Sederet
seniman, maaf, yang saya maksud adalah sederet artis: Anang Hermansyah,
Desy Ratnasari , Ikang Fauzi, Luki Hakim, Eko Patrio, Marissa Haque,
Primus Yustisio, Gading Martin, Dwiki Darmawan, Jeremy Thomas,
ramai-ramai masuk gedung parlemen. Mereka sama-sama membawa bendera
biru, namanya PARTAI ARTIS NASIONAL. Ada yang salah? Atau ada yang lucu?
Saya pikir, salah sih enggak. Lucu itu
kongkret dan jelas. Kalau toh para artis itu boleh disebut seniman di
bidangnya, sesungguhnya tidak terlalu salah. Sayangnya, di Indonesia,
sangat jarang seorang artis sekaligus dipredikati seniman, apalagi
budayawan.
Kembali ke Anang Hermansyah dkk.
Seberapapun tipis kadar kesenimanan dan kebudayaan yang mereka miliki,
sebenarnya mereka akan lebih produktif kalau setia pada dunianya.
Parlemen, itu dunia lain bagi Anang cs. Cermati saja, itu Eko Patrio.
Dia bisa berbuat apa untuk negeri ini berkaitan pasca mimikri menjadi
politisi. Tentu berbeda jika Eko tetap bertahan pada dunia yang dia
tapaki.
Tidak hanya menyebut Eko Patrio. Yang
lebih senior, seperti Tantowi Yahnya, tatkala mengenakan jaket kuning,
detak seni dan hiburannya stagnan, sementara prestasi politiknya kagak
kelihatan. Juga Nurul Arifin, Dyah Pitaloka si O’on yang oneng itu.
Saya menduga, mereka sedang melakukan
‘pengkhianatan’ besar-besaran terhadap hati nurani. Menelisik jagat
pakeliran, ditemukan sejumlah figur seperti semar, petruk, gareng dan
bagong, di satu sisi, di seberang lain hadir juga Togok dan Trembilung
yang sabuk bandhil.
Tokoh punokawan ini tidak pernah
menegasi jati diri. Eksistensi mereka demikian kongkret sebagai pamomong
wiji ratu: semar dan anaknya menjaga satria lurus, sementara Togok dan
adiknya mengasuh ratu sabrang yang selalu saja berjalan ‘cenanangan’.
Para punakawan ini tidak pernah mimpi
untuk berpindah peran menjadi ratu. Toh andaikata ada lakon ptruk dadi
ratu, gareng dadi ratu, bagong dadi ratu, itu adalah sempalan cerita
dalam konteks merekonstruksi sekaligus meluruskan pemikiran para
ksatria.
Pakeliran adalah jagat maya. Yang riil
kita bisa tengok sejarah, sekurang-kurangnya 500 tahun silam, bersamaan
runtuhnya Majapahit. Paradok batiniah antara Prabu Brawijaya dengan
abdi setia Sabdo palon Noyo Genggong, adalah refleksi agama hati. Prabu
Brawijaya membaca Kalimah Syahadat, sementara Sabdo Palon Noyo Genggong
konsisten merasuk agama Budha (Budhi).
Raja dan abdi itupun berpisah. Sang
Sabdo Palon mengucap kalimat pendek, 500 tahun ke depan, dia akan datang
menumpas orang-orang tak berbudi, bersamaan meletusnya gunung merapi.
Tahun 2006, terhitung berjarak 500 tahun dari runtuhnya Majapahit
Gunung Merapi Meletus.
Sabdo Palon dan Noyo Genggong
benar-benar datang mengingatkan umat manusia yang hanya pintar melafat
Kalimah Syahadat, tepi tak pandai menimbang budhi. Berikut secara
beruntun gempa, lumpur Lapindo, Sinabung, Abu Kelud, bahkan mungkin juga
akan sampai pada muntahnya anak Krakatau.
Kehadiran Sabdo Palon dan Noyo
Genggong, adalah manifestasi bahasa budi, pengejawantahan bahasa hati.
Seniman, dudayawan, secara fungsional adalah penyangga bahasa budi,
bahasa hati. Kembali pada Anang dan kawan kawan. Mereka ke Senayan
menenteng leksikon politik.
Huft…….. Saya meragukan kemampuan
mereka. Kredibilitas mereka di ranah hiburan cukup teruji, tetapi di
bidang politik, mereka termasuk golongan orang-orang yang kurang
kerjaan. Dalam konteks budaya jawa, mereka ‘legan golek momongan’.
Kehadiran mereka bukan membangun
politik, melainkan sebaliknya mencederai politik. Yang paling tidak
diuntungkan adalah Partai Amanat Nasional. Secara wujudiah, berubah
menjadi Partai Artis Nasional, karena sepuluh artis menggerombol
berkumpul di sana.