Untuk calon presiden 2014 dan seterusnya, saya
memilih kriteria berbeda denngan yang
diomongkan para cendekia berlatangbelakang pendidikan barat. Presiden, menurut
saya, tidak perlu neka-neka. Simpel saja, dia harus memiliki ngelmu. Presiden,
menurut saya adalah bagian dari sistem.
Kepala Negara dan Ketua RT itu adalah dua sisi mata uang.
Ngelmu, menurut idiomatika Jawa: digembol ora mbedosol, diguwak ora kemrosak (dikuasai
tidak kelihatan, dibuang tidak akan hilang, bahkan makin bertambah banyak).
Ngelmu yang saya maksud adalah yang menyatu dalam sistem
jagat cilik manusia. Selain golongan manusia, pada hemat saya, tidak akan mampu
menguasai ngelmu. Konteksnya dengan alam semesta: volume ngelmu, ditulis dengan
tinta 7 lautan, tintanya habis, ngelmunya masih kelewat banyak untuk disebut berlebih.
Dalam tembang Jawa
pupuh pucung disebutkan: Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Lekase lawan khas.
Tegese khas nyantosai. Setya budya pangekesing dur angkara. Pertanyaan
sederhana: di antara Prabowo dan Jokowi, siapa yang masuk kategori manusia yang
meguasai ngelmu.
Ke depan, sekurang-kurangya dalam kurun 5 tahun, mereka:
siapa pun yang jadi presiden dituntut untuk ngekes dur angkara
(menghilangkan angkara murka) yang datang baik dari dalam maupun dari
luar.
Ngelmu mereka berada di mana? Di jidad? Atau di dada? Nglemu iku
kelakone kanthi laku. Siapa di antara keduanya yang meraih nglemu
dengan laku? Dan laku itu lekase lawan khas, tegese khas nyantosani.
Meraih ngelmu, berangkatnya dari jiwa.
Hanya dengan iman di dada, ngelmu yang haq bisa dikuasai.
Untuk mengukur kadar ngelmu Prabowo-Jokowi, saya
menyodorkan pertanyaan teknis pragmatis begini: jumlah anak yatim piatu di
indonesia saat ini (2014) sebenarnya ada berapa juta.
Saya yakin, keduanya tidak akan mampu menjawab pertanyaan
itu dengan angka yang akurat. Pasalnya? Karena mereka tidak memiliki ngelmu.
Tetapi jangan keburu memvonis mereka berdua, sebagai ‘bodoh’. Jangan, Anda
keliru.
Ketidaktahuan Prabowo-Jokowi, toh tidak lepas dari karya SBY.
Penguasa yang lahir di kota Pacitan Jawa Timur ini juga tidak memili ngelmu
untuk mengetahui jumlah anak yatim piatu di Indonesia.
Kembali kepada Prabowo-Jokowi, siapapun yang tepilih,
supaya kekuasaannya bermanfaat, mereka harus meletakkan: satu mata di kursi
istana, satu mata yang lain di kursi ketua-ketua RT se Indonesia.
Kepala Negara dan Ketua RT adalah dua sisi mata uang,
untuk membangun negeri tercinta. Yang paham
jumlah angka anak yatim piatu itu adalah Ketua-Ketua RT.
Mata kepala Negara yang di kursi Istana tidak akan mampu
melihat. Tetapi karena mata yang lain menyatu di kursi ketua-ketua RT, kepala
negara menjadi tahu jumlah anak yatim-piatu se Indonesia. Ini kerja sistem. Pengambilan
kebijakan, kemudian sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda