AHOK-AHY, dok Tempo & Kompas |
KELOMPOK ‘ABA DAN ABME’ MULAI ‘RAKIT
SENJATA’
Mau irit,
Pilkada DKI Jakarta mestinya cukup 1 putaran dengan dua pasang cagub, tetapi jika ingin menghamburkan
duit rakyat, obsinya pasti jatuh dua putaran, denga 3 pasang cagub. Dari sisi yang
berbeda, dimunculkannya AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) tidak lepas dari imbas
perseteruan nasional antara Mega-SBY. Di samping itu juga untuk mengrem syahwat
politik Gerindra dan PKS.
Seperti diketahui.
Cikeas tidak merasa perlu rembugan dengan Gerindra dan PKS dalam memunculkan
pasangan Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni (Agsy), karena PPP, PAN dan
PKB bersama Demokrat telah mencukupi untuk mengusung pasangan calon Gubernur
pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Sikap itu
diinisiasi SBY, Setelah Megawati Soekarno Putri menyatakan mengusung petahana. Perang dingin, berubah menjadi perang terbuka.
SBY bertekad menundukkan Mega, terlepas dari hasilnya nanti seperti apa. Tentu ini
melalui kalkulasi politik versi SBY. Atau dia ingin mengulang kemenangan saat
berebut kursi presiden tempo hari.
Yang santer
terdengar saat ini bukan isu SARA melainkan isu ABA (Asal Bukan Ahok). Tetapi bagi
pengikut SBY lain lagi, ABME (Asal Bukan Mega). Ini konsekuensi logis dari
perilaku ‘jothakan’ yang berlarut-larut. Pasukan ABA dan ABME, selepas
pendaftaran di KPU, resmi berhadapan lengkap dengan ‘persenjataan’ yang mereka
miliki.
Suara di
luaran, SBY dianggap terlalu tega memakan anak sendiri dengan mengorbankan putra
sulung. AHY harus keluar dari jajaran TNI AD cukup dengan pundak Mayor.
“Kemunculan
AHY selaku calon gubernur DKI disayangkan banyak pihak karena itu dianggap prematur. Dari sisi kacamata yang berbeda,
sesungguhnya sekarang inilah saat yang paling tepat,” kata Budi Utama politisi,
mantan Ketua DPRD Gunungkidul, Senin 26/9/2016.
Selama ini SBY bungkam terhadap kandidat yang bermunculan, termasuk
enggan omong calon dari internal Demokrat, karena sesungguhnya SBY sedang
membuat kalkulasi politik untuk menciptakan momentum bagi AHY.
Perhitungan
Budi Utama mengapa SBY mengambil langkah serupa, setidaknya mempertimbangkan 3
hal. Pertama kemandegan karier AHY pada
dinas kemiliteran. Kedua, Ibas tidak mampu ‘berkibas’. Ketiga estafet
kepemimpinan demokrat pasca SBY ada di tangan AHY. Dia, SBY sudah merasa
terlalu tua untuk menjadi ketua partai.
Terpilih dan
tidaknya AHY menurut Budi Utama, tidak menjadi soal, tetapi kepentingan jangka
panjang bisa lebih terjamin.
Siapa yang bakal menjadi ‘ayam
sayur’? AJAR (Ahok-Jarot) atau AGSY (Agus-Sylviana) semua bergantung pada masyarakat
DKI Jakarta.
Tidak selamanya perseteruan politik
itu jelek. Akibat perseteruan, ongkos Pilkada bisa lebih irit. Itu sepanjang
calonnya dua pasang.
Jangan salah sangka, sisi positif
perseteruan hanya itu, tak ada yang lain. Buruknya lebih banyak. Yang pasti, dari
sisi kepatutan ‘ora wangun’, negarawan kok jothakan.
Perseteruan nasional memicu
perilaku saling sindir antara yang
berada di dalam kekuasaan dengan yang berada di luar system. Tidak ada nafas
kebersamaan.
Secara umum, perlilaku pemimpin
DKI pasca pilkada kemungkinan bakal seperti itu. Padahal, Presiden Joko Widodo
sedang giat-giatnya mengibarkan karakter gotong royong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda