Senin, 08 Agustus 2016

Sosok Wartawan / Jurnalist di Era Digital





Menjadi wartawan itu gampang, demikian buah pikiran Arswedo  Atmowiloto 30 tahun silam, saat dia belum masuk bui karena tulisannya yang membandingkan Soeharto Presiden II RI  dengan Nabi Muhammad Saw. Substansi gagasan Arswendo, berangkat dari modal dasar yakni menulis.

“Mengarang itu gampang, karena bisa dipelajari. Semua bisa mempelajari asal bisa baca tulis dan mempunyai minat teru-menerus, yang tak mudah patah. Inilah yang dimaksud dengan bakat,” kata Arswendo kala itu.

Secara deteil dia menambahkan, ruang lingkupnya medasar. Rasanya tak ada kegiatan yang bisa dipisahkan dari baca-tulis. Tidak hanya untuk bisa mengarang  dalam pengertian umum seperti membuat cerita pendek, novel, drama atau puisi, melainkan juga menjadi wartawan, korektor penerbit, perancang teks iklan, atau penulis lirik lagu.

Secara implisit, Arswendo menyatakan, modal utama seorang jurnalis bisa membaca dan menulis. “Nah, simpel kan,” ujar dia.

Joko S. Pasandaran, penulis asal Kota Banyuwangi, yang pernah mengasuh  ‘Derap Mahasiswa’ koran kampus milik IKIP Negri Yogyakarta, sekarang UNY, kepada para reporter membari saran  begitu sederhana.

“Tulis apa saja yang dekat dengan hatimu, dekat dengan pikiranmu. Jangan pernah menulis sesuatu yang tidak pernah kamu ketahui,” arahan Joko S. Pasandaran, pada puluhan reporter kampus, 1977.

Kalau apes apa sial, kalian terpaksanya tidak / belum tahu apa-apa, masuk saja ke ‘gudang’, sembari telunjuk Joko menuding ‘gedung perpustakaan’ yang berdiri megah di tengah kampus.

Itu sekelumit model pembekalan calon wartawan abad 19, yang berada di era semua serba manual. Berbeda dengan reporter yang magang jadi wartawan di abad  serba digital. Segala sesuatu telah tersedia di langit, tak perlu lagi keluar masuk perpustakaan. Referensi apa saja tinggal pilih, tinggal unduh.

Lima W satu H, itu teknis yang tidak perlu dijelaskan. Gunawan Muhammad, wartawan senior di majalah Tempo menekankan, nyawa sebuah berita adalah narasumber.

“Kalau narasumber berhubungan dengan kasus penyimpangan, temui secara pribadi, hindari rombongan, kemudian ajak ngobrol hal-hal yang membuat dia nyaman dan tidak gelisah. Jangan sesekali, langsung masuk pada kasus yang melilitnya. Cara tembak lasung akan membuat nara sumber tertutup, bahkan bungkam seribu bahasa,” kata Gunawan Mohammad.

Dari hasil obrolan ngalor-ngidul, menurutnya, seorang reporter yang cerdas akan menemukan materi yang berkaitan dengan kasus yang sedang diinvestigasi. Karena era teknologi, reporter yang cerdik telah menyiapkan rekaman, tidak perlu diperlihatkan, karena HP cukup dikantongi di saku.

Problem krusial yang lain, ini krtik yang dilayangkan Robert Cambers, dalam buku Pembagunan Desa Dimulai Dari Belakang, reporter atau wartawan sering menghindari narasumber karena alasan domisili. Yang banyak diuber, narasumber dalam kota, sementara narasumber yang ada di polosok dibiarkan tak dijamah, sementara justru nasum yang berada di padukuhan terpencil itu banyak memiliki data dan cerita.
Terkait dengan kritik, reporter perlu berhati-hati. Fungsi media memang sebagai alat kontrol. Sebelum menulis berita bernuansa kritik, pelajari secara cermat aturan perundangan yang berlaku. Reporter harus lebih tahu ketimbang subyek yang hendak diritik. Gagal memahami undang-undan dan turunnanya, berita yang ditulis akan berbalik menjadi bomerang, paling tidak akan dianggap sebagai berita hoax.

Seperti pesan Arswendo dan Joko S. Pasandaran, repoter tidak boleh berhenti menulis juga membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...