Senin, 26 September 2016

Kemelut Permusuhan Elit Nasional Berkepanjangan 3


AHOK-AHY, dok Tempo & Kompas

KELOMPOK  ‘ABA DAN ABME’  MULAI  ‘RAKIT SENJATA

Mau irit, Pilkada DKI Jakarta mestinya cukup 1 putaran  dengan dua pasang cagub, tetapi jika ingin menghamburkan duit rakyat, obsinya pasti jatuh dua putaran, denga 3 pasang cagub. Dari sisi yang berbeda, dimunculkannya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) tidak lepas dari imbas perseteruan nasional antara Mega-SBY. Di samping itu juga untuk mengrem syahwat politik Gerindra dan PKS.

Seperti diketahui. Cikeas tidak merasa perlu rembugan dengan Gerindra dan PKS dalam memunculkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni (Agsy), karena PPP, PAN dan PKB bersama Demokrat telah mencukupi untuk mengusung pasangan calon Gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Sikap itu diinisiasi SBY, Setelah Megawati Soekarno Putri menyatakan mengusung petahana.  Perang dingin, berubah menjadi perang terbuka. SBY bertekad menundukkan Mega, terlepas dari hasilnya nanti seperti apa. Tentu ini melalui kalkulasi politik versi SBY. Atau dia ingin mengulang kemenangan saat berebut kursi presiden tempo hari.

Yang santer terdengar saat ini bukan isu SARA melainkan isu ABA (Asal Bukan Ahok). Tetapi bagi pengikut SBY lain lagi, ABME (Asal Bukan Mega). Ini konsekuensi logis dari perilaku ‘jothakan’ yang berlarut-larut. Pasukan ABA dan ABME, selepas pendaftaran di KPU, resmi berhadapan lengkap dengan ‘persenjataan’ yang mereka miliki.

Suara di luaran, SBY dianggap terlalu tega memakan anak sendiri dengan mengorbankan putra sulung. AHY harus keluar dari jajaran TNI AD cukup dengan pundak Mayor.

“Kemunculan AHY selaku calon gubernur DKI disayangkan banyak pihak karena itu dianggap  prematur. Dari sisi kacamata yang berbeda, sesungguhnya sekarang inilah saat yang paling tepat,” kata Budi Utama politisi, mantan Ketua  DPRD  Gunungkidul, Senin 26/9/2016.

Selama ini SBY bungkam terhadap kandidat yang bermunculan, termasuk enggan omong calon dari internal Demokrat, karena sesungguhnya SBY sedang membuat kalkulasi politik untuk menciptakan momentum bagi AHY.

Perhitungan Budi Utama mengapa SBY mengambil langkah serupa, setidaknya mempertimbangkan 3 hal. Pertama kemandegan karier  AHY pada dinas kemiliteran. Kedua, Ibas tidak mampu ‘berkibas’. Ketiga estafet kepemimpinan demokrat pasca SBY ada di tangan AHY. Dia, SBY sudah merasa terlalu tua untuk menjadi ketua partai.

Terpilih dan tidaknya AHY menurut Budi Utama, tidak menjadi soal, tetapi kepentingan jangka panjang bisa lebih terjamin.

Siapa yang bakal menjadi ‘ayam sayur’? AJAR (Ahok-Jarot) atau AGSY (Agus-Sylviana) semua bergantung pada masyarakat DKI Jakarta.

Tidak selamanya perseteruan politik itu jelek. Akibat perseteruan, ongkos Pilkada bisa lebih irit. Itu sepanjang calonnya dua pasang.

Jangan salah sangka, sisi positif perseteruan hanya itu, tak ada yang lain. Buruknya lebih banyak. Yang pasti, dari sisi kepatutan ‘ora wangun’, negarawan kok jothakan.

Perseteruan nasional memicu perilaku saling sindir  antara yang berada di dalam kekuasaan dengan yang berada di luar system. Tidak ada nafas kebersamaan.

Secara umum, perlilaku pemimpin DKI pasca pilkada kemungkinan bakal  seperti itu. Padahal, Presiden Joko Widodo sedang giat-giatnya mengibarkan karakter gotong royong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...