Jumat, 09 September 2016

SEPTEMBER KELABU, SEKELUMIT CERITA SOEHARTO



1.   AWALNYA SOEHARTO BUKAN SEORANG NASIONALIS

Fakta mengejutkan, dokumen otentik yang secara tersurat diakui secara terang-terangan, Soeharto yang Presiden RI ke II itu, pada awalnya bukan seorang nasionalis. Penguasa Orde Baru selama 32 tahun tersebut, egonya sedemikian menonjol. Dia lebih mengutamakan nasib diri sendiri ketimbang nasib bangsanya. 

Tetapi karena ditempa waktu, patriotisme Soeharto muncul, mirip yang dilakukan Raden Wijaya Raja Maja Pahit pertama, memanfaatkan Tentara Tar Tar tahun 1293 tempo dulu.

Dilacak dari berbagai leteratur, karier militer Soeharto, dikaitkan dengan nasionalisme, sampai hari ini masih ada dua pendapat yang secara tajam bertentangan. 

Satu sisi dikemukakan, bahwa Soeharto adalah pemimpin militer baik pada jaman penjajahan Belanda maupun pada masa pendudukan Jepang.
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal,” demikian seperti ditulis Wikipedia.

Uraian seperti tertuang pada Wikipedia mengandung pengertian, bahwa Soeharto adalah ‘pejuang’, berseiring dengan Bung Karno, Bung Hata, Bung Syahir, dan yang lain.

Catatan pada Wikipedia twrsebut sangat berbeda dengan ucapan Soeharto yang termuat pada otobiografi yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH.

Karier Soeharto dimulai dari Bank Desa sebagai pembantu klerek / juru tulis / juru pembukuan karena tuntutan atau kepentingan ekonomi keluarga. Begitu pula ketika mendaftar menjadi tentara KNIL di Gombong serta melamar menjadi Polisi pada jaman pendudukan Jepang di Patuk, Yogyakarta.

“Saya berusaha kian kemari mencoba mendapatkan sumber nafkah. Tetapi tidak juga berhasil. Akhirnya saya kembali ke Wuryantoro, tempat banyak kenalan yang saya harapkan bisa membuka jalan,” tutur Soeharto seperti ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH dalam Otobiografi halaman 16 – 17.

Dari ucapan di atas, tidak terlihat sedikitpun, bahwa Soeharto memiliki kepedulian terhadap nasib bangsa yang berada di cengkeraman penjajah. 

“Setelah banyak jalan yang saya tempuh, akhirnya saya diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks-Bank). Walaupun saya tidak begitu senang dengan pekerjaan ini, saya anggap lebih baik melakukannya daripada nganggur di tengah suasana yang muram,” demikian Suharto memperjelas kemauan kuatnya dalam hal mencari pekerjaan.

Jemu menjadi pembantu klerek, Soeharto melamar menjadi tentara Koninkljk Nederlands Indisch Leger (KNIL) Tentara kerajaan Hindia Belanda. Upaya inipun tidak lepas dari motif memperbaiki nasib diri sendiri.

Tak dinyana, kata Soeharto, kesempatan datang untuk melamar masuk KNIL. Pada mulanya sama sekali tidak saya kira bahwa lamaran yang saya ajukan akan merupakan anak kunci yang membuka pintu lapangan hidup yang menyenangkan.

Menurut pengakuannya, bekerja pada dinas ketentaraan Belanda dia berpangkat sersan. Tanggal 8  Maret 1942 pecah perang dunia ke 2, Soeharto pun berbelok. Identitas KNIL-nya dia sebunyikan. Dia melamar masuk polisi yang bermarkas di tangsi Patuk Yogyakarta.

“Pada suatu hari saya membaca pengumuman polisi yang menyebutkan keibuho, polisi menerima anggota baru. Mulanya saya ragu, apakah saya sudah aman dari mata Jepang. Tetapi kemudian saya memberanikan diri. Saya mendaftar,” tutur Soeharto.

Oleh  opsir Jepang, Soeharto disarankan masuk PETA bentukan Jepang, yang baru saja dibuka. Soeharto mengaku, melamar ke PETA dan diterima. Tetapi karena identias KNIL-nya disenmbunyikan maka dia diterima sebagai Shodanco, padahal sebenarnya dia bisa menjadi Heiho

Saat bergabung dengan PETA bentukan Jepang inilah Soeharto  merasakan ada susana hati yang berbeda.  “Dalam latihan PETA ini terasa hidup patriotisme, kecintaan untuk membela tanah air,” kata dia.

Soeharto senafas dengan Raden Wijaya, menantu Kertanegara / Joko Dolog. Awalnya dia bergabung dengan tentara Tar Tar untuk menghancurkan Jaya Katwang Raja Kediri. Setelah itu, berbalik melibas prajurit dari negeri Cina utusan Kubilai Kan demi kejayaan Singasari yang dia boyong ke Maja Pahit.

Soeharto awalnya egois, tetapi belakangan berubah menjadi  patriotis. Ada pertanyaan sederhaha, apakah egoisme itu hilang atau masih terbawa pada masa dia berkuasa?


2.   SOEHARTO MENYATAKAN BUNG KARNO SEORANG MARXIS
 
Dalam video berdurasi 37 menit 11 detik, yang diunggah di You Tube  27 Juni silam, secara tersirat, Soeharto Presiden RI ke II  menuding Soekarno Presiden RI ke I sebagai penganut fanatik ideologi Marxisme.

Walaupun toh sudah kembali ke UUD 1945, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959, menurut Soeharto pelaksanaan UUD 1945 tetap tidak pernah dijalankan secara murni dan konsekuen.

“Pelaksaannya sampai tahun 1965 tidak sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945,” tutur Soeharto mengawali tudingannya.

Dari sisi ideologi Soeharto memahami, mengapa lembaga tinggi negara maupun kekuasaan presiden selaku mandataris MPRS tidak segera diselaraskan dengan UUD 1945.

Soeharto menunjuk, landasan perjuangan ideologi Presiden Soekarno adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Menurutnya, hal itu berbeda dengan Marxisme yang diterapkan di Eropa Timur.

“Perbedaannya apa? Marxisme yang diterapkan di sana merupakan perjuangan kelas.”  Papar penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu.

Marxisme di negara-negara Eropa Timur, yang digerakkan adalah rakyat. Mereka tidak memiliki alat produksi yang kemudian disebut kaum proletar. Di sana, kata Soeharto, kemudian terjadi diktator proletariat.

Sementara yang diberlakukan Indonesia, menurut Soeharto adalah Marxisme yang dibungkus dengan Marhaenisme.

Dikatakan, hal ini merupakan konsep Bung Karno untuk merealisasikan cita-citanya dalam membangun bangsa dan negara. Kaum Marhaen, berbeda dengan proletar, sekecil apapun Marhaen masih memiliki alat produksi.

Kristalisasi dari Marxisme yang berganti baju menjadi Marhanisme, berdasarkan analisis Soeharto, Presiden Soekarno berusaha mempersatukan semua kekuatan dan ideologi yang berkembang di Indonesia.

Mereka diajak duduk satu meja untuk menyamakan pandangan dalam mencapai cita-cita bersama. “Dalam rangka inilah kemudian timbul NASAKOM, Nasionalis, Agama dan Komunis,” simpul Soeharto.

Meski Bung Karno itu menyatakan diri sebagai menerapkan paham Marhaenisme, tetapi di mata  Soeharto, Bung Karno tetap tidak bisa meninggalkan ajaran Marxisme. Benarkah Bung Karno seorang Marxis. Lebih dari itu, benarkah ada praduga bahwa Bung Karno adalah seorang Komunis?


3.   SEJAK 1958, BUNG KARNO DICURIGAI BERPIHAK KEPADA KOMUNIS

Cukup lama Soeharto memperhatikan sepak terjang komunis (PKI) di Indonesia. Kosep NASAKOM yang digagas Presiden Soekarno menjadi catatan khusus bagi Jendral yang murah senyum ini. Menurutnya,  Komunis bisa membahayakan Pancasila, tetapi Bung Karno berseberangan.

“Itu sudah saya ketahui sejak tahun 1958, pada waktu saya menjadi Panglima Devisi Diponegoro,” tutur Soeharto sembari memegang mikrophone dengan senyuman yang khas.

Kepada Presiden Soekarno dia mengajukan pertanyaan, “Pak  di Jawa Tengah PKI itu menang. Apakah tidak membahayaken Pancasila?” 

Jawaban Presiden kala itu menurut Soeharto sangat tidak memuaskan. “Kenyataan PKI mendapat dukungan rakyat, maka kekuatannya harus kita perhitungkan,” demikian Soeharto menirukan jawaban Presiden kala itu.

Menurut Soeharto, Presiden Soekarno akan memperjuangkan agar PKI bisa berubah menjajadi PKI yang berjiwa Pancasila. Dengan rasa tak percaya Soeharto bertanya, “Apa mungkin Pak?”

Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno dengan tegas menjawab, “Ini perjuangane Bapakmu, Serahkan pada saya, kamu gak usah ikut-ikut.”

Dari jawaban sesimpel itu, Soeharto bisa menangkap dan merasakan, bahwa Presiden Soekarno tidak akan menghilangkan PKI, apalagi membubarkan.

Konsep NASAKOM, kata Soeharto sembari terus mengumbar senyum, sedemikian kuat diperjuangkan oleh Bung Karno, tidak hanya di dalam negri, tetapi juga ke luar negri melalui forum PBB.

Kecurigaan Soeharto di tahun 1958, meledak tujuh tahun kemudian, yakni pada peristiwa prembrontakan G 30 S PKI 1965. Ketika diminta ikut menguasai keadaan, Soeharto setengah mengingatkan, bahwa di tahun 1958 PKI telah dibilang sangat membahayakan Pancasila.

Peristiwa telah terjadi, dan tujuh Jendral gugur di tengah keganasan PKI. Dalam hal ini Soeharto heran, karena kematian para jendral hanya dianggap sebagai sebuah riak kecil.

“Ah mosok matinya para jendral satu hal yang kecil. Baiklah, tetapi bagi saya yang penting bukan jendralnya. Tetapi PKI benar-benar telah mengancam Pancasila,” demikian tutur Soeharto menahan diri sekaligus memberontak.

Kemudian konflik baru pun terjadi. Masyarakat menuntut agar PKI dibubarkan, sementara Presiden Soekarno kukuh mempertahankan konsep NASAKOM yang terlanjur dia jual di ranah Persatuan Bangsa-Bangsa.

Di titik inilah bargaining / tawar menawar politik antara Soeharto dengan Soekarno mulai tampak. Soeharto dalam strategi mendesak, Presiden Soekarno mulai terjepit tetapi ngotot bertahan, tidak mau membubarkan PKI.

  
4.   TARIK ULUR PEMBUBARAN PKI SOEHARTO SIAP JADI BUMPER

Untuk bisa membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dialog intensif empat mata Soeharto-Soekarno membutuhkan waktu berbulan-bulan.

“Mulai 2 Oktober 1965 sampai 10 Maret 1966,” ujar Soeharto menjelaskan rentang waktu yang dibutuhkan dalam bernegosiasi dengan Presiden Soekarno, untuk keperluan membubarkan partai berlambang Palu Arit tersebut.

Dalam proses dialog Soeharto mengaku, bahwa usulan pembubaran PKI tak kunjung disetujui. Yang didapat bukan persetujuan melainkan kemarahan.

“Tetapi saya tidak menunjukkan rasa menentang. Saya mengatakan bahwa rakyat masih percaya,” kata Soeharto.

Dikatakan pula, manakala Presiden Soekarno tidak melawan arus rakyat, semua elemen masyarkat masih tetap mendukung untuk menyelesaikan revolusi.

Di tengah dialog seru, Soeharto ditantang Presiden Soekarno. “Kamu prajurit, aku Panglima Tertinggi. Kamu musti tunduk. Bubarkan itu KAMI / KAPI,” ujar Soeharto menirukan perintah Presiden Soekarno.

“Janganlah Pak kasihan. Mereka itu yang mendukung perjuangan. PKI itu yang harus dibubarkan,” di sini Soeharto mulai melawan secara halus. Tak pelak, menurut pengakuan Soeharto, Presiden Soekarno tambah marah.

Har, ujar Presiden Soekarno, sebagaima ditirukan Soeharto. Kamu harus tahu, aku ini bukan sekedar pemimpin Indonesia, tetapi sudah pemimpin dunia. Saya sudah terlanjur menjual konsep NASAKOM itu kepada dunia. Sekarang saya harus membubarkan PKI? Berarti kan mencabut konsep. Lalu di mana muka saya?

Menanggapi kegelisahan Presiden Soekarno, pemimpi Orde Baru itu menjawab diplomatis. “Kalau gitu gampang Pak, sesuai ajaran Bapak yang penting kita mendahulukan kepentingan nasional. Setelah kepentingan ke dalam, baru kita melangkah ke luar.”

Supaya Presiden tidak menanggung aib di mata dunia, Soeharto menyarankan, perihal pembubaran PKI  biar dia yang melakukan. “Jadikan saya bumper,” ujarnya tegas.

Dengan cara begitu, menurut perhitungan Soeharto yang dituding oleh dunia sebagai biang yang membubarkan PKI adalah dirinya, bukan Presiden.

Dinamika, dialektika dan romantika sejarah berbicara lain. Presiden Soekarno tetap tidak menyetujui terhadap rencana pembubaran PKI. Sampai pada saatnya Presiden memanggil Soeharto dalam suasana batin yang mulai berubah. Benarkah Soekarno makin gelisah?


5.   SOEKARNO GOYAH, SOEHARTO MENGINCAR KEKUASAAN

Tidak seorang pun tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran serta benak Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno. Dalam situasi sangat tidak resmi, karena hanya mengenakan celana kolor dan berkaos oblong, dia memanggil Soeharto menghadap kepadanya.

“Har, jane aku ki arep mbok kapake?” kata Soeharto mengutip ucapan Bungkarno, saat dia menghadap di Istana Negara.

Pertanyan di atas,  mencerminkan adanya efek psikhologis, karena akumulasi dari dialog intensif dengan Soeharto terkait dengan pergolakan September 1965. Diakui Soeharto, bahwa pertanyaan tersebut membuat dirinya trenyuh / tersentuh.

Sangat wajar di satu sisi Bung Karno menghadapi tekanan politik, juga himpitan ekonomi yang luar biasa, sisi lain Soeharto dengan tameng KAMI / KAPI terus merangsek agar PKI segera dibubarkan.

Menanggapi pertanyaan Presiden Soekarno, Soeharto menjelaskan bahwa dia mencoba merealisasikan kekudangan kedua orang tuanya. Dia berkehendak mikul dhuwur mendhen jero. Bung Karno dalam konteks pembubaran PKI hendak diperlakukan seperti itu.

Tetapi, kata Soeharto yang hendak dipikul dhuwur dipendhem jero tidak mau. Di sini tetap ada perbedaan dalam hal mengatasi keadaan. Bung Karno tidak mungkin membubarkan PKI karena pertimbangan politik ke dalam dan ke luar.

Seingat Soeharto, dia menghadap Presiden kala itu tanggal 1 Maret 1966. Dia menyatakan sama sekali tidak ada niat menumbangkan Bung Karno.


6.   SOEHARTO MENGAKU, SUPERSEMAR DIBUAT RANGKAP ENAM

Tanggal 11 Maret 1966 Kabinet Dwikora bersidang. Soeharto  tidak hadir lantaran sakit tenggorokan. Tetapi dia  bercerita, bahwa Istna dikepung oleh pasukan  tak dikenal. Presden Soekarno dalam keadaan gusar dan memprihatinkan  terbang ke Bogor. Berikutnya diikuti para Wakil Perdana Mentri (Waperdam).

Beberapa menit setelah kepergian Bung Karno ke Istana Bogor, rencana yang sangat berlian pun berjalan.

“Kemudian tiga perwira, yang dua menjadi mentri, yang satu Panglima Kodam yakni Pak Basuki Rahmad, M Yusuf dan Amir Mahmud sebagai panglima Kodam mempunyai ide untuk menemani Bung Karno,” tutur Soeharto.

Tiga perwira itu, ujar Soeharto, ingat kalau masih punya atasan. Sebelum berangkat ke Bogor mereka melapor kepadanya. Berhubung pada sidang kabinet tidak bisa hadir sebab sakit tenggorokan, melalui mereka Soeharto titip salam hormat.

Di samping itu ketiga perwira tersebut juga diminta menyampaikan pesan kunci yang bunyinya, “Kalau saya diberi kepercayaan keadaan ini akan saya atasi.”

Disampaikan kepada Bung Karno, bahwa kekacauan akan terkendali dan mereda kalau dipercayakan kepada Soeharta. Kala itu menurut penuturan Soeharto, Panglima Tertinggi marah besar.

Ide pun terus bergulir, dipandang perlu adanya perintah tertulis. Akhirnya dibuat  hitam di atas putih yang kemudian terkenal dengan Supersemar. Menurut Soeharto perintah tersebut disiapkan rangkap enam.

Ya sudah kalau gitu, demikian Soeharto menirukan ucapan Bung Karno,   surat tertulis dibuat tiga ditambah untuk semua Waperdam, Bandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh.

“Isi Supersemar memberi wewenang kepada saya untuk mengambil tindakan bilamana perlu atas nama beliau,” ujar Soeharto.

Surat tersebut setelah ditandatangani, diterimakan kepada tiga  perwira   langsung dibawa terbang ke ibukota.  Sampai di Jakarta sekitar menjelang isyak. Setelah membaca isi surat, Soeharto memberi perintahkan  singkat dan tegas, ”Bubarkan PKI.”

Cita-cita Soeharto terlaksana sudah. Kalau Bung Karno marah, dia menyatakan bertanggungjawab penuh atas pembubaran tersebut. Soeharto sangat yakin, bawha Presiden tidak bakalan murka karena  sebelumnya hal pembubaran itu telah didiskusikan secara empat mata.

Menyusul kemudian tanggal 13 Maret Leimena menemui  Soeharto karena didamprat Presiden terkait dengan langkah pembubaran PKI.

“Mas Harto, apa ndak keliru itu bubarkan PKI,” tanya Leimena.
Seharto menjawab dengan tenang, ”Ndak.”

“Di surat itu tidak ada perintah,” desak Leimena.
“Ya memang ndak ada,” jawab Soeharto kalem.

Soeharto menenangkan Leimena, bawa itu semua merupakan tanggungjawabnya. Ternyata Realitas berbicara, ketika kembali ke Jakarta Bung Karno memang tidak marah.

Supersemar yang kemudian dijadikan  payung atau legalitas pembubaran PKI adalah tonggak kemenangan Soeharto. Yang asli tentu hanya satu, sementara lima yang lain berupa tembusan / tindasan itu menjadi teka-teki aneh, karena seperti lenyap ditelan bumi. Lenyap, atau dilenyapkan?

“Walaupun temen-temen saya, kolega saya mengajak. Kekuasaan di tangan kita. Kenapa harus kita tunggu-tunggu. Sudah kita gulingken saja?” aku Soeharto pada menit ke 21 detik ke 31.

Dengan gaya yang khas, Soeharto mengataknan, bahwa dirinya tidak ada pikiran ke arah kudeta. Dia bahkan mempersilakan para kolega untuk melakukannya, tetapi dirinya tidak turut campur.

Maunya dia, peralihan kekuasaan itu harus secara konstitusional. Akibatnya, oleh para kolega Soeharto dianggap terlalu berpegang teguh pada falsafah Jogja, andhong alon alon waton kelakon.

Mereka itu, yang dimakusud adalah teman-teman Soeharto, hanya melihat alon-alonnya. “Mereka nggak ngerti,  yang peting kan kelakonnya itu,” kata Soeharto sembari tertawa.

Tanpa disadari, yang baru saja Soeharto ucapkan ternyata merupakan kalimat kunci, bahwa sesunggunhya dia dan teman-temannya saat itu memang mengincar kekuasaan.


7.   SEKENARIO SEJARAH, PRESIDEN DISERET KE MEJA KONSTITUSI


Ketika didesak oleh rekan sesama militer untuk menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto menolak. Dia memilih prosedur konstitusional. “Saya tidak mau menodai Angkatan Perang,” tampiknya.

Usai membubarkan PKI, legal formal, cita-cita Soeharto sudah berada di depan mata. Bung Karno akhirnya terseret ke meja konstitusi. Kongkritnya, MPRS meminta agar Presiden Soekarno menjelaskan peristiwa G 30 S PKI.

Yang keluar bukan penjelasan, tetapi pidato Nawaksara yang intinya membela konsep NASAKOM. Celaka, pidato Presiden ditolak MPRS. Kemudian  terjadi konfrontasi antara Presiden dengan legeslatif.

Mantan tentara KNIL yang berpangkat sersan pada jaman penjajahan Belanda ini pun bilang, “Lha saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa.”

Sidang MPRS  seperti itulah yang digalang Soeharto untuk memuluskan perjalanannya masuk ke pintu istana secara konstitusional. Pembubaran PKI  dan ormas-ormasnya merupakan bagian skenario yang dia ciptakan. 

Benang merah skenario itu kasad mata. Meski PKI telah berhasil dibubarkan, Soeharta masih mendesak Presiden untuk ngegongi, bahwa pembubaran tersebut adalah sepengetahuan Pemimpin Besar Revolusi. Tetapi Soekarno bukan politisi ingusan. Desakan Soeharto,  tak kunjung dituruti.

Sidang terus menggelinding MPRS meminta, agar pidato pertanggunjawaban itu dilengkapi dan diperbaiki. Menurut penuturan Soeharto, Presiden tidak bisa melengkapi. “Konsekuensinya apa? Ya mandatnya dicabut,” papar Soeharto, pada menit 21.25.

Begitu dicabut, kata Soeharto, pada bingung siapa yang harus melanjutkan perjuangan menggantikan beliau. Berikutnya menurut pengakuannya, dia diminta untuk bersedia sebagai pengganti.

“Ndak, saya tidak mimpi menjadi presiden. Tidak mempersiapkan diri menjadi presiden. Tidak mempunyai pengetahuan menjadi presiden,” ujarnya merendah.

Dalam hal ini agak bertentangan dengan pernyataannya ketika dia dibujuk untuk menggulingkan Bung Karno oleh kolega-koleganya. Kala itu Soeharto menyatakan, alon-alon waton kelakon dengan penekannya pada kata kelakon.  Soeharto nampaknya masih harus bersandiwara dan jual mahal.

Dalam keadaan darurat oleh MPRS diputuskan, yang melanjutkan kepemimpinan Presiden Soekarno dipercayakan kepada pengemban Tap MPRS No IX. “Karena apa waktu itu Supersemar oleh MPRS telah dikukuhkan dalam Tap MPRS No. IX, mempunyai kekuatan konstitusional,” papar Soeharto dengan senyum yang terus melebar.

Penguasa Orde Baru itupun masih berusaha merendah. Dia menyatakan tidak sanggup jadi Presiden. “Saya minta untuk diangkat menjadi penjabat saja,” ujarnya.

Setahun dia melaksanakan sebagai penjabat. Baru kemudian di tahun 1968 oleh MPRS dia diangkat menjadi Presiden RI ke II.
Alon-alon, akhirnya kelakon naik menjadi penguasa selama 32 tahun. Soeharto memang seorang strateg ulung.



8.   KOMUNIS DIBIARKAN ‘NGLUNJAK’, SETELAH ITU DIGEBUK
 
Sebelum menjadi Republik, tanah leluhur Nusantara berbentuk Kerajaan. Ini fakta sejarah yang tidak bisa dinisbikan. Tidak jarang, pergantian kepemimpinan disertai dengan pertumpahan darah. Artinya, perang saudara senantiasa mewarnai dinamika politik di negeri ini.

Fenomena perang saudara, setelah negeri ini merdeka terus bertubi melanda, mulai dari DI TII, PRRI Permesta, Kahar Muzakar, PKI Madiun 1948 dan PKI 1965. Dan sampai kini, masih juga ada sparatis di Papua.

Perbedaan mencolok perang saudara pada era kerjajaan dan republik terletak pada latar belakang penyebab perang. Pada masa kerajaan didominasi kekuasaan dibumbui motif rebutan harta warisan. Sementara di era republik terutama peristiwa 1965, faktor pemicu terkuat adalah ideologi. Komunis berhadapan dengan Pancasila.

Soeharto sangat tahu, bahwa yang berada di balik gerakan G 30 S itu adalah Komunis. “Untung merupakan perwira binaan tokoh Komunis Alimin sejak tahun 1945,” demikian Soeharto mengungkap analisisnya.

Di berbagai pembinaan teritorial yang dilakukan secara reguler, Soeharto mengingatkan agar prajurit saptamarga memisahkan antara kepentingan politik dan kepentingan Negara.

Bahwa PKI itu membahayakan Pacasila Soeharto sangat paham. Dia bisa dikatakan  melakukan pembiaran terhadap tumbuh kembangya Komunis di Indonesia karena faktor kekuasaan bekaka. Kala itu di tangannya tidak ada kekuatan untuk melumat PKI.

“Diam-diam, rupanya Soeharto mencari waktu untuk menghancurkan ideologi Komunis. Ada asumsi  bahwa PKI dibiarkan menjelma menjadi Kebo Ijo, sebagaimana tragedi terbunuhnya Akuwu Tunggul Ametung,” ujar Budi Utama, politisi PDI P yang saat ini berbelok menjadi pengamat politik.

Setelah bukti cukup kuat,  bahwa Komunis adalah Sang Kebo Ijo, lanjut Budi Utama, dengan pedang Supersemar PKI  dibabat habis. Ribuan orang yang dianggap pro Komunis dibantai.

Dari sisi lain, Soeharto seperti Sang Joko Tingkir yang secara sengaja melepas seekor kebo edan ngamuk di alun-alun Pajang. Karena Joko Tingkir tahu rahasia kebo gila, maka dengan sangat mudah dia melumpuhknnya.

Bedanya, di balik senyuman yang khas, Soeharto melampiaskan syahwat, menghukum bangsanya sendiri tanpa melalui proses pengadilan.

“Soeharto banyak menuding Bung Karno tidak mengamalkan Pancasila dan UUD 1945, giliran diserahi kepercayaan, perilakunya lebih dari keji untuk tak menyebut bengis,” ujar Budi Utama.

Seperti pernah dilontarkan Gus Dur Presiden RI ke 4 di meja Kick Kendy, bahwa Soeharto melalui Faisal Tanjung yang diteruskan oleh Wiranto, pernah berniat menghabisi dirinya dan Megawati.

“Soeharto jasanya sangat besar. Meski begitu, dosanya juga banyak,” kata Gus Dur tanpa ekspresi, yag disambut gelak ketawa yang hadir pada saat ngobrol dengan Andy Noya.

Waktu terus mengelinding, ibarat air terus,  melaju ke muara. Kekuasaan Soeharto rontok pada Mei 1998, emudian lahir pemeritahan Orde Reformasi, dengan segenap gagu, gagap dan kekurangannya.

Pada sesi ini ada   wacana mengangkat Soeharto menjadi pahlawan Nasional. Tak aneh, pro dan kontra pun merebak sekaligus memanas. September kelabu, memicu persoalan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...