Tidak pernah
diduga sama sekali, bahwa tembang dolanan seperti Dayohe Teko, Sluku-Sluku Bathok
dan Gundhul-Gundhul Pacul yang dikenal
berabad-abad lamanya itu merupakan karya puisi bebas kategori mbeling
pada jamannya. Secara kontekstual ketiga puisi tidak hanya menyindir, tetapi
menampar telak terhadap perilaku manusia Indonesia sejak abad 13 hingga 20.
Puisi yang
dikenal dalam sastra moderen selama ini karakternya elitis individual. Dikatakan elitis karena
yang bisa menikmati hanya kalangan terdidik yang memiliki kepekaan tertentu. Disebut
karya individual karena setiap puisi pasti
dicantumkan nama pengarang. Ciri lain, secara umum puisi moderen tidak mudah
dihafal.
Rohaniwan
sekaligus budayawan, Dick Hartoko dalam buku Pemandu di Dunia Sastra
menyatakan, puisi sebagai lawan dari prosa. Puisi, kata Peter Dick, ini sapaan
akrab Dick Hartoko, merupakan ungkapan rasa yang menggunaan bahasa terikat.
Keterikatan
itu meliputi: paralelisme, metrum, rima, pola bunyi dan lainnya. Sementara dalam
karya prosa hal itu tidak terjadi, karena karya prosa merupakan ungkapan yang menggunakan bahasa secara bebas.
Puisi Dayohe
Teko, Sluku-Sluku Bathok dan Gundhul-Gundhul
Pacul, corak serta karakternya begitu unik. Sangat puitis tetapi
prosaik. Anonim, artinya pengarag tidak diketaui, mudah dihapal dan penikmatnya
tidak terbatas, mulai dari anak ingusan sampai kakek-nenek.
Dayohe Teko agak
mirip dengan puisi mbeling asuhan Remy Sylado atau Yopi Tambayong yang banyak
ditulis di majalah Aktuil 1972. Sifat puisi mbeling, menurut Dick adalah:
nakal, sukar diatur, suka memberontak, dan kurang ajar.
Sementara
menurut Sapardi Djoko Damono, penyair
yang kesohor dengan kupulan puisi Dukamu Abadi, ciri puisi mbeling
adalah kelakar, kritik dan ejekan terhadap sikap sungguh-sungguh dari penulis
dalam mengahadapi karya puisi.
Secara
kontekstual Dayohe Teko, Sluku-Sluku Bathok dan Gundhul-Gundhul Pacul memenuhi
syarat sebagai puisi prosa yang mbeling. Bahkan kembelingannya ngelantur tembus
sampai ke jaman yang serba moderen.
Cak Nun,
(Emha Ainun Nadjib), budayawan kelahiran Jombang 1951 menyatakatan, manusia
mederen tidak merasa tersindir meski langkahnya diacak-acak oleh puisi Dayohe
Teko, karena selalu salah dalam mengabil keputusan ketika menerima tamu.
Dayoh, oleh
penulis puisi Sajak Sepanjang Jalan ini
ditafsirkan sebagai warga asing yang mulai datang ke Jawa Dwipa (sekarang Indonesia) pada akhir abad ke 12,
awal abad ke 13.
Siapa yang
dimaksud Dayoh oleh penceramah yang tak pernah berhenti ngomong bersama Kyai
Kanjeng ini? Ikuti tulisan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda