Senin, 23 Juni 2014

PRESIDEN ITU HARUS ORANG YANG PUNYA 'NGELMU'



Untuk calon presiden 2014 dan seterusnya, saya memilih kriteria   berbeda denngan yang diomongkan para cendekia berlatangbelakang pendidikan barat. Presiden, menurut saya, tidak perlu neka-neka. Simpel saja, dia harus memiliki ngelmu. Presiden, menurut saya adalah bagian dari  sistem. Kepala Negara dan Ketua RT itu adalah dua sisi mata uang.

Ngelmu, menurut idiomatika Jawa: digembol ora mbedosol, diguwak ora kemrosak (dikuasai tidak kelihatan, dibuang tidak akan hilang, bahkan makin bertambah banyak).

Ngelmu yang saya maksud adalah yang menyatu dalam sistem jagat cilik manusia. Selain golongan manusia, pada hemat saya, tidak akan mampu menguasai ngelmu. Konteksnya dengan alam semesta: volume ngelmu, ditulis dengan tinta 7 lautan, tintanya habis, ngelmunya masih kelewat banyak untuk disebut  berlebih.

Dalam  tembang Jawa pupuh pucung disebutkan: Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Lekase lawan khas. Tegese khas nyantosai. Setya budya pangekesing dur angkara. Pertanyaan sederhana: di antara Prabowo dan Jokowi, siapa yang masuk kategori manusia yang meguasai ngelmu.

Ke depan, sekurang-kurangya dalam kurun 5 tahun, mereka: siapa pun yang jadi presiden dituntut untuk ngekes dur angkara (menghilangkan angkara murka) yang datang baik dari dalam maupun dari luar.

Ngelmu mereka berada di mana? Di jidad? Atau di dada? Nglemu iku kelakone kanthi laku. Siapa di antara keduanya yang meraih nglemu dengan laku? Dan laku itu lekase lawan khas, tegese khas nyantosani. Meraih ngelmu, berangkatnya  dari jiwa. Hanya dengan iman di dada, ngelmu yang haq bisa  dikuasai.

Untuk mengukur kadar ngelmu Prabowo-Jokowi, saya menyodorkan pertanyaan teknis pragmatis begini: jumlah anak yatim piatu di indonesia saat ini (2014) sebenarnya ada berapa juta.

Saya yakin, keduanya tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan angka yang akurat. Pasalnya? Karena mereka tidak memiliki ngelmu. Tetapi jangan keburu memvonis mereka berdua, sebagai ‘bodoh’. Jangan, Anda keliru.

Ketidaktahuan Prabowo-Jokowi, toh tidak lepas dari karya SBY. Penguasa yang lahir di kota Pacitan Jawa Timur ini juga tidak memili ngelmu untuk mengetahui jumlah anak yatim piatu di Indonesia.

Kembali kepada Prabowo-Jokowi, siapapun yang tepilih, supaya kekuasaannya bermanfaat, mereka harus meletakkan: satu mata di kursi istana, satu mata yang lain di kursi ketua-ketua RT se Indonesia.

Kepala Negara dan Ketua RT adalah dua sisi mata uang, untuk membangun negeri tercinta. Yang paham  jumlah angka anak yatim piatu itu adalah Ketua-Ketua RT.

Mata kepala Negara yang di kursi Istana tidak akan mampu melihat. Tetapi karena mata yang lain menyatu di kursi ketua-ketua RT, kepala negara menjadi tahu jumlah anak yatim-piatu se Indonesia. Ini kerja sistem. Pengambilan kebijakan, kemudian sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...