rumah tohirin terendam air |
GUNUNGKIDUL, Rabu Pon 29/11 – Sebagian masyarakat Gunungkidul: Kecamatan Tanjungsari, Semanu, Semin, Nglipar, Gedangsari, Paliyan, Patuk, Playen, Rongkop, Panggang, Tepus, Ngawen dan yang lain akhir Novemer 2017 terkepung air. Ditengah kegelisahan warga, Banjir Nabi Nuh patut menjadi bahan renungan.
Tanda bakal munculnya malapetaka itu dimulai sejak
Kamis Paing 23/11 hingga Senin Legi 25/11. Hujan turun dengan kekerapan lain
dari biasanya. Rintik hujan sejam turun, sejam
berhenti, secara menerus terjadi sepanjang hari. Malam reda, pagi hari
mulai lagi.
Selasa Paing, 28/11, Rabu Pon 29/11 hujan
menghebat mulai pagi hingga pagi, nyaris
tanpa henti, jeda hanya sebentar. Tidak satu orang pun bisa menerka, kapan
hujan seperti ini bakal mereda.
Teringat sejarah Banjir Nabi Nuh, ribuan manusia tewas, termasuk putra kesayangan Nabi.
Yang selamat hanyalah penumpang perahu Nabi yang setia kepada perintah Sang
Pencipta.
Angin diperintah untuk meniup laut. Uap merangkak
naik, merayap pegunungan, menggumpal
menjadi awan putih. Pada ketiggian terntentu, awan mendingin, membatu, kemudian
kembali turun ke bumi sebagai hujan.
Karena hujan berdurasi 40 hari 40 malam , sungai
meluap hebat. Air bah menggenang seluruh daratan. Tamatlah riwayat sebagian
manusia pada zaman Nabi Nuh yang membangkang perintah.
Sungai meluap, air menggenang daratan, pohon tumbang,
tebing ambrol bukan kesalahan alam, bukan pula sebuah bencana. Fenomena
tersebut adalah wujud nyata dari kesetiaan bumi geni banyu angin, terhadap
perintah Sang Khalik.
Kini, pertanyaan sederhana pun muncul bersamaan
peristiwa yang terjadi di tengah samudra Hindia.
Benarkah manusia abad 20 masih setia sebagai
kalifatullah fil ardh (utusan Alloh di bumi), yang tugas pokoknya adalah
menyelamatkan bumi, bukan merusak?
Apakah banyak manusia menyadari, bahwa menebang pohon
secara semena-mena bisa mengakibatkan munculnya dua bibit badai tropis di laut
lepas?
Awan putih yang melahirkan hujan sehari-hari adalah
pelajaran berharga. Tulisan ini adalah munajat kecil, agar Banjir Nabi Nuh
tidak terulang.
Catatan istimewa, Kabupaten Gunungkidul 49 tahun silam
(1968) pernah dilanda peristiwa banjir serupa. Sejumlah rumah warga Padukuhan
Ngalang, Desa Ngalang, Kecamatan Patuk (kala itu) hanyut terseret arus.