Menjadi wartawan itu gampang, demikian buah pikiran Arswedo Atmowiloto 30 tahun silam, saat dia belum
masuk bui karena tulisannya yang membandingkan Soeharto Presiden II RI dengan Nabi Muhammad Saw. Substansi gagasan
Arswendo, berangkat dari modal dasar yakni menulis.
“Mengarang itu gampang, karena bisa dipelajari. Semua bisa mempelajari asal
bisa baca tulis dan mempunyai minat teru-menerus, yang tak mudah patah. Inilah
yang dimaksud dengan bakat,” kata Arswendo kala itu.
Secara deteil dia menambahkan, ruang lingkupnya medasar. Rasanya tak ada
kegiatan yang bisa dipisahkan dari baca-tulis. Tidak hanya untuk bisa
mengarang dalam pengertian umum seperti
membuat cerita pendek, novel, drama atau puisi, melainkan juga menjadi
wartawan, korektor penerbit, perancang teks iklan, atau penulis lirik lagu.
Secara implisit, Arswendo menyatakan, modal utama seorang jurnalis bisa
membaca dan menulis. “Nah, simpel kan,” ujar dia.
Joko S. Pasandaran, penulis asal Kota Banyuwangi, yang pernah mengasuh ‘Derap Mahasiswa’ koran kampus milik IKIP
Negri Yogyakarta, sekarang UNY, kepada para reporter membari saran begitu sederhana.
“Tulis apa saja yang dekat dengan hatimu, dekat dengan pikiranmu. Jangan
pernah menulis sesuatu yang tidak pernah kamu ketahui,” arahan Joko S.
Pasandaran, pada puluhan reporter kampus, 1977.
Kalau apes apa sial, kalian terpaksanya tidak / belum tahu apa-apa, masuk
saja ke ‘gudang’, sembari telunjuk Joko menuding ‘gedung perpustakaan’ yang
berdiri megah di tengah kampus.
Itu sekelumit model pembekalan calon wartawan abad 19, yang berada di era
semua serba manual. Berbeda dengan reporter yang magang jadi wartawan di
abad serba digital. Segala sesuatu telah
tersedia di langit, tak perlu lagi keluar masuk perpustakaan. Referensi apa
saja tinggal pilih, tinggal unduh.
Lima W satu H, itu teknis yang tidak perlu dijelaskan. Gunawan Muhammad,
wartawan senior di majalah Tempo menekankan, nyawa sebuah berita adalah
narasumber.
“Kalau narasumber berhubungan dengan kasus penyimpangan, temui secara
pribadi, hindari rombongan, kemudian ajak ngobrol hal-hal yang membuat dia
nyaman dan tidak gelisah. Jangan sesekali, langsung masuk pada kasus yang
melilitnya. Cara tembak lasung akan membuat nara sumber tertutup, bahkan
bungkam seribu bahasa,” kata Gunawan Mohammad.
Dari hasil obrolan ngalor-ngidul, menurutnya, seorang reporter yang cerdas
akan menemukan materi yang berkaitan dengan kasus yang sedang diinvestigasi.
Karena era teknologi, reporter yang cerdik telah menyiapkan rekaman, tidak
perlu diperlihatkan, karena HP cukup dikantongi di saku.
Problem krusial yang lain, ini krtik yang dilayangkan Robert Cambers, dalam
buku Pembagunan Desa Dimulai Dari Belakang, reporter atau wartawan sering
menghindari narasumber karena alasan domisili. Yang banyak diuber, narasumber
dalam kota, sementara narasumber yang ada di polosok dibiarkan tak dijamah,
sementara justru nasum yang berada di padukuhan terpencil itu banyak memiliki
data dan cerita.
Terkait dengan kritik, reporter perlu berhati-hati. Fungsi media memang
sebagai alat kontrol. Sebelum menulis berita bernuansa kritik, pelajari secara
cermat aturan perundangan yang berlaku. Reporter harus lebih tahu ketimbang
subyek yang hendak diritik. Gagal memahami undang-undan dan turunnanya, berita
yang ditulis akan berbalik menjadi bomerang, paling tidak akan dianggap sebagai
berita hoax.
Seperti pesan Arswendo dan Joko S. Pasandaran, repoter tidak boleh berhenti
menulis juga membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda