Gunungkidul diberi gelar kabupaten
tertinggal. Ini sebuah predikasi / label / trade mark yang bernilai kurang ajar.
Pastilah itu sebuah cara pandang pretensius. Dibalik pemberian predikat
tertinggal, ada tendensi gaet proyek. Sumpah, kue pembangunan dari propinsi
maupun pusat hanya dijadikan bancakan oleh segelintir elit.
Makin
tinggi angka kemiskinan, seorang pengamat di Gunungkidul menyebutkan, semakin
banyak pula kucuran dana dari propinsi maupun pusat, ke berbagai sektor
pembangunan. Sejalan dengan tergelontorkannya dana, makin gemuk pula segelintir
elit pembuat kebijakan.
Elit
yang kegemukan, terindikasi terjebloskan ke dalam jeruji penjara. Mulai bupati,
pejabat eselon, hingga kepala desa. Bahkan belakangan, elemen legeslatif jumlahnya cukup fantastik 33 orang tersungkur.
Gunungkidul gudangnya warga miskin, sekelompok
pejabatnya getol menghuni penjara ‘Suka Miskin’.
“Ini
harus dihentikan”, kata seorang sahabat, tanpa ekspresi. Cara yang ditawarkan
sangat sederhana. “Kenali sumber daya alam (SDA) dan identifikasi sumber daya
manusia (SDM)”, katanya, sembari nyruput wedang teh nasgithel (panas, legi,
kenthel). Saya tidak paham dengan apa yang dia katakan.
“Begini,”
dia menunjukkan sebuah foto seorang lelaki setengah baya sedang ‘ramban’ daun
ketela karet. Menurutnya, daun ketela karet adalah simbol kekayaan SDA yang
tersimpan di Gunungkidul.
Pasarnya
cukup terbuka. Entah kapan dia melakukan sensus, tiba-tiba menunjuk angka, di Gunungkidul
itu ada 114 warung, sejenis rumah makan padang. Orang tahu, bahwa menu daun
ketela pasti ada di sana.
Dia
bertutur, lelaki yang ada di footo itu menghidupi keluarganya dari jualan daun
ketela karet. “Dia hanya mensupali rumah
makan padang yang ada di Patuk, Sambipitu
dan Selang Wonosari, Gunungkul” ungkapnya meyakinkan. Lelaki yang dia foto itu
adalah segelintir subyek yang memiliki kecerdasan sesuai tingkatannya.
Daun
ketela karet dan lelaki itulah yang dia maknai sebagai aset SDA dan SDM.
Menurutnya, di Gunungkiul banyak potensi SDA/SDM yang patut disuport dan
diapresiasi untuk dikembangkan. Mengutip ideomatika Ir Danarto, seorang sarjana
kehutanan dari UGM, mengkolaborasikan SDA dan SDM harus menggunakan ‘teori
tapak’. “Apa yang ada di sekitar Anda, dan apa yang bisa Anda perbuat dengan
lingkungan Anda, itulah dinamika hidup Anda,” kata Danarto.
“Jadi”,
timpal kawan saya, “Pakde Trimo, orang Gunungkidul yang ramban daun ketela
karet itu tidak mungkin kelaparan, apa
lagi miskin. Dia kreatif. Dia membangun jiwanya dengan elant kerja keras, ulet
dan tlaten. Memang, pendapatan Rp 50.000,00 per hari dari jualan daun ketela
karet belum bisa dibilang cukup. Tambahannya, tak segan-segan Pak Trimo angkut penumpang dengan sepeda motor
alias ngojek.
“Kerja
apa saja saya mau, yang penting halal” kata Pak Trimo (59) warga Putat Wetan,
Desa Putat, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, ketika dihubungi wartawan 25/12/2013
sore hari di rumahnya. Dia cerita lahan daun ketela karetnya Cuma 3000 m2.
Pakde
Trimo adalah sosok yang sering dikategorikan sebagai orang miskin. Tetapi benarkah
dia merasa miskin? Di Gunungkidul, jumlah orang sekelas Pakde Trimo mencapai
79.943 KK. Persoalan yang dihadapi saat ini: Pemkab Gunungkidul kurang pintar mengkolaborasikan
SDM 79.943 dengan SDA tempat warga itu tinggal. Akibatnya, orang miskin tidak
kunjung mentas, malah ada kecenderungan dijual ke pemerintah pusat untuk sebuah
proyek yang nilainya rautsan milyar.
Dalam
konteks orang miskin dimanfaatkan untuk menggaet proyek akhirnya menjadi
pembenar bahwa Gunungkidul adalah pantas masuk kategori kabupaten tertinggal. “Saya
malu, Gunungkidul dijuluki sebagai kabupaten tertinggal. Saya lebih suka
berjualan daun salam bumbu penyedap rasa, ketimbang ribut-ribut soal BLSM” kata
mBok Semi Suharti, tetangga Pakde Trimo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda