Senin, 26 September 2016

Kemelut Permusuhan Elit Nasional Berkepanjangan 1

Kapan perseteruan itucair? foto Net


POTRET TOKOH DAN KEBENCIAN BERJAMAAH

Para tokoh di negeri ini mendongeng, bahwa NKRI adalah harga mati. Bhineka Tunggal Ika adalah perekat, sejak kerajaan Maja Pahit melantunkan tembang Amukti Palapa. Tetapi aneh bin ajaib, keluarga besar yang hidup di negeri ini tidak konsiten. Akibatnya, warga nyaris terbelah secara hitam putih.

Pengikut Soeharto yang kemudian dituding menjadi Soehartois, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berhadapan atau perang batin secara frontal dengan para Soekarnois.

Giliran berinya, kaum reformis mengutuk habis-habisan kelakuan rezim Orde Baru yang menurut catatan sejarah, telah dianggap membuhuh hampir 4 juta orang yang tak tahu dosa serta kesalahannya.

Pada rezim Kabinet Kerja, perang urat syaraf malah lebih dominan dan menajam. Permusuhan memuncak,  Megawati Soekarno Putri versus Susilo Bambang Yudhoyono tak kunjung mereda, malahan sebaliknya.

Presiden ke 5 dan Presiden ke 6 ini sama-sama mimiliki pengaruh / pengikut yang besar. Disayangkan, dua tokoh nasional tersebut perilakunya seperti minyak dengan air. Sangat ironis, dua-duanya menganggap NKRI merupakan harga mati, sementara mereka berdua tidak pernah akur. Sampai dianggap keterlaluan, karena momen Hari Raya Idul Fitri pun, lewat begitu saja, tanpa mereka manfaatkan.

Ada kebencian di antara Mega-SBY. Ada ketidaksukaan personal yang kemudian mudah menimbulkan dendam jamaah. Kubu Mega tak suka kubu SBY, meski para pengikut masing-masing kubu acap berbasa-basi saling memuji.

Pemanisnya adalah Bhineka Tungga Ika yang hanya mampir di bibir tetapi tidak menghunjam ke sanubari. Permusuhan serupa, meminjam cara berfikir Permadi, SH adalah perseteruan klasik. Permusuhan antara Pajajaran dengan Majapahit yang usianya mencapai 500 tahun.

Di Jawa Barat, Kata Permadi, tidak ada Jalan Hayam Wuruk, sebaliknya, Jawa  Timur, tidak ada yang suka menggunakan Jalan Siliwangi.

Seorang Kiai dengan gaya yang khas menyindir, bahwa bangsa ini sangat tidak siap dalam hal menghadapi perbedaan. Mereka saling merasa benar, merasa paling hebat, merasa paling agamis, kemudian menganggap orang lain salah, orang lain lemah, orang lain kafir.

Di antara kita tidak ada kesadaran, kata Pak Kiai, bahwa pasir, semen, batu bata, air, kayu, besi, yang secara materiil berbeda-beda, tetapi ketika menyatu, berubah menjadi sebuah bangunan rumah yang kokoh dan megah. Ini merupakan gambaran dari konsep abstrak Bhineka Tunggal Ika.

Sungguh, NKRI dalam konteks Bhineka Tunggal Ika harganya sedemikian mahal. Bukti kongkrit ada di depan mata. Bagaimana harus belajar dari contoh seperti itu? Anggap saja Megga versus SBY adalah rel kerta. Berjajar tak pernah ketemu, tapi juga tak pernah bertengkar.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...