Ibu pertiwi, paring boga
lan sandang kang murakabi. Peparing rejeki manungso kang bekti. Ibu pertiwi,
Ibu Pertiwi sih sutrisna mring sesami. Ibu pertiwi kang adil luhur ing budi. Ayo
sungkem mring Ibu pertiwi
Sebait lirik Ketawang Ibu
Pertiwi, menyentuh hati dan pikir. Tentu ini hanya berlaku bagi orang yang
punya hati dan punya pikir. Saya berharap Mas Prabowo dan Mas Jokowi memelihara
hati sekaligus pikir. Mari kia lihat larik pertama Mas: Ibu pertiwi paring boga lan
sandang kang murakabi.
Saya menterjemahkan
secara bebas menjadi begini Mas: Tanah kelahiran bangsa Indonesia, sesungguhnya
teramat tulus dalam memberi pangan dan
sandang kepada jutaan bahkan trliyunan
jiwa yang bertempat tinggal di atasnya, zonder membeda-bedakan.
Tetapi Mas, realitasnya
jauh panggang dari api. Pembagian pangan dan sandang itu tidak merata. Tidak semua menikmati, sesuai
hak yang melekat di setiap jiwa. Ini tentu
ada sebabnya. Larik berikutnya menyebutkan, (ibu pertiwi) mengajukan
syarat mutlak yang tak boleh dinisbikan: (ibu
pertiwi) peparing rejeki manungsa kang
bekti.
Ketidakmerataan itu
terjadi, karena sebagian manusia (maaf, saya terpaksa menyebut: para pemimpin
pendahulu Anda Mas Prabowo dan Mas Jokowi) tidak bekti, tidak taat, tidak tunduk
pada aturan ibu pertiwi. Bibir berucap membela, tetapi batinnya menginjak dan
mendurhakai.
Sebagian besar keringat
ibu pertiwi disedot secara serakah, tanpa mempertimbangkan prinsip keadilan.
Kemudian lahir apa yang dikenal dengan kesenjangan sosial. Mempersempit
kesenjangan adalah tugas Sampean berdua, bila mana Sampean keluar sebagai
pemenang di pergumulan 9 Juli 2014.
Mas Prabowo dan Mas
Jokowi yang saya hormati: Ada repetisi alias pengulangan pada larik berikutnya:
Ibu
pertiwi sih sutrisna mring sesami.
Ini sebuah penegasan, Ibu Pertiwi tidak pernah membeda-bedakan. Karena apa?
Ibu
pertiwi (itu) adil (dan) luhur ing budi.
Larik penutup ketawang
Ibu Pertiwi, Sampean berdua diajak: Ayo sungkem mring ibu pertiwi.
Larik pertama hingga
larik terakhir dari secuil tembang Ketawang Ibu Pertiwi, itu refleksi uneg-unek
saya, kepada Anda berdua. Saya ingin
melihat Anda melakukan SUNGKEM.
Gagasan saya tentu saja
tidak sekualitas, ataupun sehebat pertanyaan yang disodorkan Profesor Zaenal.
Maklum, saya hanya orang kecil, yang barangkali Anda berdua belum pernah
mengenal, siapa sejatinya orang kecil itu.
Hormat saya untuk Anda
berdua. Salam dari Gunungkidul. Sampai ketemu di perjalanan 5 tahun ke depan.
Salah satu dari Anda dipastikan bakal duduk di kursi Istana. Sementara saya akan
tersanjung dan bahagia, manakala ANDA MELAKUKAN SUMKEM KEPADA IBU PERTIWI.
Maaf, sekali lagi maaf,
ini adalah surat kaleng, karena mungkin saja bunyinya membuat Anda berdua
menjadi sangat RISAU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda