITRO NGGEDEBUS. Sang caleg harus ‘nggombalin’ calon pemilih demi sebuah kursi yang nilai finasialnya untuk DPRD II plus minus 10 juta rupiah per bulan. Sementara pihak calon pemilih keburu banget, ingin lantai balai pedukuhannya berlantai keramik.

POLITIK UANG, rupanya terkondisi dalan hubungan yang simbiose mutualistik. Calegnya butuh kursi, pemilihnya butuh keramik. Tetapi sangat berbahaya jika kalkulasi itu meleset. Jabatan DPR itu hanya 5 tahun. Per tahun hitungan kasar,  anggota DPRD II ada penghasilan 120 juta rupiah. Sampai akhir masa jabatan total pendapatan 600 juta rupiah.

Teman saya, pada pileg 2009 lalu, untuk kepentingan ini dan itu, menguras dompet hingga 750 juta rupiah. He he...... nombok. Terus...? Tentu saja mencari jalan agar pengeluaran dan pendapatan minimal menjadi BEP, sukur ada sisa lebih.

Kesimpulan saya: pemilu, sangat boleh jadi menjadi entri point budaya korupsi. Mengapa korupsi saat ini  menjadi sangat merajalela, salah satu penyebabnya cukup jelas. Calegnya dungu, calon pemilihnya blo’on.

DIY, menolak pemilihan Gubernur, bukan karena alasan historis belaka. Substansinya, karena DIY tidak mau melanggengkan budaya korup,  yang awalnya didahului  budaya ‘kong-kalikong’ antara calon pemimpin dengan rakyat. Sayangnya, itu baru berlaku untuk pemilihan gubernur dan belum termanifestasikan dalam pemilihan walikota serta bupati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...