Negara yang menganut paham demokrasi
secara periodik melaksanakan hajat besar bernama pemilu. Hanya Daerah Istimewa
Yogyakarta yang menolak pilihan Gubernur. Hemat saya, ini bukan sekedar alasan
sejarah, tetapi juga alasan budaya.
Pemilu,
apapun jenis dan tingkatannya, hampir pasti memamerkan perebutan kursi
kekuasaan. Dalam arena semacam itu, satu hal yang sulit dihindari, yaitu
kompetisi tidak sehat, sebut saja itu POLITIK UANG.
Saya
musti ambil contoh dari tataran kecil tetapi gaungnya cukup besar, yakni pada pemilihan
ketua umum Partai Demokrat yang dilakukan di Bandung tempo hari.
Gonjang-ganjing partai biru ini, sepertinya, secara terang-terangan mempertontonkan
hura-hura politik uang.
Tanggal
9 April 2014, harinya Rabu Pon, sepanjang tak ada benca alam, hajatan besar pilihan
anggota legeslatif pasti berlangsung. Maret 2014, 3 minggu sebelum hari tenang,
tepatnya tanggal 16 hari Ahad Wage, kampanye terbuka dimulai.
Sedikit
berbeda dengan pemilu di Partai Demokrat.
Meski susah dibuktikan, kecenderungan politik uang di musim kampanye
2014, bahkan lebih mengerikan. Di dalam Kampanye pileg, cakupan wilayah lebih
luas. Masyarakat yang terlibat pun lebih hegemonik. Sementara pelaku kampanye terbilang cukup besar 12 partai.
Di
arena kampanye 2014, saya terpaksa menggunakan istilah yang sarkastik: Calegnya
‘dungu’, calon pemilihnya ‘blo’on’. Saya bilang caleg ‘dungu’ karena di dalam
kampanye, para caleg selalu mempersempit fungsi legislator sebagai pengawal
program.
Mengutip
kebiasaan para caleg di pemilu sebelumnya, “Bapak dan Ibu, dukung dan coblos
saya di nomor urut satu. Saya dari Partai Gombal Mukiyo. Saya tidak sekedar
janji, saya sudah buktikan, saya mengawal ketat program yang bapak-ibu sodorkan
melaui musrenbangdes.”
Ditambah
dengan pidato ataupun persuasi yang bombastik, “Saya tidak keberatan membuat
lantai balai pedukuhan Bapak-Ibu menjadi berkeramik.” Berikutnya caleg ini pun
minta dukungan 1 TPS minimal 50 sampai 70 suara.
Seperti
terkena hipnotis, masyarakat yang tadi saya bilang blo’on mempercayai omongan
caleg yang sesunggunya tidak lebih dari ocehan seorang MITRO NGGEDEBUS. Sang
caleg harus ‘nggombalin’ calon pemilih demi sebuah kursi yang nilai finasialnya
untuk DPRD II plus minus 10 juta rupiah per bulan. Sementara pihak calon
pemilih keburu banget, ingin lantai balai pedukuhannya berlantai keramik.
POLITIK
UANG, rupanya terkondisi dalan hubungan yang simbiose mutualistik. Calegnya
butuh kursi, pemilihnya butuh keramik. Tetapi sangat berbahaya jika kalkulasi
itu meleset. Jabatan DPR itu hanya 5 tahun. Per tahun hitungan kasar, anggota DPRD II ada penghasilan 120 juta
rupiah. Sampai akhir masa jabatan total pendapatan 600 juta rupiah.
Teman
saya, pada pileg 2009 lalu, untuk kepentingan ini dan itu, menguras dompet
hingga 750 juta rupiah. He he...... nombok. Terus...? Tentu saja mencari jalan
agar pengeluaran dan pendapatan minimal menjadi BEP, sukur ada sisa lebih.
Kesimpulan
saya: pemilu, sangat boleh jadi menjadi entri point budaya korupsi. Mengapa
korupsi saat ini menjadi sangat
merajalela, salah satu penyebabnya cukup jelas. Calegnya dungu, calon
pemilihnya blo’on.
DIY,
menolak pemilihan Gubernur, bukan karena alasan historis belaka. Substansinya,
karena DIY tidak mau melanggengkan budaya korup, yang awalnya didahului budaya ‘kong-kalikong’ antara calon pemimpin
dengan rakyat. Sayangnya, itu baru berlaku untuk pemilihan gubernur dan belum
termanifestasikan dalam pemilihan walikota serta bupati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda