foto net |
“Dinsosnakertrans selaku institusi yang bertanggungjawab
secara teknis terhadap masalah sosial seperti ini, bahkan tidak memiliki data rinci dari tahun ke
tahun, berapa ratus warga yang nekad memilih bunuh diri,” kritik Purwanto,
Jumat, 30/9/2016.
Padahal menurut Ketua Komisi C, kenderungan warga bunuh diri itu terjadi sejak
tahun 1980-an. Pemerintah, menurutnya justru seperti setuju terhadap deklarasi
yang dilakukan media massa, bahwa di Gunungkidul ada pulung gantung.
“Itu pemberitaan yang omong kosong, tidak bisa dipertanggungjawabkan sekaligus
tidak memiliki dasar akademis,” tuturnya.
Merujuk data Bagian Operasional Polres Gunungkidul,
Purwanto mencatat, tahun 2007, 2008, 2009 angka bunuh diri mencapai 31, 29,
serta 27 orang. Dalam kurun 35 tahun mulai 1980-2015 , kata dia, diambil
pertahun rata-rata terjadi 25 orang,
maka angka bunuh diri di Gunungkidul mencapai 875 orang.
“Itu angka kasar dalam bentuk asumsi, kenyataan bisa
lebih bisa kurang. Kelemahan pemerintah, selama ini tidak melakukan pencatan
data secara cermat,” ulas Purwanto.
Mati karena bunuh diri tidak bisa dianggap problem sosial
yang enteng. Menurut Purwanto, penangannanya perlu dilakukan lintas sektoral, mulai dari Dinsosnakertras,
BPMPKB bekerjasama dengan Kantor Kementrian Agama, juga Polres Gunungkidul.
Lebih jauh Puwanto menjelaskan, mati dengan cara bunuh
diri itu bukan takdir, tetapi pilihan
dangkal karena sempitnya ilmu yang ada pada pelaku. Bukan pula ‘pulung’
sebagaimana dilegalkan media massa serta sebagian masyarakat Gunungkidul selama
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda