1. AWALNYA SOEHARTO BUKAN SEORANG NASIONALIS
Fakta
mengejutkan, dokumen otentik yang secara tersurat diakui secara
terang-terangan, Soeharto yang Presiden RI ke II itu, pada awalnya bukan
seorang nasionalis. Penguasa Orde Baru selama 32 tahun tersebut, egonya
sedemikian menonjol. Dia lebih mengutamakan nasib diri sendiri ketimbang nasib
bangsanya.
Tetapi karena ditempa waktu, patriotisme Soeharto muncul, mirip yang
dilakukan Raden Wijaya Raja Maja Pahit pertama, memanfaatkan Tentara Tar Tar tahun
1293 tempo dulu.
Dilacak dari berbagai leteratur, karier militer Soeharto, dikaitkan dengan
nasionalisme, sampai hari ini masih ada dua pendapat yang secara tajam
bertentangan.
Satu sisi dikemukakan, bahwa Soeharto adalah pemimpin militer baik pada
jaman penjajahan Belanda maupun pada masa pendudukan Jepang.
“Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat
terakhir Mayor Jenderal,” demikian seperti ditulis Wikipedia.
Uraian seperti tertuang pada Wikipedia mengandung
pengertian, bahwa Soeharto adalah ‘pejuang’, berseiring dengan Bung Karno, Bung
Hata, Bung Syahir, dan yang lain.
Catatan pada Wikipedia twrsebut sangat berbeda
dengan ucapan Soeharto yang termuat pada otobiografi yang ditulis G Dwipayana
dan Ramadhan KH.
Karier Soeharto dimulai dari Bank Desa sebagai pembantu klerek / juru tulis
/ juru pembukuan karena tuntutan atau kepentingan ekonomi keluarga. Begitu pula
ketika mendaftar menjadi tentara KNIL di Gombong serta melamar menjadi Polisi
pada jaman pendudukan Jepang di Patuk, Yogyakarta.
“Saya berusaha kian kemari mencoba mendapatkan sumber nafkah. Tetapi tidak
juga berhasil. Akhirnya saya kembali ke Wuryantoro, tempat banyak kenalan yang
saya harapkan bisa membuka jalan,” tutur Soeharto seperti ditulis G Dwipayana
dan Ramadhan KH dalam Otobiografi halaman 16 – 17.
Dari ucapan di atas, tidak terlihat sedikitpun, bahwa Soeharto memiliki
kepedulian terhadap nasib bangsa yang berada di cengkeraman penjajah.
“Setelah banyak jalan yang saya tempuh, akhirnya saya diterima sebagai
pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volks-Bank). Walaupun saya tidak begitu
senang dengan pekerjaan ini, saya anggap lebih baik melakukannya daripada
nganggur di tengah suasana yang muram,” demikian Suharto memperjelas kemauan
kuatnya dalam hal mencari pekerjaan.
Jemu menjadi pembantu klerek, Soeharto melamar menjadi tentara Koninkljk
Nederlands Indisch Leger (KNIL) Tentara kerajaan Hindia Belanda. Upaya
inipun tidak lepas dari motif memperbaiki nasib diri sendiri.
Tak dinyana, kata Soeharto, kesempatan datang untuk melamar masuk KNIL.
Pada mulanya sama sekali tidak saya kira bahwa lamaran yang saya ajukan akan
merupakan anak kunci yang membuka pintu lapangan hidup yang menyenangkan.
Menurut pengakuannya, bekerja pada dinas ketentaraan Belanda dia berpangkat
sersan. Tanggal 8 Maret 1942 pecah
perang dunia ke 2, Soeharto pun berbelok. Identitas KNIL-nya dia sebunyikan.
Dia melamar masuk polisi yang bermarkas di tangsi Patuk Yogyakarta.
“Pada suatu hari saya membaca pengumuman polisi yang menyebutkan keibuho,
polisi menerima anggota baru. Mulanya saya ragu, apakah saya sudah aman
dari mata Jepang. Tetapi kemudian saya memberanikan diri. Saya mendaftar,”
tutur Soeharto.
Oleh opsir Jepang, Soeharto
disarankan masuk PETA bentukan Jepang, yang baru saja dibuka. Soeharto mengaku,
melamar ke PETA dan diterima. Tetapi karena identias KNIL-nya disenmbunyikan
maka dia diterima sebagai Shodanco, padahal sebenarnya dia
bisa menjadi Heiho.
Saat bergabung dengan PETA bentukan Jepang inilah Soeharto merasakan ada susana hati yang berbeda. “Dalam latihan PETA ini terasa hidup
patriotisme, kecintaan untuk membela tanah air,” kata dia.
Soeharto senafas dengan Raden Wijaya, menantu Kertanegara / Joko Dolog. Awalnya
dia bergabung dengan tentara Tar Tar untuk menghancurkan Jaya Katwang Raja
Kediri. Setelah itu, berbalik melibas prajurit dari negeri Cina utusan Kubilai
Kan demi kejayaan Singasari yang dia boyong ke Maja Pahit.
Soeharto awalnya egois, tetapi belakangan berubah menjadi patriotis. Ada pertanyaan sederhaha, apakah
egoisme itu hilang atau masih terbawa pada masa dia berkuasa?
2.
SOEHARTO MENYATAKAN BUNG KARNO
SEORANG MARXIS
Dalam video berdurasi 37
menit 11 detik, yang diunggah di You Tube
27 Juni silam, secara tersirat, Soeharto Presiden RI ke II menuding Soekarno Presiden RI ke I sebagai
penganut fanatik ideologi Marxisme.
Walaupun
toh sudah kembali ke UUD 1945, melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959, menurut
Soeharto pelaksanaan UUD 1945 tetap tidak pernah dijalankan secara murni dan
konsekuen.
“Pelaksaannya
sampai tahun 1965 tidak sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Undang-Undang
Dasar tahun 1945,” tutur Soeharto mengawali tudingannya.
Dari
sisi ideologi Soeharto memahami, mengapa lembaga tinggi negara maupun kekuasaan
presiden selaku mandataris MPRS tidak segera diselaraskan dengan UUD 1945.
Soeharto
menunjuk, landasan perjuangan ideologi Presiden Soekarno adalah Marxisme yang
diterapkan di Indonesia. Menurutnya, hal itu berbeda dengan Marxisme yang
diterapkan di Eropa Timur.
“Perbedaannya
apa? Marxisme yang diterapkan di sana merupakan perjuangan kelas.” Papar penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu.
Marxisme
di negara-negara Eropa Timur, yang digerakkan adalah rakyat. Mereka tidak
memiliki alat produksi yang kemudian disebut kaum proletar. Di sana, kata
Soeharto, kemudian terjadi diktator proletariat.
Sementara
yang diberlakukan Indonesia, menurut Soeharto adalah Marxisme yang dibungkus
dengan Marhaenisme.
Dikatakan,
hal ini merupakan konsep Bung Karno untuk merealisasikan cita-citanya dalam
membangun bangsa dan negara. Kaum Marhaen, berbeda dengan proletar, sekecil
apapun Marhaen masih memiliki alat produksi.
Kristalisasi
dari Marxisme yang berganti baju menjadi Marhanisme, berdasarkan analisis
Soeharto, Presiden Soekarno berusaha mempersatukan semua kekuatan dan ideologi
yang berkembang di Indonesia.
Mereka
diajak duduk satu meja untuk menyamakan pandangan dalam mencapai cita-cita
bersama. “Dalam rangka inilah kemudian timbul NASAKOM, Nasionalis, Agama dan
Komunis,” simpul Soeharto.
Meski
Bung Karno itu menyatakan diri sebagai menerapkan paham Marhaenisme, tetapi di
mata Soeharto, Bung Karno tetap tidak
bisa meninggalkan ajaran Marxisme. Benarkah Bung Karno seorang Marxis. Lebih
dari itu, benarkah ada praduga bahwa Bung Karno adalah seorang Komunis?
3.
SEJAK 1958, BUNG KARNO DICURIGAI
BERPIHAK KEPADA KOMUNIS
Cukup lama Soeharto
memperhatikan sepak terjang komunis (PKI) di Indonesia. Kosep NASAKOM yang
digagas Presiden Soekarno menjadi catatan khusus bagi Jendral yang murah senyum
ini. Menurutnya, Komunis bisa
membahayakan Pancasila, tetapi Bung Karno berseberangan.
“Itu
sudah saya ketahui sejak tahun 1958, pada waktu saya menjadi Panglima Devisi
Diponegoro,” tutur Soeharto sembari memegang mikrophone dengan senyuman yang
khas.
Kepada
Presiden Soekarno dia mengajukan pertanyaan, “Pak di Jawa Tengah PKI itu menang. Apakah tidak
membahayaken Pancasila?”
Jawaban
Presiden kala itu menurut Soeharto sangat tidak memuaskan. “Kenyataan PKI
mendapat dukungan rakyat, maka kekuatannya harus kita perhitungkan,” demikian
Soeharto menirukan jawaban Presiden kala itu.
Menurut
Soeharto, Presiden Soekarno akan memperjuangkan agar PKI bisa berubah menjajadi
PKI yang berjiwa Pancasila. Dengan rasa tak percaya Soeharto bertanya, “Apa
mungkin Pak?”
Pemimpin
Besar Revolusi, Bung Karno dengan tegas menjawab, “Ini perjuangane Bapakmu,
Serahkan pada saya, kamu gak usah ikut-ikut.”
Dari
jawaban sesimpel itu, Soeharto bisa menangkap dan merasakan, bahwa Presiden
Soekarno tidak akan menghilangkan PKI, apalagi membubarkan.
Konsep
NASAKOM, kata Soeharto sembari terus mengumbar senyum, sedemikian kuat
diperjuangkan oleh Bung Karno, tidak hanya di dalam negri, tetapi juga ke luar
negri melalui forum PBB.
Kecurigaan
Soeharto di tahun 1958, meledak tujuh tahun kemudian, yakni pada peristiwa
prembrontakan G 30 S PKI 1965. Ketika diminta ikut menguasai keadaan, Soeharto
setengah mengingatkan, bahwa di tahun 1958 PKI telah dibilang sangat
membahayakan Pancasila.
Peristiwa
telah terjadi, dan tujuh Jendral gugur di tengah keganasan PKI. Dalam hal ini
Soeharto heran, karena kematian para jendral hanya dianggap sebagai sebuah riak
kecil.
“Ah
mosok matinya para jendral satu hal yang kecil. Baiklah, tetapi bagi saya yang
penting bukan jendralnya. Tetapi PKI benar-benar telah mengancam Pancasila,”
demikian tutur Soeharto menahan diri sekaligus memberontak.
Kemudian
konflik baru pun terjadi. Masyarakat menuntut agar PKI dibubarkan, sementara
Presiden Soekarno kukuh mempertahankan konsep NASAKOM yang terlanjur dia jual
di ranah Persatuan Bangsa-Bangsa.
Di
titik inilah bargaining / tawar menawar politik antara Soeharto dengan Soekarno
mulai tampak. Soeharto dalam strategi mendesak, Presiden Soekarno mulai
terjepit tetapi ngotot bertahan, tidak mau membubarkan PKI.
4.
TARIK ULUR PEMBUBARAN PKI SOEHARTO
SIAP JADI BUMPER
Untuk bisa membubarkan
PKI dan ormas-ormasnya, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dialog
intensif empat mata Soeharto-Soekarno membutuhkan waktu berbulan-bulan.
“Mulai
2 Oktober 1965 sampai 10 Maret 1966,” ujar Soeharto menjelaskan rentang waktu
yang dibutuhkan dalam bernegosiasi dengan Presiden Soekarno, untuk keperluan
membubarkan partai berlambang Palu Arit tersebut.
Dalam
proses dialog Soeharto mengaku, bahwa usulan pembubaran PKI tak kunjung
disetujui. Yang didapat bukan persetujuan melainkan kemarahan.
“Tetapi
saya tidak menunjukkan rasa menentang. Saya mengatakan bahwa rakyat masih
percaya,” kata Soeharto.
Dikatakan
pula, manakala Presiden Soekarno tidak melawan arus rakyat, semua elemen
masyarkat masih tetap mendukung untuk menyelesaikan revolusi.
Di
tengah dialog seru, Soeharto ditantang Presiden Soekarno. “Kamu prajurit, aku
Panglima Tertinggi. Kamu musti tunduk. Bubarkan itu KAMI / KAPI,” ujar Soeharto
menirukan perintah Presiden Soekarno.
“Janganlah
Pak kasihan. Mereka itu yang mendukung perjuangan. PKI itu yang harus
dibubarkan,” di sini Soeharto mulai melawan secara halus. Tak pelak, menurut
pengakuan Soeharto, Presiden Soekarno tambah marah.
Har,
ujar Presiden Soekarno, sebagaima ditirukan Soeharto. Kamu harus tahu, aku ini
bukan sekedar pemimpin Indonesia, tetapi sudah pemimpin dunia. Saya sudah
terlanjur menjual konsep NASAKOM itu kepada dunia. Sekarang saya harus
membubarkan PKI? Berarti kan mencabut konsep. Lalu di mana muka saya?
Menanggapi
kegelisahan Presiden Soekarno, pemimpi Orde Baru itu menjawab diplomatis.
“Kalau gitu gampang Pak, sesuai ajaran Bapak yang penting kita mendahulukan
kepentingan nasional. Setelah kepentingan ke dalam, baru kita melangkah ke
luar.”
Supaya
Presiden tidak menanggung aib di mata dunia, Soeharto menyarankan, perihal
pembubaran PKI biar dia yang melakukan.
“Jadikan saya bumper,” ujarnya tegas.
Dengan
cara begitu, menurut perhitungan Soeharto yang dituding oleh dunia sebagai
biang yang membubarkan PKI adalah dirinya, bukan Presiden.
Dinamika,
dialektika dan romantika sejarah berbicara lain. Presiden Soekarno tetap tidak
menyetujui terhadap rencana pembubaran PKI. Sampai pada saatnya Presiden
memanggil Soeharto dalam suasana batin yang mulai berubah. Benarkah Soekarno
makin gelisah?
5.
SOEKARNO GOYAH, SOEHARTO MENGINCAR
KEKUASAAN
Tidak seorang
pun tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran serta benak Pemimpin Besar
Revolusi, Bung Karno. Dalam situasi sangat tidak resmi, karena hanya mengenakan
celana kolor dan berkaos oblong, dia memanggil Soeharto menghadap kepadanya.
“Har, jane
aku ki arep mbok kapake?” kata Soeharto mengutip ucapan Bungkarno, saat dia
menghadap di Istana Negara.
Pertanyan di
atas, mencerminkan adanya efek
psikhologis, karena akumulasi dari dialog intensif dengan Soeharto terkait
dengan pergolakan September 1965. Diakui Soeharto, bahwa pertanyaan tersebut
membuat dirinya trenyuh / tersentuh.
Sangat wajar
di satu sisi Bung Karno menghadapi tekanan politik, juga himpitan ekonomi yang
luar biasa, sisi lain Soeharto dengan tameng KAMI / KAPI terus merangsek agar
PKI segera dibubarkan.
Menanggapi
pertanyaan Presiden Soekarno, Soeharto menjelaskan bahwa dia mencoba
merealisasikan kekudangan kedua orang tuanya. Dia berkehendak mikul dhuwur mendhen jero. Bung Karno
dalam konteks pembubaran PKI hendak diperlakukan seperti itu.
Tetapi, kata Soeharto
yang hendak dipikul dhuwur dipendhem jero tidak mau. Di sini tetap ada
perbedaan dalam hal mengatasi keadaan. Bung Karno tidak mungkin membubarkan PKI
karena pertimbangan politik ke dalam dan ke luar.
Seingat
Soeharto, dia menghadap Presiden kala itu tanggal 1 Maret 1966. Dia menyatakan
sama sekali tidak ada niat menumbangkan Bung Karno.
6.
SOEHARTO MENGAKU, SUPERSEMAR
DIBUAT RANGKAP ENAM
Tanggal 11 Maret 1966 Kabinet
Dwikora bersidang. Soeharto tidak hadir
lantaran sakit tenggorokan. Tetapi dia bercerita, bahwa Istna dikepung oleh
pasukan tak dikenal. Presden Soekarno
dalam keadaan gusar dan memprihatinkan
terbang ke Bogor. Berikutnya diikuti para Wakil Perdana Mentri
(Waperdam).
Beberapa
menit setelah kepergian Bung Karno ke Istana Bogor, rencana yang sangat berlian
pun berjalan.
“Kemudian
tiga perwira, yang dua menjadi mentri, yang satu Panglima Kodam yakni Pak
Basuki Rahmad, M Yusuf dan Amir Mahmud sebagai panglima Kodam mempunyai ide
untuk menemani Bung Karno,” tutur Soeharto.
Tiga perwira
itu, ujar Soeharto, ingat kalau masih punya atasan. Sebelum berangkat ke Bogor
mereka melapor kepadanya. Berhubung pada sidang kabinet tidak bisa hadir sebab
sakit tenggorokan, melalui mereka Soeharto titip salam hormat.
Di samping
itu ketiga perwira tersebut juga diminta menyampaikan pesan kunci yang
bunyinya, “Kalau saya diberi kepercayaan keadaan ini akan saya atasi.”
Disampaikan
kepada Bung Karno, bahwa kekacauan akan terkendali dan mereda kalau
dipercayakan kepada Soeharta. Kala itu menurut penuturan Soeharto, Panglima
Tertinggi marah besar.
Ide pun terus
bergulir, dipandang perlu adanya perintah tertulis. Akhirnya dibuat hitam di atas putih yang kemudian terkenal
dengan Supersemar. Menurut Soeharto perintah tersebut disiapkan rangkap enam.
Ya sudah
kalau gitu, demikian Soeharto menirukan ucapan Bung Karno, surat tertulis dibuat tiga ditambah untuk
semua Waperdam, Bandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh.
“Isi
Supersemar memberi wewenang kepada saya untuk mengambil tindakan bilamana perlu
atas nama beliau,” ujar Soeharto.
Surat
tersebut setelah ditandatangani, diterimakan kepada tiga perwira
langsung dibawa terbang ke ibukota.
Sampai di Jakarta sekitar menjelang isyak. Setelah membaca isi surat,
Soeharto memberi perintahkan singkat dan
tegas, ”Bubarkan PKI.”
Cita-cita
Soeharto terlaksana sudah. Kalau Bung Karno marah, dia menyatakan
bertanggungjawab penuh atas pembubaran tersebut. Soeharto sangat yakin, bawha
Presiden tidak bakalan murka karena
sebelumnya hal pembubaran itu telah didiskusikan secara empat mata.
Menyusul
kemudian tanggal 13 Maret Leimena menemui
Soeharto karena didamprat Presiden terkait dengan langkah pembubaran
PKI.
“Mas Harto,
apa ndak keliru itu bubarkan PKI,” tanya Leimena.
Seharto
menjawab dengan tenang, ”Ndak.”
“Di surat itu
tidak ada perintah,” desak Leimena.
“Ya memang
ndak ada,” jawab Soeharto kalem.
Soeharto
menenangkan Leimena, bawa itu semua merupakan tanggungjawabnya. Ternyata
Realitas berbicara, ketika kembali ke Jakarta Bung Karno memang tidak marah.
Supersemar
yang kemudian dijadikan payung atau
legalitas pembubaran PKI adalah tonggak kemenangan Soeharto. Yang asli tentu
hanya satu, sementara lima yang lain berupa tembusan / tindasan itu menjadi
teka-teki aneh, karena seperti lenyap ditelan bumi. Lenyap, atau dilenyapkan?
“Walaupun
temen-temen saya, kolega saya mengajak. Kekuasaan di tangan kita. Kenapa harus
kita tunggu-tunggu. Sudah kita gulingken saja?” aku Soeharto pada menit ke 21 detik
ke 31.
Dengan gaya
yang khas, Soeharto mengataknan, bahwa dirinya tidak ada pikiran ke arah
kudeta. Dia bahkan mempersilakan para kolega untuk melakukannya, tetapi dirinya
tidak turut campur.
Maunya dia,
peralihan kekuasaan itu harus secara konstitusional. Akibatnya, oleh para
kolega Soeharto dianggap terlalu berpegang teguh pada falsafah Jogja, andhong alon alon waton kelakon.
Mereka itu,
yang dimakusud adalah teman-teman Soeharto, hanya melihat alon-alonnya. “Mereka
nggak ngerti, yang peting kan kelakonnya
itu,” kata Soeharto sembari tertawa.
Tanpa
disadari, yang baru saja Soeharto ucapkan ternyata merupakan kalimat kunci,
bahwa sesunggunhya dia dan teman-temannya saat itu memang mengincar kekuasaan.
7.
SEKENARIO SEJARAH, PRESIDEN
DISERET KE MEJA KONSTITUSI
Ketika didesak oleh rekan sesama
militer untuk menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi, Soeharto menolak. Dia
memilih prosedur konstitusional. “Saya tidak mau menodai Angkatan Perang,”
tampiknya.
Usai
membubarkan PKI, legal formal, cita-cita Soeharto sudah berada di depan mata.
Bung Karno akhirnya terseret ke meja konstitusi. Kongkritnya, MPRS meminta agar
Presiden Soekarno menjelaskan peristiwa G 30 S PKI.
Yang keluar
bukan penjelasan, tetapi pidato Nawaksara yang intinya membela konsep NASAKOM.
Celaka, pidato Presiden ditolak MPRS. Kemudian
terjadi konfrontasi antara Presiden dengan legeslatif.
Mantan
tentara KNIL yang berpangkat sersan pada jaman penjajahan Belanda ini pun bilang,
“Lha saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa.”
Sidang
MPRS seperti itulah yang digalang
Soeharto untuk memuluskan perjalanannya masuk ke pintu istana secara
konstitusional. Pembubaran PKI dan
ormas-ormasnya merupakan bagian skenario yang dia ciptakan.
Benang merah
skenario itu kasad mata. Meski PKI telah berhasil dibubarkan, Soeharta masih
mendesak Presiden untuk ngegongi, bahwa pembubaran tersebut adalah
sepengetahuan Pemimpin Besar Revolusi. Tetapi Soekarno bukan politisi ingusan.
Desakan Soeharto, tak kunjung dituruti.
Sidang terus
menggelinding MPRS meminta, agar pidato pertanggunjawaban itu dilengkapi dan
diperbaiki. Menurut penuturan Soeharto, Presiden tidak bisa melengkapi.
“Konsekuensinya apa? Ya mandatnya dicabut,” papar Soeharto, pada menit 21.25.
Begitu
dicabut, kata Soeharto, pada bingung siapa yang harus melanjutkan perjuangan
menggantikan beliau. Berikutnya menurut pengakuannya, dia diminta untuk
bersedia sebagai pengganti.
“Ndak, saya
tidak mimpi menjadi presiden. Tidak mempersiapkan diri menjadi presiden. Tidak
mempunyai pengetahuan menjadi presiden,” ujarnya merendah.
Dalam hal ini
agak bertentangan dengan pernyataannya ketika dia dibujuk untuk menggulingkan
Bung Karno oleh kolega-koleganya. Kala itu Soeharto menyatakan, alon-alon waton
kelakon dengan penekannya pada kata kelakon.
Soeharto nampaknya masih harus bersandiwara dan jual mahal.
Dalam keadaan
darurat oleh MPRS diputuskan, yang melanjutkan kepemimpinan Presiden Soekarno
dipercayakan kepada pengemban Tap MPRS No IX. “Karena apa waktu itu Supersemar
oleh MPRS telah dikukuhkan dalam Tap MPRS No. IX, mempunyai kekuatan
konstitusional,” papar Soeharto dengan senyum yang terus melebar.
Penguasa Orde
Baru itupun masih berusaha merendah. Dia menyatakan tidak sanggup jadi Presiden.
“Saya minta untuk diangkat menjadi penjabat saja,” ujarnya.
Setahun dia
melaksanakan sebagai penjabat. Baru kemudian di tahun 1968 oleh MPRS dia
diangkat menjadi Presiden RI ke II.
Alon-alon,
akhirnya kelakon naik menjadi penguasa selama 32 tahun. Soeharto memang seorang
strateg ulung.
8.
KOMUNIS DIBIARKAN ‘NGLUNJAK’,
SETELAH ITU DIGEBUK
Sebelum menjadi Republik, tanah
leluhur Nusantara berbentuk Kerajaan. Ini fakta sejarah yang tidak bisa
dinisbikan. Tidak jarang, pergantian kepemimpinan disertai dengan pertumpahan
darah. Artinya, perang saudara senantiasa mewarnai dinamika politik di negeri
ini.
Fenomena
perang saudara, setelah negeri ini merdeka terus bertubi melanda, mulai dari DI
TII, PRRI Permesta, Kahar Muzakar, PKI Madiun 1948 dan PKI 1965. Dan sampai
kini, masih juga ada sparatis di Papua.
Perbedaan
mencolok perang saudara pada era kerjajaan dan republik terletak pada latar
belakang penyebab perang. Pada masa kerajaan didominasi kekuasaan dibumbui
motif rebutan harta warisan. Sementara di era republik terutama peristiwa 1965,
faktor pemicu terkuat adalah ideologi. Komunis berhadapan dengan Pancasila.
Soeharto
sangat tahu, bahwa yang berada di balik gerakan G 30 S itu adalah Komunis.
“Untung merupakan perwira binaan tokoh Komunis Alimin sejak tahun 1945,”
demikian Soeharto mengungkap analisisnya.
Di berbagai
pembinaan teritorial yang dilakukan secara reguler, Soeharto mengingatkan agar
prajurit saptamarga memisahkan antara kepentingan politik dan kepentingan
Negara.
Bahwa PKI itu
membahayakan Pacasila Soeharto sangat paham. Dia bisa dikatakan melakukan pembiaran terhadap tumbuh kembangya
Komunis di Indonesia karena faktor kekuasaan bekaka. Kala itu di tangannya tidak
ada kekuatan untuk melumat PKI.
“Diam-diam,
rupanya Soeharto mencari waktu untuk menghancurkan ideologi Komunis. Ada
asumsi bahwa PKI dibiarkan menjelma
menjadi Kebo Ijo, sebagaimana tragedi terbunuhnya Akuwu Tunggul Ametung,” ujar
Budi Utama, politisi PDI P yang saat ini berbelok menjadi pengamat politik.
Setelah bukti
cukup kuat, bahwa Komunis adalah Sang
Kebo Ijo, lanjut Budi Utama, dengan pedang Supersemar PKI dibabat habis. Ribuan orang yang dianggap pro
Komunis dibantai.
Dari sisi
lain, Soeharto seperti Sang Joko Tingkir yang secara sengaja melepas seekor kebo
edan ngamuk di alun-alun Pajang. Karena Joko Tingkir tahu rahasia kebo
gila, maka dengan sangat mudah dia melumpuhknnya.
Bedanya, di
balik senyuman yang khas, Soeharto melampiaskan syahwat, menghukum bangsanya
sendiri tanpa melalui proses pengadilan.
“Soeharto
banyak menuding Bung Karno tidak mengamalkan Pancasila dan UUD 1945, giliran
diserahi kepercayaan, perilakunya lebih dari keji untuk tak menyebut bengis,”
ujar Budi Utama.
Seperti
pernah dilontarkan Gus Dur Presiden RI ke 4 di meja Kick Kendy, bahwa Soeharto
melalui Faisal Tanjung yang diteruskan oleh Wiranto, pernah berniat menghabisi
dirinya dan Megawati.
“Soeharto
jasanya sangat besar. Meski begitu, dosanya juga banyak,” kata Gus Dur tanpa
ekspresi, yag disambut gelak ketawa yang hadir pada saat ngobrol dengan Andy
Noya.
Waktu terus
mengelinding, ibarat air terus, melaju
ke muara. Kekuasaan Soeharto rontok pada Mei 1998, emudian lahir pemeritahan Orde
Reformasi, dengan segenap gagu, gagap dan kekurangannya.
Pada sesi ini
ada wacana mengangkat Soeharto menjadi
pahlawan Nasional. Tak aneh, pro dan kontra pun merebak sekaligus memanas.
September kelabu, memicu persoalan baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda