Kapan perseteruan itucair? foto Net |
POTRET TOKOH DAN KEBENCIAN BERJAMAAH
Para tokoh di negeri ini mendongeng, bahwa NKRI adalah harga mati.
Bhineka Tunggal Ika adalah perekat, sejak kerajaan Maja Pahit melantunkan tembang
Amukti Palapa. Tetapi aneh bin ajaib, keluarga besar yang hidup di negeri ini tidak
konsiten. Akibatnya, warga nyaris terbelah secara hitam putih.
Pengikut Soeharto yang kemudian dituding menjadi Soehartois, secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berhadapan atau perang batin secara
frontal dengan para Soekarnois.
Giliran berinya, kaum reformis mengutuk habis-habisan kelakuan rezim
Orde Baru yang menurut catatan sejarah, telah dianggap membuhuh hampir 4 juta
orang yang tak tahu dosa serta kesalahannya.
Pada rezim Kabinet Kerja, perang urat syaraf malah lebih dominan dan menajam.
Permusuhan memuncak, Megawati Soekarno
Putri versus Susilo Bambang Yudhoyono tak kunjung mereda, malahan sebaliknya.
Presiden ke 5 dan Presiden ke 6 ini sama-sama mimiliki pengaruh /
pengikut yang besar. Disayangkan, dua tokoh nasional tersebut perilakunya
seperti minyak dengan air. Sangat ironis, dua-duanya menganggap NKRI merupakan
harga mati, sementara mereka berdua tidak pernah akur. Sampai dianggap
keterlaluan, karena momen Hari Raya Idul Fitri pun, lewat begitu saja, tanpa
mereka manfaatkan.
Ada kebencian di antara Mega-SBY. Ada ketidaksukaan personal yang
kemudian mudah menimbulkan dendam jamaah. Kubu Mega tak suka kubu SBY, meski
para pengikut masing-masing kubu acap berbasa-basi saling memuji.
Pemanisnya adalah Bhineka Tungga Ika yang hanya mampir di bibir tetapi
tidak menghunjam ke sanubari. Permusuhan serupa, meminjam cara berfikir
Permadi, SH adalah perseteruan klasik. Permusuhan antara Pajajaran dengan
Majapahit yang usianya mencapai 500 tahun.
Di Jawa Barat, Kata Permadi, tidak ada Jalan Hayam Wuruk, sebaliknya,
Jawa Timur, tidak ada yang suka
menggunakan Jalan Siliwangi.
Seorang Kiai dengan gaya yang khas menyindir, bahwa bangsa ini sangat
tidak siap dalam hal menghadapi perbedaan. Mereka saling merasa benar, merasa
paling hebat, merasa paling agamis, kemudian menganggap orang lain salah, orang
lain lemah, orang lain kafir.
Di antara kita tidak ada kesadaran, kata Pak Kiai, bahwa pasir, semen,
batu bata, air, kayu, besi, yang secara materiil berbeda-beda, tetapi ketika
menyatu, berubah menjadi sebuah bangunan rumah yang kokoh dan megah. Ini
merupakan gambaran dari konsep abstrak Bhineka Tunggal Ika.
Sungguh, NKRI dalam konteks Bhineka Tunggal Ika harganya sedemikian
mahal. Bukti kongkrit ada di depan mata. Bagaimana harus belajar dari contoh
seperti itu? Anggap saja Megga versus SBY adalah rel kerta. Berjajar tak pernah
ketemu, tapi juga tak pernah bertengkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda