Rabu, 14 September 2016

DERAJAT JOKOWI TIDAK LEBIH DARI CAH ANGON




1.   TEMBANG DOLANAN, POLITIK SINDIRAN SINDIRUN

Tidak pernah diduga sama sekali, bahwa tembang dolanan seperti Dayohe Teko, Sluku-Sluku Bathok, Gundhul Pacul, Buto Galak, serta Ilir-Ilir (DSGBI) yang dikenal berabad-abad lamanya itu merupakan karya puisi bebas kategori mbeling pada jamannya.

Secara kontekstual kelima puisi itu tidak hanya menyindir, tetapi menampar telak terhadap perilaku manusia Indonesia yang  berinterksi sejak abad 13 hingga 20.

Puisi yang dikenal dalam sastra moderen selama ini karakternya  elitis individual. Dikatakan elitis karena yang bisa menikmati hanya kalangan yang berpendidikan dan memiliki kepekaan tertentu. Disebut  karya individual karena setiap puisi  pasti dicantumkan nama pengarang, sementara dalam GBSI anonim. Ciri lain, secara umum puisi moderen tidak mudah dihafal, puisi dalam bentuk tembang dolanan gampang diingat luar kepala.

Rohaniwan sekaligus budayawan, Dick Hartoko dalam buku Pemandu di Dunia Sastra menyatakan, puisi sebagai lawan dari prosa. Puisi, kata Peter Dick, ini sapaan akrab Dick Hartoko, merupakan ungkapan rasa yang menggunaan bahasa  terikat.

Keterikatan itu meliputi: paralelisme, metrum, rima, pola bunyi dan lainnya. Sementara dalam karya prosa hal itu tidak terjadi, karena karya prosa merupakan  ungkapan yang menggunakan bahasa secara bebas. 

Puisi Jawa yang tergabung dalam DSGBI corak serta karakternya begitu unik. Sangat puitis tetapi prosaik. Anonim, artinya pengarangnya tidak pernah diketaui, mudah dihapal dan penikmatnya tidak terbatas, mulai dari anak ingusan sampai kakek-nenek.

DSGBI agak mirip dengan puisi mbeling asuhan Remy Sylado alias Yopi Tambayong yang banyak ditulis di majalah Aktuil 1972. Sifat puisi mbeling, menurut Dick adalah: nakal, sukar diatur, suka memberontak, dan kurang ajar.

Sementara menurut Sapardi Djoko Damono, penyair  yang kesohor dengan kupulan puisi Dukamu Abadi, ciri puisi mbeling adalah kelakar, kritik dan ejekan terhadap sikap sungguh-sungguh dari penulis dalam mengahadapi karya puisi.

Secara kontekstual DSGBI memenuhi syarat sebagai puisi prosaik yang mbeling. Bahkan kembelingannya ngelantur tembus sampai ke jaman yang serba moderen.

Cak Nun, (Emha Ainun Nadjib), budayawan kelahiran Jombang 1951 menyatakatan, manusia mederen tidak merasa tersindir meski langkahnya diacak-acak oleh puisi Dayohe Teko, karena selalu salah dalam mengabil keputusan ketika menerima tamu. Dalam meafsir puisi Dhayoe Teko, saya agak berbeda sedikit dengan Cak Nun.

Dayoh, oleh penulis puisi  Sajak Sepanjang Jalan ini ditafsirkan sebagai warga asing yang mulai datang ke Jawa Dwipa  (sekarang Indonesia) pada akhir abad ke 12, awal abad ke 13.

Siapa yang dimaksud ‘Dayoh’ oleh penceramah yang tak pernah bisa berhenti ngomong bersama Kyai Kanjeng ini?

2.   BEDAHNYA KERAJAAN SINGASARI DITAMBAL JADAH BASI

Tembang dolanan dalam posisinya sebagai puisi mbeling versi Jawa, memiliki ambiguitas. Puisi bertajuk ‘E Dayohe Teko’ meminjam istilah Budayawan Bakdi Sumanto adalah subyek yang merdeka, bukan obyek.

Puisi yang ditembangkan seperti ‘E, Dhayoe Teko’ bisa ditafsirkan secara kontekstual, sesuai dengan pengalaman pembaca selaku penikmat. Orang lain bebas memaknai, tetapi tidak perlu stersinggung dengan uraian yang berbeda.

“E, dhayohe teko. E, gelarno kloso. E, klasane bedhah. E, tambalen jadah. E, jadahe mambu. E, pakakno asu. E, asune mati. E, kelekno kali. E, kaline banjir. E, kelekno pinggir,” hanyalah tembang  yang selama ini dipandang sebagai dolanan bocah. Sementara itu, interpretasinya bisa berkaitan dengan sejarah yang usianya mencapai tujuh abad.

Emha Ainun Najib bersama Kyai Kanjeng dalam gelar pencerahan yang beredar di You Tube berkeyaninan, bahwa ‘dhayoh’ dalam lirik puisi itu adalah ‘tamu’ yang berasal dari negeri Cina. Emha tidak sedang dalam memprofokasi rasialisme, karena sejarah memang menunjukkan demikian.

Secara historis, tentara Tar Tar (tamu) utusan Kaisar Khubilai Khan  bersandar di pelabuhan Gresik Jawa Timur tahun 1293. Misi utama Kedatangan mereka adalah membalas penghinaan Kerta Negara Raja  Singsari terhadap martabat Tiongkok.

Penduduk Jawa Dwipa kala itu dalam keadaan tidak utuh (bedhah). Meski demikian kehadiran bala tentara Tar Tar disambut dengan digelarke kloso / tikar. Artinya mereka diterima, diberi tempat, meski Singasari sedang bedhah / kacau balau.

Bedahnya kerajaan Singasari  ditutupi / ditambal jadah mambu / basi. Betapa tidak? Karena Raden Wijaya  punya niat lain yang sesungguhnya sangat buruk tetapi sengaja disembunyikan. Tentara Tar Tar dibujuk mengempur Jaya Katwang, Raja Kediri.

Niat  busuk menantu Joko Dolog ini tercium, langkah berikutnya jadah basi tersebut dipakake asu.  Tidak lain, asu yang dimkasud adalah bala tentara Cina di bawah pimpinan Khao Sing, Ikhe Mise dan Shih Pe, yang sebelumnya membantu membunuh Jaya Katwang dan meruntuhkan Kediri.

Jadah basi dalam ilmu perang adalah trik atau siasat. Dan Raden Wijaya kenyataannya berhasil. Dalam lirik puisi  digambarkan asune mati. Bala tentara Cina yang tewas kelekno kali. Artinya mereka diusir  dari tanah Jawa, karena Jawa Dwipa sedang banjir darah.

Tentara Tar Tar terdesak kocar-kacir, sebagian yang selamat pulang ke negeri asal, sebagian dikelekno pinggir. Artinya mereka  yang memilih tetap tinggal di pulau Jawa, tetapi sebagai warga yang termaginalisasi. 

Fakta menunjukkan, sampai saat ini, meski kekuatan di bidang ekonomi luar biasa, Cina di Indonesia tetap menjadi minoritas yang dipinggirkan.

Kemudian bukan satu hal yang kebetulan kalau ‘dhayoh’ yang minoritas itu ada hubungan erat dengan ‘bathok’. Kongkritnya, tembang E, Dhayohe Teko tersambung dengan puisi Sluku-Sluku Bathok. Tentu ini bukan rekayasa, karena ada bukti
SOLO-BELITUNG MENYATU DUEL DI IBUKOTA

Warga Cina yang menetap di Jawa yang oleh Raden Wijaya  pendiri sekaligus Raja Maja Pahit I, memang sengaja dipinggirkan, dibatasi dengan label khusus sesuai istilah sekarang, minoritas. Marginalisasi tersebut terjadi hingga sekarang.

Dari rezim Orde Lama, Orde Baru sampai ke penguasa Reformasi, etnis Cina tetap menyisakan problema yang berupa bola klasik yang liar. Pustaka Utama Grafiti menterjemahkan tulisan Stuart W Greif, membahas Cina totok / asli maaupun peranakan / keturunan di Indonesia.

Soeharto di masa kejayaan pernah menggagas pembauran, bahkan dia mempelopori kawin politik. Penguasa Orde Baru ini berbesan dengan Liem Shiu Liong, klonglomerat besar di jamannya.

Tetap saa etnis minoritas tak bisa menyatu, pada akhir masa jabatan Soeharto, Cina menjadi sasaran empuk untuk diobrak-abrik dan dibumi hangus.

Di tangan Megawati Sukarno Putri, dari sisi kebudayaan dicoba untuk direkatkan kembali dengan memberi keleluasaan seni barongsai tampil di panggung nasional. Secara demontratif di layar televisi Megawati acap mengatakan Gong Si Pacai.

Tanpa disadari upaya penyatuan Jawa-Cina, terjadi di ranah DKI Jakarta. Joko Widodo dari Solo Kota Bengawan dipertemukan dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dari Belitung Timur.

Sejarah minoritas itu terhubung sedemikian nyata di dalam puisi Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo. Si Rama menyang Sala, oleh-olehe payung motha. Mak jenthit lolo lobah, Cina mati ora obah. Nek obah medeni bocah, Nek urip goleka dhuwit.

Kaget? Hubungan yang begitu transparan tersebut jika disandingkan dengan  dhayoh sang minoritas, adalah bukan sesuatu yang kebetulan. Siapa yang dimaksud dengan Si Rama? Tidak lain adalah penguasa. Siapa penguasa negeri ini? Alam demokrasi memberi tafsiran, sang penguasa itu adalah rakyat.

Betapa kuat dukungan rakyat terhadap Joko Widodo yang nota bene Walikota Solo untuk memenangkan pertarungan pilgub di DKI Jakarta berpasangan dengan Ahok.

Megawati sebagai komandan Bnteng itu sebatas nemu kuwuk. Hanya dia tidak berani jujur. Sebagai politisi, kapan dia mengkader Jokowi  menjadi PDI P bewes? Tidak pernah terjadi. Jokowi muncul secara alami.

Begitu pula hubungan Prabowo dengan Ahok. Di acara ILC yang dipandu Karni Ilyas, Ahok terjun ke politik bukan di Gerindra, tetpi di PIB.

Tiga tahun duet Jawa-Cina memimpin Jakarta, tiba-tiba Mak jentit lo lo lobah, cina mati ora obah, nek obah medeni bocah, nek urip goleko duwit.

Jokowi mak jentit memimpin Indonesia masuk ke Istana menyisihkan pasangan Prabowo-Hatta. Jawa-Bugis melenggang, satu pikiran yang hendak dituntaskan adalah fenomena dis-orientasi bangsa. Bedahnya Singasari adalah retaknya NKRI.

Lantas? Ahok ditinggal di DKI, Joko Widodo njentit ke Istana. Ahok tidak boleh mati, sebab kalau dia mati berbahaya, paling tidak bocah DKI bakal dibikin ketakutan oleh para mafia anggaran.  Ahok ditugasi mencari duit yang dirampok oleh ‘bajingan negara’ yang menyelinap pada sistem pemerintahan.

Menjadi terang benderang hubungan antara dhayoh dengan bathok. Ahok harus mengisi bathok hingga penuh untuk keperluan membangun ibukota NKRI yang masih ada kecenderungan koyak.

Tantangan terberat yang dihadapi Ahok, di DKI masih banyak berkeliaran Buto Galak. Siapa mereka?


4.   ERA MODEREN PEJABAT NYUNGGI WAKUL ITU PUN BERULANG

Semenjak Soeharto menerapkan kebijakan swastanisasi, pegusaha diberi peran untuk menumbuhkembangkan perekonomian. Golongan minoritas Cina mulai leluasa menguasai usaha dari hulu sampai hilir. Mereka tampil menjadi gurita raksasa.

Di era reformasi, minoritas untuk yang pertama kali diperankan oleh Basuki Tahaya Purnama (Betepe) alias Ahok memimpin DKI Jakarta. Banyak yang ketakutan dan menolak, tetapi prototipe Ahok melaju seperti tidak terbendung.

Betepe,  oleh berbagai pihak senantiasa dihujat dan disudutkan.  Mata Najwa, Kick Kendy, bahkan Karni Ilyas berusaha merobohkan Ahok dengan pertanyaan-pertanyaan peluru yang mematikan. Sayang mereka tidak berhasil. Sebaliknya malah membuat Ahok makin berkibar.

Dengan enak karena Betepe rupanya memiliki kecerdasan di atas rata-rata, dia berhasil membungkam kenakalan media. Mantan Bupati Belitung Timur itu tetap menjadi Gundul pacul yang gembelengan. Dia  mutar-mutar DKI sembari nyunggi wakul.

Ahok, apa ini kamuflase atau tulus, tetap nyunggi wakul dalam arti bertekad membuat rakyat Jakarta menjadi makmur. Lawan politik yang didukung sebagian  elit masyarakat seperti Ratna Sarumpaet dengan sengit melawan dan mengkritik langkah yang dilakukan Ahok.

Jago wiring kuning cebol kepalang yang diprediksi Jayabaya, rupanya benar-benar terjadi. Hanya saja, Betepe tidak cebol banget, karena dia memang bukan bangsa Jepang, tetapi Cina. 

Aling-aling hukum, dia terus membersihkan DKI dengan cara menggusur pemukikan kumuh. Warga dipindahkan ke rusun sekelas apartemen dengan fasilitas relatif memadai. “Tidak selamanya orang miskin dilupakan,” kata Ahok yang bercita-cita mengubah Indonesia dari Jakarta.

Ahok menjadi sentral pemberitaan oleh berbagai media. Basuki Tjahaya Purnama semakin wira-wiri nyunggi wakul, dengan pernyataan-pernyataan yang mendekati sombong tetapi rendah hati. Hah? Dia berusaha bagaimana caranya, warga DKI harus makmur, harus kenyang.
Dalam mengejar kemakmuran DKI, oleh warga yang setengah pro setengah kontra, Ahok pernah diperingatkan. Pertama, Ahok harus mengatasi banjir air, kedua banjir mobil si biang kemacetan, ketiga banjir manusia dalam bentuk urbanisasi.
Dengan kepala yang terus gembelengan, Betepe merespon semua kritikan dengan gaya yang mendekati kufur. Ahok lupa, bahwa wakul berisi nasi yang dicita-citakan sewaktu-waktu bisa ngglewang / tumpah.     
Kebentus ing tawang kesandung ing roto, tidak pernah ada di kamus Petahana yang ingin duduk di kursi DKI untuk keduakalinya ini. Wakul ngglimpang segane dadi sak latar, mungkin tidak pernah dia perkirakan.
Satu hal yang serba bisa terjadi, bahwa nasi / kemakmuran  warga DKI itu lepas / tumpah dadi sak latar. Siapa yang menikmAti? Mereka adalah Buto Galak yang sejak lama sigrak-sigrak.

5.   ERAMPOK DUIT NEGARA DIGAMBARKAN SEBAGAI BURON ANEH

DKI Jakarta adalah kota moderen yang terus menunjukkan wajah kebelantaran. Gaduh,  ganas dan membakar. Juga menjadi sentral sarang perampok uang negara.

Belum satupun Gubernur DKI mampu menundukkan buto galak yang selalu lunjak-lunjak. Mereka begitu sigrak nyandak kunco nuli tanjak. Di DKI, bahkan di selurun negeri ini, klonglomerat adalah gurita raksasa yang membelit sendi perekonomian, dengan berbagai cara, termasuk tidak segan menyuap para pejabat, demi pengembangan usaha.

Budaya pungli, suap, korupsi, nyuci uang sampai dengan para centeng tukang palak di jalanan, di pasar moderen maupun tradisional  marak,   saat ini  merupakan realita yang dihadapi Ahok. Raut perampok itu pating celoneh, seperti buron / hewan yang aneh.

Gubernur DKI yang bicaranya ceplas-ceplos cenderung kasar dan urakkan  itu termasuk berani mencari uang negara dengan  memangkas angaran seluruh SKPD yang dibawahinya.

“Saya tanya kepada kepala-kepala dinas, proyek segede ini bisa nggak dijabarkan detail satuannya. Mereka nggak bisa. Ya udah, semua  proyek gue pangkas,” uar Ahok di acara Kick Andi.

Ahok menjelaskan, bahwa anggaran dipangkas, tetapi pembangunan terus berjalan ini agak aneh dan menimbulkan banyak pertanyaan.

“Nggak ada yang aneh, DKI itu punya BUMD yang duitnya trilyunan. Anggara saya pangkas tetapi pembangunan di DKI terus berjalan karena yang biayai perusahaan daerah,” kata Ahok.

Kecenderungan mencuri uangan negara seperti terorganisir. korupsi berjamaah, bahkan ada yang model beking-bekingan. Hal tersebut disindir melalui larik La wong kewe sing mara-marai.

Pejabat yang bersih, aparat hukum yang jujur, menghadapi buto galak pilih balik kanan, hi-hi aku wedi ayo adi podo bali.

Keberanian  melakukan pembersihan korupsi di jantung pemerintahan, baik di masa  Orde Lama, Orde Baru, maupun Ordeb Reformasi, itu hilang, karena banyak mata plerak-plerok komplit dengan kulit    ambengkerok.

Seutuhnya, tembang bernafas puisi itu memperolok Penguasa / pejabat Kota Jakarta, yang kerakusannya telah ada sejak jaman Belanda.

Ahok, tidak pernah dilihat dari  prespektif tembang kuno buto galak. Dia  memiliki keberanian, hampir tiada tanding.  Foke, Gubernur sebelumnya pun dia obrak-abrik, terkait dengan pengeluaran ijin prinsip reklamasi pantai utara Jakarta.

Esensi cino urip goleko duwit untuk membangun DKI Jakarta terjadi di masa Ahok, meski kemudian banyak cacimaki dari lawan-lawan politiknya.   

6.   DERAJAT JOKOWI-JEKA TIDAK LEBIH TINGGI DARI BOCAH ANGON


Pusat pemerintahan RI, termasuk pemerintahan di DKI bisa diumpamakan sebagai gerbang  pertanian menghijau yang  membuat petani ayem karena tandure wis ngalilir. Karya yang mulai menampakkan harapan, kendalanya tidak sederhana.

Duet Jokowi-Jeka, Duet Ahok-Jarot di Panggung  Jakarta, satu sisi memperoleh angin, ada dukungan besar, ada ilir besar, ada kipas besar dari rakyat Indonesia dan DKI, meski banyak mulut yang kurang kerjaan. 

Presiden,  Gubernur, Bupati / Walikota sampai Kades / Lurah memegang kekuasaan dalam format temante anyar.  Ke depan, mereka adalah pelopor dalam menggapai cita-cita baru. Para pemimpin harus berani menek blimbing, meski pohonnya terbilang licin.

Perlu diketahui, derajad Jokowi-Jeka serta Ahok-Jrot tidak lebih tinggi dari Cah Angon. Mereka menggembara sekaligus menggembala 251 juta rakyat, agar tidak satupun kelaparan secara jasmani rohani .

Lunyu-lunyu peneken, merupakan perintah rakyat yang harus mereka kerjakan. Satu kritikan halus namun pedas, pakaian yang disebut dodot yang dikenakan para pejabat di negeri kumuh dan kotor, karena anomali syahwat.

Sebenarnya rusaknya dodot / kekuasaan itu tidak separah yang dibayangkan orang, dengan catatan ada keberanian untuk melakukan taubat nasuha. Disebutkan, bahwa dodot iro  kumitir bedah ing pinggir.

Taubat yang dimaksud  cukup dengan domono clumatono, perbaiki dan piara  dalam kesadaran kembali ke jalan lurus. Untuk apa? Kanggo sebo mengko sore.

Bejatnya para pemimpin masa kini masih diberi kesempatan  her-registrasi, pendaftaran ulang untuk kembali ke fitroh, kembali kefitri. Penutup tembang ilir-ilir menyyebutkan,  mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane.

Roh Nawacita, itu bukan sekedar ingin membangun karakter bangsa dalam tataran rakyat. Mengeluh anak muda tidak paham sopan-satun, ora ngerti uanggah-ungguh adalah tidak adil kalau tidak pernah menyesali kelakuan para pejabat yang tidak segan merampok hak rakyat.

Banyaknya pejabat yang tidak sopan, membuat negeri ini butuh lembaga adhoc seperti KPK. Harapanya KPK tidak punya pekerjaan dan bubar dengan sendirinya kalau Jokowi-Jeka juga Ahok-Jarot berhasil memberangus aparat negara dengan tembang ILIR-ILIR. Nah.


7.   TAHUN 2024 PRESIDEN INDONESIA CINA?

Terlepas dari berhasil dan tidaknya pembangunan karakter bangsa, perkembangan politik (kekuasaan) dan atau pemerintahan di Indonesia mulai menampakkan keanehan. Ada semacam akrobat jungkir balik. Realitas tak terbantahkan, PDI Perjuangan adalah pemenang pemilu legislatif 2014. Tetapi fakta lain menunjukkan bahwa Partai Banteng Moncong Putih tersebut bukan penguasa di negeri ini. Sedang dan sudah berlangsung gerakan besar menuju kepemimpin RI di masa datang.
Kondisi seperti itu membuat Budi Utama, mantan Ketua DPRD Gunungkidul kader gaek PDI P terheran-heran. Bahkan, politisi yang sekarang tidak menjadi apa-apa, serta siapa-siapa, kecuali menjadi dirinya sendiri itu galau dan gerah.
Jokowi Kader PDI Perjuangan terpilih menjadi Presiden RI ke 7.
PDI Perjuangan pemenang 
pemilu legislatif. Tetapi kenapa penguasa negeri kok Golkar ya?” demikian kegerahannya tersirat melalui saluran medsos.
Dia mulai merasakan, bahwa di negeri ini ada yang tidak beres.  Dia yakin ada aktor yang mengatur semua kejadian itu.
“Saya menduga ini ada akrobat politik dari Ketua Golkar untuk memenangkan Pilpres selanjutnya,” tandasnya.
Di sisi lain Budi Utama mengaitkan pemimpin bangsa dengan ramalan Jayabaya yang menyebut datangnya jago wiring kuning dari tanah seberang. Dalam ramalan Jayabaya disebutkan munculnya ‘jago kate wiring kuning, dedege cebol kepalang’.
“Kalau si jago kate itu sudah terjadi, yaitu masuknya Jepang mengalahkan penjajah Belanda. Tetapi Jago wiring kuning kali ini lain cerita. Jago wiring kuning masuk melalui sistem tata pemerintahan. Dia menggunakan aturan dan payung hukum yang berlaku di negeri ini untuk berbagai kepentingan kelompok mereka,” ulasnya.
Dan ini, lanjut Budi Utama, termasuk penguasa bangsa di masa mendatang. Hal ini tidak bisa dielakkan manakala disangkutpautkan dengan hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta.
Terpisah, budayawan, seniman teater juga penyair, Emha Ainun Nadjib dalam berbagai kesempatan mengatakan, penguasa negeri ini tidak pernah menampakkan sosok aslinya.
“Jokowi tidak berkuasa. Megawati tidak berkuasa. Anak-anak Megawati, (yang dimaksud termasuk para kader PDI P) lebih makin tidak berkuasa, apalagi Golkar,” ucap Cak Nun, di Youtube, yang  membuat orang awam mungkin bingung.
Menurutnya, penguasa di negeri ini tidak pernah muncul di televisi. Tidak pernah diekspose oleh media cetak, atau media online. Namun demikian cengkeraman tangannya sangat terasa dan berada di mana-mana.
“Dia  bukan orang tetapi kelompok pemilik modal atau RAS. Yang jelas mereka adalah Yahudi Timur dan Cina,” tuding Emha.
Ada setting atau konspirasi besar, demikian Emha menyebut, untuk membuat Indonesia menjadi ‘panggung bermain’ menurut kehendak wudelnya para pemilik uang.
“Sekarang di antara mereka pun secara internal, baik lokal, regional. nasional maupun internasional, sedang bertarung satu sama lain, saling sikut memperebutkan kekuasaan tersebut,” tandasnya.
Menurut Emha Ainun Nadjib, bukan satu hal yang mustahil, kalau tahun 2024, Presiden RI ke 9 adalah Cina. Tetapi menurutnya di negeri ini masih ada kader bangsa yang memegang prinsip: sedumuk bathuk, senyari bumi.

“Jadi jangan berharap, bahwa Indinesia bisa Anda permainkan seperti rencana yang Anda pikirkan,” ujarnya mengultimatum. 

Figur Ahok selama ini memang sangat ditakutkan dan dikhawatirkan melaju ke Istana. Gus Dur pernah bilang, “jangankan gubernur, jadi presiden pun bisa.”

Secara regulatif, Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945 memang memberi kesempatan untuk seluruh WNI yang sejak kelahirannya tidak pernah minta kewarganegaraan lain.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana Menurut Anda

DHANDHANG-GULA NALISIR

Siji Gunungkidul  ing mangsa kawuri  Alas wingit 'king tebih sinawang Sato galak panunggune. Jalma nerak keplayu Asri wana caketing ati ...