Rabu, 25 Desember 2013

GUNUNGKIDUL DIJULUKI KABUPATEN TERTINGGAL, SAYA MALU



Gunungkidul diberi gelar kabupaten tertinggal. Ini sebuah predikasi / label / trade mark yang bernilai kurang ajar. Pastilah itu sebuah cara pandang pretensius. Dibalik pemberian predikat tertinggal, ada tendensi gaet proyek. Sumpah, kue pembangunan dari propinsi maupun pusat hanya dijadikan bancakan oleh segelintir elit.
Makin tinggi angka kemiskinan, seorang pengamat di Gunungkidul menyebutkan, semakin banyak pula kucuran dana dari propinsi maupun pusat, ke berbagai sektor pembangunan. Sejalan dengan tergelontorkannya dana, makin gemuk pula segelintir elit pembuat kebijakan.  
Elit yang kegemukan, terindikasi terjebloskan ke dalam jeruji penjara. Mulai bupati, pejabat eselon, hingga kepala desa. Bahkan belakangan, elemen legeslatif  jumlahnya cukup fantastik 33 orang tersungkur.  Gunungkidul gudangnya warga miskin, sekelompok pejabatnya getol menghuni penjara ‘Suka Miskin’.
“Ini harus dihentikan”, kata seorang sahabat, tanpa ekspresi. Cara yang ditawarkan sangat sederhana. “Kenali sumber daya alam (SDA) dan identifikasi sumber daya manusia (SDM)”, katanya, sembari nyruput wedang teh nasgithel (panas, legi, kenthel). Saya tidak paham dengan apa yang dia katakan.
“Begini,” dia menunjukkan sebuah foto seorang lelaki setengah baya sedang ‘ramban’ daun ketela karet. Menurutnya, daun ketela karet adalah simbol kekayaan SDA yang tersimpan di Gunungkidul.
Pasarnya cukup terbuka. Entah kapan dia melakukan sensus, tiba-tiba menunjuk angka, di Gunungkidul itu ada 114 warung, sejenis rumah makan padang. Orang tahu, bahwa menu daun ketela pasti ada di sana.
Dia bertutur, lelaki yang ada di footo itu menghidupi keluarganya dari jualan daun ketela karet. “Dia hanya mensupali  rumah makan padang yang ada di  Patuk, Sambipitu dan Selang Wonosari, Gunungkul” ungkapnya meyakinkan. Lelaki yang dia foto itu adalah segelintir subyek yang memiliki kecerdasan sesuai tingkatannya.
Daun ketela karet dan lelaki itulah yang dia maknai sebagai aset SDA dan SDM. Menurutnya, di Gunungkiul banyak potensi SDA/SDM yang patut disuport dan diapresiasi untuk dikembangkan. Mengutip ideomatika Ir Danarto, seorang sarjana kehutanan dari UGM, mengkolaborasikan SDA dan SDM harus menggunakan ‘teori tapak’. “Apa yang ada di sekitar Anda, dan apa yang bisa Anda perbuat dengan lingkungan Anda, itulah dinamika hidup Anda,” kata Danarto.
“Jadi”, timpal kawan saya, “Pakde Trimo, orang Gunungkidul yang ramban daun ketela karet itu tidak  mungkin kelaparan, apa lagi miskin. Dia kreatif. Dia membangun jiwanya dengan elant kerja keras, ulet dan tlaten. Memang, pendapatan Rp 50.000,00 per hari dari jualan daun ketela karet belum bisa dibilang cukup. Tambahannya, tak segan-segan  Pak Trimo angkut penumpang dengan sepeda motor alias ngojek.
“Kerja apa saja saya mau, yang penting halal” kata Pak Trimo (59) warga Putat Wetan, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, ketika dihubungi wartawan 25/12/2013 sore hari di rumahnya. Dia cerita lahan daun ketela karetnya Cuma 3000 m2.  
Pakde Trimo adalah sosok yang sering dikategorikan sebagai orang miskin. Tetapi benarkah dia merasa miskin? Di Gunungkidul, jumlah orang sekelas Pakde Trimo mencapai 79.943 KK. Persoalan yang dihadapi saat ini: Pemkab Gunungkidul kurang pintar mengkolaborasikan SDM 79.943 dengan SDA tempat warga itu tinggal. Akibatnya, orang miskin tidak kunjung mentas, malah ada kecenderungan dijual ke pemerintah pusat untuk sebuah proyek yang nilainya rautsan milyar.
Dalam konteks orang miskin dimanfaatkan untuk menggaet proyek akhirnya menjadi pembenar bahwa Gunungkidul adalah pantas masuk kategori kabupaten tertinggal. “Saya malu, Gunungkidul dijuluki sebagai kabupaten tertinggal. Saya lebih suka berjualan daun salam bumbu penyedap rasa, ketimbang ribut-ribut soal BLSM” kata mBok Semi Suharti, tetangga Pakde Trimo.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...