Gelombang Cinta. Foto Net |
SATU
Berbicara dengan orang yang tidak mengerti, bahwa dirinya
tidak mengerti, memang susah. Pikirannnya serba ngusruk. Hatinya keras. Meski tidak
seperti batu, namun mirip ketela pohung mentah. Di samping baunya langu, jika
dimakan bikin puyeng.
Berbeda dengan ketela yang telah menjadi tape karena
proses fermentasi. Manis, bikin perut anget serta nyaman. Lebih enak lagi jika
ngomongin sesuatu dengan orang yang mengerti, bahwa dirinya mengerti. Ilmu bisa
bertambah.
Semakin kucari, semakin bertambah, tapi semakin banyak
yang tidak aku ketahui. Ilmu yang kudapat seperti tidak ada apa-apnya. Makhluk
paling bodoh tidak lain ya aku ini.
Suatu ketika ada terbisik sesuatu di telinga hatiku. Ilmu
jagat raya ini terlalu banyak untuk ditulis. Kalaupun ditulis dengan tinta
selautan, ditambah tinta tujuh lautan, tintanya habis, ilmunya masih luar biasa
banyak.
Eyang Dwija Prawiro suwargi, usia 151 tahun, yang baru
saja meninggal tiga hari lalu tak jemu memberi pelajaran ringkas begini:
“Ngelmu iku, kelakone kanthi laku. Lekase lawan khas.
Tegese khas nyantosani. Setyo budyo, pangekesing dur angkoro”.
Teman-temanku yang mengaku sebagai penganut pendidikan aliran
barat mengatakan, mahasiswa itu adalah manusia merdeka. Cara pikir dan pola
tindak harus serba ilmiah berlandaskan ilmu obyektif, bukan bersandar pada rasa.
“Kamu masih berpegang pada petatah petitih lama, termasuk
tembang Jawa seperti itu?,” salah satu temanku mengejek seraya ketawa ngakak,
setelah membaca bagian dari skripsi yang aku persiapkan.
Dia berpendapat tulisanku itu kampungan. Dia memastikan
tidak bakalan diterima oleh dosen pembimbing. Cuek amat, aku tak merasa perlu
membalas ejekannya.
Aku pernah diberitahu seorang sepuh, sekarang berada di
mana, sudah mati apa masih sugeng tidak kuketahui.
Setiap manusia yang lahir ke dunia memiliki saudara kembar siam, 4 jumlahnya.
“Mereka itu persis kamu. Yang membedakan hanya warna dan
tempat. Abang, Ireng, Kuning, Putih itu saudaramu. Mereka menempat di utara,
timur, selatan, serta barat,” kata pinisepuh kala itu.
Saudara kembar pertama bernama Amarah. Dia sahabatmu yang
memberitahu, bahwa kamu tidak bisa hidup sendiri sebagai makhluk soliter. Kamu
perlu teman, kamu perlu bermasyarakat. Penampakan Amarah adalah merah. Dalam
warna itu ada api yang menghangatkan.
Selama darah kamu itu belum beku, pertanda kamu belum mati. Dia berkedudukan di
kutub utara. Itu sebabnya manusia Jawa yang mati selalu dikebumikan membujur ke
utara.
Saudara kembar kedua namanya Aluamah, penampakanya hitam.
Dia berada di arah matahari terbit. Kerjanya mendorong kamu untuk menjadi
pemberani, termasuk berani membunuh pada saat yang tepat, dalam berperang
misalnya. Bumi adalah sifat saudaramu yang kedua. Kamu tidak akan berumur
panjang, tanpa makan sari-sarinya bumi.
Supiyah, itu nama saudara kembarmu yang ketiga.
Penampakannya kuning, berkedudukan menghadap ke kutub utara. Dia menyebabkan kamu
memiliki kecintaan terhadap harta benda secara berlebihan. Supiyah itu memiliki
sifat udara. Seumur hidup sebab itu kamu terfasilitsi udara.
Saudara yang keempat adalah Mutmainah. Wujudnya putih. Dia saudara kembarmu yang
memberimu kekuatan istikomah. Hanya tunduk dan takut kepada Alloh SWT, tidak
kepada yang lain. Wujudnya putih sebagai simbol darah putih. Dia memiliki
karakter air. Kamu tidak bisa mengingkari dalam dirimu itu ada elmen air.
Posisi Mutmainah berada di arah matahari terbenam. Jangan usil bertanya kenapa
sebagai muslim kalau sholat musti mengahap ke barat. Itu pemikiran Jawa, yang
tidak banyak diketahui oleh sebagian besar orang Jawa.
Lalu nama kamu sendiri siapa? Tukijan, Tukimin, atau
Tukijem atau Tukinah?. Bukan, kamu tanpa nama, sebutan kamu adalah Roh yang
diberi kewajiban menghamba bersama empat saudara kembarmu. Juga diberi tugas menjadi
utusan, agar memperbaiki dan menjaga taman yang bernama dunia atau jonoloko.
Jangan salah paham, saudara kembar itu menyatu dengan
dirimu, tidak bisa dihilangkan salah satu, Itu makna paham keblat papat limo
pancer. Kamu adalah Sang Pancer yang harus mengharmonisasikan seluruh kekuatan
itu.
DUA
Saudara kembar pertama bernama Amarah, sepanjang itu
boleh diberi nama. Dia sahabatmu yang memberitahu, bahwa kamu tidak bisa hidup
sendiri sebagai makhluk soliter. Kamu perlu teman, kamu perlu bermasyarakat.
Penampakan Amarah adalah merah. Dalam warna
itu ada api kehidupan. Selama darah kamu itu belum beku, pertanda kamu belum
mati. Amarah berkedudukan di kutub utara. Itu sebabnya manusia Jawa yang mati
selalu dikebumikan membujur ke utara.
Saudara kembar kedua namanya Aluamah, penampakanya hitam.
Dia berada di arah matahari terbit. Kerjanya mendorong kamu untuk menjadi pemberani,
termasuk berani membunuh pada saat yang tepat, dalam berperang misalnya. Bumi
adalah sifat saudaramu yang kedua. Artinya, kamu tidak akan berumur panjang,
tanpa memakan sari-sarinya bumi.
Supiyah, itu nama saudara kembarmu yang ketiga.
Penampakannya kuning, berkedudukan menghadap ke kutub utara. Dia menyebabkan kamu
memiliki kecintaan terhadap harta benda secara berlebihan. Supiyah itu memiliki
sifat udara. Seumur hidup sebab itu kamu terfasilitsi udara.
Saudara yang keempat adalah Mutmainah. Wujudnya putih. Dia saudara kembarmu yang
memberimu kekuatan istikomah. Hanya tunduk dan takut kepada Alloh SWT, tidak
kepada yang lain. Wujudnya putih. Dia memiliki karakter air. Kamu tidak bisa
mengingkari dalam dirimu terdapat 80% elmen air. Posisi Mutmainah berada di
arah matahari terbenam. Jangan usil bertanya, kenapa sebagai muslim kalau
sholat musti mengahap ke barat. Itu pemikiran Jawa, yang tidak banyak diketahui
oleh sebagian besar orang Jawa.
Lalu nama kamu sendiri siapa? Tukijan, Tukimin, atau Tukijem
atau Tukinah?. Bukan, kamu tanpa nama, sebutan kamu adalah Roh yang diberi
kewajiban menghamba bersama empat saudara kembarmu. Juga diberi tugas menjadi
utusan, agar memperbaiki dan menjaga taman yang bernama dunia atau jono loka.
Taman giri loka dan endro loka, bukan tugas manusia seperti kamu.
Jangan salah paham, saudara kembar itu menyatu dengan
dirimu, tidak bisa dihilangkan salah satu, Itu makna sebutan keblat papat limo
pancer. Kamu adalah Sang Pancer yang harus mengharmonisasikan seluruh kekuatan
itu.
Lalu apa hubungannya antara tembang Pucung dengan keblat
papat limo pancer? Nek ini rodo angel.
TIGA
Transkrip rekaman pinisepuh itu saya baca berulang-ulang.
Paparannya cukup gamblang. Menjadi tahu, kalau aku yang anak tunggal ini
ternyata punya saudara kembar empat, se ayah seibu. Semakin kudalami semakin aku penasaran.
Dalam tembang Pucung yang satu pupuh terdiri dari lima
baris itu tersimpan ilmu luar biasa dahsyat. Ada teman yang menganalisis secara
jarwo dosok. Ilmu, kata temanku, mustahil kalau belum ketemu.
Pucung itu pelajaran ‘mati rasa’, mati sak jeroning urip.
Boleh juga itu dikatakan perang. Coba perhatikan, akhir tembang Pucung berbunyi
setya budya pangekesing dur angkara.
Demikian kata pinisepuh yang belakangan aku ketahui
bernama Ki Sodron yang pernah tinggal di tepian Kali Bening atau Kali Oya,
sungai terbesar dan terpanjang di Gunungkidul.
Mati sak jeroning urip kok disebut perang Ki? Saudara
kembar empatku itu kan energi yang tidak boleh ditiadakan. Perang berarti harus
membunuh mereka, membunuh Amarah, Aluamah, Supiyah dan Mutmainah.
Aku berbeda pemahaman. Tetapi itu sebatas kiat untuk memancing
agar lebih jauh Ki Sodron memaparkan pengertian mati sak jeroning urip.
Kamu jangan salah tafsir. Perang jangan selalu
diartikan membunuh. Menaklukkan itu merupakan
esensi perang.
Aluamah adalah Sang Pemberani. Dia bisa juga disebut Sang
Penakluk. Sementara Supiyah adalah sosok ketamakaan terhadap segala hal yang
bersifat duniawi.
Sebagai Roh, kamu harus memanfaatkan energi Aluamah untuk
mengurangi ketamaan terhadap harta benda. Ingat kamu juga punya energi Amarah yang di dalamya ada api kehidupan yang menyala
tanpa disulut. Memanfaatkan energi Aluamah secara bersamaan dengan energi
Amarah mengendalikan Supiyah inilah yang
dimaknai perang atau mati sak jeroning urip.
Kamu harus paham, penaklukan Supiyah oleh Aluamah dan Amarah
itu demi keseimbangan atau keselarasan menuju Mutmainah.
Dengan kata lain, kamu sebagai Roh harus menang dalam
mengola energi empat perkara. Roh yang berhasil mengelola energi empat perkara itulah yang disebut Roh yang memiliki Cahaya.
Dalam konsep kejawen disebut manunggaling kawulo lan Gusti. Dan Cahaya yang berada dalam dirimu itu tidak
lain adalah Sang Pemberi Hidup, Alloh SWT.
Tuhan berada dalam dirimu merupakan terjemahan bebas dari
konsep ngelmu iku kelakone kanthi laku. Kamu tidak bakal memiliki cahaya tanpa
nglakoni perang.
Aku melongo demi mendengar uraian Ki Sodron. Ilmu yang
kudapat darinya bertambah banyak, sementara penasaranku makin menggila, karena
terlalu banyak yang harus kutanyakan kepadanya.
EMPAT
Ki Sodron begitu enak menceriterakan bagaimana melakukan
mati sak jeroning urip bersama dua orang cantrik buron polisi. Gatot dan Thiwul
demikian nama samaran dua cantrik tersebut. Mereka pemakai sekaligus pengedar barang terlarang narkoba
psikotropika.
Gatot dan Thiwul diajari cara berperang, diajari cara
membunuh, diajari cara menaklukan,
diajari teknik mengelola empat saudara kembar, dengan cinta, bukan dengan benci
dan brutal.
Gatot dan Thiwul adalah saudara sepupu. Lebih dari
sepuluh tahun mereka mengalami ketergantungan pada narkoba dan psikotropika.
Orang tua mereka sudah habis-habisan. Lolos dari kejaran polisi karena mereka
sengaja hanyut diri di Kali Oya saat banjir besar.
