Munir. ilustrasi net |
Terkait dengan kekuasaan, negeri ini diperolok publik,
bahwa tidak tertib dalam hal mengamankan arsip nasional. Soeharto dan Bambang
Susilo Yudhoyono (SBY), dianggap teledor besar. Hilangya Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) serta Laporan Tim Pencari Fakta (TPF) terbunuhnya Munir
aktifis Kontras menyebabkan sejarah
negeri ini menjadi gelap.
Soeharto kehilangan atau menghilangkan Supersemar, para
tokoh negeri ini sepertinya cuek dan menutupi realitas. Sementara menurut
pengakuan Soeharto, Supersemar itu dibuat rangkap enam. Logikanya hilang satu
masih lima. Kalau yang asli lenyap, tindasan yang dibawa oleh 5 orang tokoh
kala itu pastinya masih bisa ditemukan.
Pertanyaan untuk SBY sama: dia kehilangan atau
mengilangkan TPF? Saat ini terkait TPF,
yang terkena getah adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pengakuan Asisten Deputi (Asdep) bidang Hubungan Masyarakat (Humas)
Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) Masrokhan yang menegaskan, bahwa Setneg tidak memiliki, menguasai, dan mengetahui keberadaan dokumen
Laporan Akhir Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir (Laporan TPF) membuat publik tercengang.
Negara ini menyimpan dokumen ekonomi seperti utang luar negri sangat tertib. Mendokumentasikan
‘penggadaian’ tambang emas di Papua super
rapi.
Ironis, ketika harus menyimpan dokumen politik, negeri ini sangat ceroboh.
Terus? Tak perlu basa-basi, penguasa yang saat itu memerintahkan menyembunyikan Supersemar serta Laporan TPF Munir, pasti juga menyembunyikan ‘kebusukan’ tertentu.
Publik berharap, Jokowi tidak suka menyembunyikan sesuatu. Dia mudah-mudahan
konsisten dengan Nawa Cita ke 4, item ke 9. Di sana Jokowi berkomitmen
menghormati HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus
pelanggaran pada masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda