Diceritakan oleh Mohammad Jazir, Ketua Takmir Masjid Jogokariyan era 90-an, bahwa Bung Karno, di depan Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia atau Dukuritsu Zunbi Cosakai (lembaga bentukan pemerintah Jepang) pernah mengkhawatirkan Indonesia akan terseret ke dalam demokrasi liberal.
Menurut Ketua Takmir Masjid Jogokariyan itu, Bung Karno tidak menghendaki adanya demokrasi biting atau demokrasi one vote one man, karena resikonya akan terjadi transaksi atau jual beli suara.
Pada abad ke-21 terbukti bahwa hanya para pemilik modal yang bisa menjadi pemimpin di era demokrasi transaksional.
Di Indonesia banyak orang pintar jujur dan menguasai ilmu, tetapi karena tidak punya modal mereka tidak bisa menjadi pemimpin bangsa, baik itu di tingkat eksekutif legislatif maupun yudikatif.
Indonesia saat ini telah dikuasai oleh para pemilik modal. Kapan negeri ini akan terlepas dari cengkeraman orang-orang kaya Muhammad Jazir tidak menjelaskannya.
Buku yang secara terang-terangan mengupas kekuatan modal ditulis dalam
Teori Kritis Sekolah Frankfurt oleh filsuf Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno dalam dua pokok pemikiran. Pertama, konsep tentang teori kritis. Kedua, kritik terhadap usaha manusia rasional yang terlihat macet dan gagal.
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., atau lebih dikenal dengan nama pena Sindhunata telah menterjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Modal atau kekayaan pada hakekatnya adalah buta. Artinya bahwa modal itu menguasai manusia, bukan manusia yang menguasai modal.
Yang penting modal harus bertambah tidak peduli bagaimana cara bertambahnya modal yang dimaksud. Modal yang buta tersebut akhirnya menguasai manusia atau memperbudak manusia.
Hal itu terjadi juga di dalam dunia politik. Contoh paling aktual adalah jual beli suara pada setiap pemilihan mulai dari pemilihan lurah pemilihan legislatif pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan presiden.
Belakangan muncul tokoh vokal hendak memberantas politik uang sebagai biang kerok korupsi kolusi dan nepotisme. Semboyan itu hebat, ingin menegakkan hukum dan keadilan. Tokoh tersebut mendapat dukungan kuat oleh segenap rakyat Indonesia.
Disayangkan kemunculannya tidak berpengaruh terhadap surutnya politik uang di Indonesia.
Fakta terbaru terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah tokoh partai politik tertentu membagikan uang kepada jamaah masjid. Bahkan tokoh sekelas menteri membagi-bagi amplop berisi uang kepada Babinsa seluruh Indonesia tanpa menyebut dari mana sumber dana yang dibagikan itu.
Itu artinya sebuah penghinaan bagi aparat pemerintah yang ingin secara bersungguh-sungguh menghilangkan kebiasaan politik uang.
Sebuah media online menulis bahwa tokoh yang membagi-bagikan uang kepada takmir masjid itu memiliki kekayaan di atas 50 miliar rupiah.
Politik uang tidak bisa dipisahkan dengan kodrat, bahwa manusia senantiasa melihat harta adalah indah dan menyenangkan.
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang."
(Bambang Wahyu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda