Minggu, 08 Juni 2014

SISI LAIN PERTARUNGAN PRABOWO VS JOKOWI








Demokrasi Pancasila sudah diganti dengan demokrasi liberal. Sejak UUD 1945 diamandemen, NKRI tidak semakin kokoh, melainkan  sebaliknya. Kaum reformist secara terang-terangan mengadopsi pikiran barat. Akibat terpahit, percaturan politik terkait pilpres 2014, tidak terlepas dari intervensi asing.  Calon pimpinan negara, bermuka dua. Satu mengaku membela kepentingan rakyat, muka yang lain menyembah kepentingan berhala asing.    

Politisi tercerai berai, pengamat hiruk pikuk. Rakyat bingung karena terkotak-kotak. Elemen bangsa saling ejek, satu sama lain. Sampai-sampai, Presiden SBY pun menjadi nyaris ‘pikun’. Demokrasi Pancasila yang sudah dibakar hangus sejak 1998, Tanggal 1 Juni 2014 tak sempat ditengok kerangkanya.

Setan yang berana asing, bertempik. Mereka gemuruh bersorak melihat bangsa besar seperti Indonesia menjadi carut marut. Modus lama tetap berjalan. Politik Belanda yang terkenal dengan model pecah-belah, berjalan begitu mulus.

Sejumlah Stasiun TV swasta nasional, memamerkan diskusi/debat anak bangsa yang menjurus ke pemikiran liberal. Eloknya diselubungi dengan slogan halus: pendidikan politik untuk rakyat. Tanpa disadari, suguhan mereka itu justru amat sangat membingungkan.
Tak luput, capres dan cawapres 2014. Karena manat UU, oleh KPU  diseting untuk mempertontonkan keahilannya dalam berdebat.  Pasangan capres dan cawapres itu mau ngomong apa, saya khawatir, keduanya terjerembab ke dalam ucapan-ucapan yang bernuansa hipokrit.

Hipokrisi (kemunafikan) bisa saja meluncur dari mulut Prabowo-Hatta. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan itu mengalir dari pikiran Joko-Jeka.

Saya harus menyelam ke struktur dalam yang selama ini tidak nampak dipermukaan. Kedua pasangan berpandangan tak jauh berbeda. Terutama ketika harus menghadapi kekuatan asing, Prabowo menyatakan sebagai jago yang paling cocok .  Di sisi lain, Jusuf Kala, ditakar tidak akan mengalami kerepotan sezarah pun.

Saya melihat, mereka kepengin mengetaskan bangsa ini dari perbudakan. Mereka, dalam formulasi bahasa yang berbeda, sama-sama tidak mengiginkan bangsa Indonesia hidup dalam jeratan 1 benggol sehari. Ini meminjam istilah Bung Karno.

Mari mengintip pernyataan Hashim Djojohadikusumo adik Prabowo Subiyanto, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra di Washington DC tahun 2013, yang menyebar di You Tube. Boleh tercengang. Boleh kaget, tetapi jangan sampai jantungan.   

Ini petikan langsung, tapa saya kurang dan tambahi:
Bapak Ibu sekalian, Prabowo Subiyanto lulus, mungkin hanya satu-satunya kandidat, mungkin juga Gita, yang lulus dari seleksi Amerika.
Ok. Jadi Gita yang juga akan menalonkan diri menjadi presiden, Parobowo adalah kandidat lain yang lulus dari masalah Amerika.
Jadi Prabowo adalah orang yang sangat pro Amerika, dia sekolah SMA di Amerika, sekolah sebelum SMA juga di Amerika.
Dia mengambil sekolah komando pasukan khusus di Fort Benning, Fort Bragg. Sampai beberapa saat yang lalu, saya seorang investor di California. Investor besar bisnis minyak.
Jadi, ya, Amerika akan menjadi patner yang mendapat perlakuan khusus dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Geindra.

Pernyataan Hashim Djojohadikusumo disambut tepuk meriah.

Saya menangis. Selama lima tahun ke depan, dan mungkin untuk seterusnya, nasib saya tidak akan berubah. Saya, dan  sahabat-sahabat saya yang jumlahnya 250 juta, tersebar dari sabang sampai Meraoke, tetap akan menjadi budak bangsa lain.

Tetapi saya masih ada harapan: PANCASILA. Siapa yang sanggup membangunkan macan tidur ini? Siapa yang berani melakukan dektrit, kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen? Presiden pilihan rakyat, rasanya bukan solusi DEMOKRASI ALA INDONESIA.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...