Kala itu Ki Sodron sedang berada di beranda Padepokan.
Sekitar pukul 21.00 WIB. Gatot dan Thiwul berjalan tertatih setelah 2 jam
bergulat dengan derasnya arus Sungai Oya.
Terang-terangan mereka menuturkan riwayat terdamparnya di
kedung Watu Sipat karena sengaja melompat dari jembatan Watu Sigar menghindari kejaran polisi.
Kamu lihat sendiri,
dua tahun mereka di padepokan hidup normal, bahkan kesehatanya tidak
kalah dengan kamu. Tubuhnya kekar dan besar tidak sekurus saat mereka tiba.
Mereka begitu rajin menanam sayuran untuk kebutuhan makan sehari-hari.
Ki Sodron membeberkan dari a sampai z, bagaimana sejarah
Gatot dan Thiwul menghilangkan ketergantungan obat terlarang.
Karena manusia itu 80 % terdiri dari elmen air, kata Ki
Sodron, selepas subuh sampai ayam keluar dari kandang, mereka berkewajiban
berendam. Ini memperkuat energi Mutmainah untuk menaklukan syahwat Supiyah yang
mendorong kepada ketergantungan terhadap narkoba.
Masuk ke air di subuh hari dibutuhkan keberanian. Gak
perlu khawatir mereka punya teman Amarah. Mereka tidak akan mati terendam,
karena mereka masih bebas menghirup udara.
Ini Terapi tanpa obat. Awalnya mereka menolak namun
setelah mereka merasakan pengaruhnya, mereka terbiasa. Sudah sembuh total pun tiap pagi mereka masih suka berendam di
air.
Begutu Ki Sodrun mengajarkan kepada mereka, bagimana
seseorang melawan kebrutalan syahwat
kebendaan. Harus dengan cinta, bukan dengan benci. Kalau mereka bercita-cita
untuk cepat mati, langkahnya harus mencintai hidup. Gairah untuk hidup itu
merupakan bagian tak terpisahkan dari gairah untuk mati.
Membangun jiwa-jiwa yang malang harus dengan kelembutan.
Tidak cukup seperti polisi, tangkap dan bui. Melawan gembong narkoba tidak
cukup dengan cara dor... di Nusa
Kambangan. Menghabisi koruptor tidak bisa hanya dengan otot KPK.
Mencabut nyawa itu bukan hak manusia, bukan pula hak
presiden. Mentri kematian dari dulu sampai sekarang belum berubah masih Jendral
Izroil.
Menghabisi pecandu dan gembong narkoba, melibas koruptor,
menggepuk pelaku pungli, memang dengan hukum, tetapi mesti dibarengi dengan
kebudayaan. Dengan hukum saja, hasilnya mati satu tumbuh seribu. Hukum yang
nada-nadanya tumpul perlu ditmbah peluru yaitu dengan Gelombang Cinta,
menyatunya Roh bersama Amarah, Aluamah, Supiyah dan mutmainah.
Manusia yang dalam dirinya ada cahaya, dipastikan dia
bermanfaat bagi orang lain dan seluruh isi jagat raya. Di dalam dirinya ada
Cinta.
Kendalnya, mencintai gadis berparas buruk, tak segampang
mencitai iblis berwajah menor.
LIMA
Ki Sodron kedatangan tamu. Di pringgitan
Padepokan Watu Sipat dicecar pertanyaan
sangat sederhana. Bagaimana menjelaskan bahwa aksara Jawa jumlanya hanya 20,
berbeda dengan huruf Latin ada 26. Apa pula alasannya, aksara Jawa dikelomopokan
5-5-5-5, sementara huruf Latin 7-7-7-5.
Kuncung, pemuda yang mulai menginjak dewasa itu melempar
pertanyaan berbobot seperti tanpa beban. Padahal, menurutku itu berat banget. Soripto, Pakar kejawen yang duduk di sebelahku pun sempat
geleng-geleng.
Lima, kata Ki Sodron, itu merupakan
angka penuh misteri. Panca Sila, lima.
Kalimasada, pusaka yang dimiliki oleh lima kesatria. Tempat tinggal manusia di
alam Janaloka juga lima, lor, wetan, kidul, kulon dan tengah. Hari pasaran,
Kliwon, Legi, Pahing, Pon serta Wage, lima. Rukun Islam juga lima.
Itu semua bukan kebetulan. Cara
menghapal huruf Roma yang lebih dikenal dengan huruf Latin dikelompokkan:
ABCDEFG, HIYKLM, OPQRSTU, VWXYZ. Meski dihapal dengan pengelompokan 7-7-7-
ahirnya ditutup dengan pengelompokan 5.
Untuk mengekspresikan gagasan,
orang Jawa lebih efisien, hanya membutuhkan 20 aksara: ha-na-ca-ra-ka;
da-ta-sa-wa-la; pa-dha-ja ya-nya; ma-ga-ba-tha-nga.
Pemahaman umum aksara Jawa
disepkati memiliki makna simbolik: ana
utusan, datan suwala, pada sektine, sampyuh matine.
Esensi aksara Jawa ciptaan Aji
Saka ada pada kata ‘utusan’. Sebagai Roh
yang diberi wadag berupa daging tulang darah dan lainnya, kamu adalah utusan
yang mengemban tugas: paring teken wong kang kalunyon, paring obor wong kang
kepetengen.
Salah mengartikan tugas, apalagi
lalai menjalankan tugas, kamu tidak lebih dari bathang alias bangkai hidup.
Urip ning mati. Karyamu tidak bermanfaat pada siappapun termasuk pada dirimu
sendiri.
Supaya hidup saya berfaedah, harus
bagaimana Ki Sodron? Kuncung anak dari Goa Langse itu memotong penjelasan.
Kamu harus berani balik kanan
seperti lakunya aksara Jawa, dibaca dari kiri ke kanan layaknya membaca bahasa
Arab: nga-tha-ba-ga-ma, nya-ya-ja-dha-pa, la-wa-sa-ta-da; ka-ra-ca-na-ha.
Ini kulhu balik. Bisa membuat kamu jauh dari sengkala. Tidak hanya menjadi mayat hidup atau zombie.
Ini kulhu balik. Bisa membuat kamu jauh dari sengkala. Tidak hanya menjadi mayat hidup atau zombie.
Itu pasemon. Setiap hari, lima
kali kamu meminta dibukakan jalan yang lurus, dengan melafat Ihdinas shiraathal
mustaqiim.
Hanya pada rel yang lurus itu
hidup kamu menjadi bermakna untuk sesama, juga bermanfaat untuk dirimu sediri.
Tetapi jalan atau rel kereta api
kadang berkelok Ki Sodrun.
Kuncung yang kurus dan agak dekil
itu membantah.
Itu dinamika, dialetika juga
romantika. Pasti kamu tahu nak, rel kereta api itu 80 persen lurus. Lagian kamu
tahu to, bahwa kamu bukan wali, bukan nabi, bukan pula rosul.
Itu tidak penting. Orang lain suka
kepadamu karena tubuhmu bercahaya. Nama pemberian kedua orang tuamu siapa?
Noor Abadi Ki.
Nama yang bagus, Cahaya yang
langgeng. Sudah sekarang kamu mandi, sholat asar.
Kuncung mengambil air wudlu, usai
sholat dia minta pamit. Hujan masih berderai. Mau aku antar sampai ke jalan
aspal dia menolak. Kuncung memilih jalan di air.
Astagfirulloh, dia berjalan di
atas permukaan Oya yang banjir, laiknya
berjalan di tanah. Aku berekedip, Kuncung hilang dari pandangan, seperti ditelan arus coklat merahnya Sungai Oya.
Kuncung datang ke Padepokan Watu Sipat minta kepada Ki Sodron untuk dibantu membunuh Supiyah dengan gelombang cinta-NYA
Kuncung datang ke Padepokan Watu Sipat minta kepada Ki Sodron untuk dibantu membunuh Supiyah dengan gelombang cinta-NYA