Selasa, 06 September 2016

DAYOHE TEKO, SINDIRAN MENAPUK MUKA



Tidak pernah diduga sama sekali, bahwa tembang dolanan seperti Dayohe Teko, Sluku-Sluku Bathok dan  Gundhul-Gundhul Pacul yang dikenal berabad-abad lamanya itu merupakan karya puisi bebas kategori mbeling pada jamannya. Secara kontekstual ketiga puisi tidak hanya menyindir, tetapi menampar telak terhadap perilaku manusia Indonesia sejak abad 13 hingga 20. 

Puisi yang dikenal dalam sastra moderen selama ini karakternya  elitis individual. Dikatakan elitis karena yang bisa menikmati hanya kalangan terdidik yang memiliki kepekaan tertentu. Disebut karya individual karena setiap puisi  pasti dicantumkan nama pengarang. Ciri lain, secara umum puisi moderen tidak mudah dihafal.

Rohaniwan sekaligus budayawan, Dick Hartoko dalam buku Pemandu di Dunia Sastra menyatakan, puisi sebagai lawan dari prosa. Puisi, kata Peter Dick, ini sapaan akrab Dick Hartoko, merupakan ungkapan rasa yang menggunaan bahasa  terikat.

Keterikatan itu meliputi: paralelisme, metrum, rima, pola bunyi dan lainnya. Sementara dalam karya prosa hal itu tidak terjadi, karena karya prosa merupakan  ungkapan yang menggunakan bahasa secara bebas.  

Puisi Dayohe Teko, Sluku-Sluku Bathok dan  Gundhul-Gundhul Pacul, corak serta karakternya begitu unik. Sangat puitis tetapi prosaik. Anonim, artinya pengarag tidak diketaui, mudah dihapal dan penikmatnya tidak terbatas, mulai dari anak ingusan sampai kakek-nenek.

Dayohe Teko agak mirip dengan puisi mbeling asuhan Remy Sylado atau Yopi Tambayong yang banyak ditulis di majalah Aktuil 1972. Sifat puisi mbeling, menurut Dick adalah: nakal, sukar diatur, suka memberontak, dan kurang ajar.

Sementara menurut Sapardi Djoko Damono, penyair  yang kesohor dengan kupulan puisi Dukamu Abadi, ciri puisi mbeling adalah kelakar, kritik dan ejekan terhadap sikap sungguh-sungguh dari penulis dalam mengahadapi karya puisi.

Secara kontekstual Dayohe Teko, Sluku-Sluku Bathok dan  Gundhul-Gundhul Pacul memenuhi syarat sebagai puisi prosa yang mbeling. Bahkan kembelingannya ngelantur tembus sampai ke jaman yang serba moderen.

Cak Nun, (Emha Ainun Nadjib), budayawan kelahiran Jombang 1951 menyatakatan, manusia mederen tidak merasa tersindir meski langkahnya diacak-acak oleh puisi Dayohe Teko, karena selalu salah dalam mengabil keputusan ketika menerima tamu.

Dayoh, oleh penulis puisi  Sajak Sepanjang Jalan ini ditafsirkan sebagai warga asing yang mulai datang ke Jawa Dwipa  (sekarang Indonesia) pada akhir abad ke 12, awal abad ke 13.

Siapa yang dimaksud Dayoh oleh penceramah yang tak pernah berhenti ngomong bersama Kyai Kanjeng ini? Ikuti tulisan berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...