1.
TEMBANG DOLANAN, POLITIK SINDIRAN
SINDIRUN
Tidak pernah diduga sama sekali, bahwa tembang dolanan
seperti Dayohe Teko, Sluku-Sluku Bathok, Gundhul Pacul, Buto Galak,
serta
Ilir-Ilir (DSGBI) yang dikenal berabad-abad lamanya itu merupakan karya puisi
bebas kategori mbeling pada jamannya.
Secara
kontekstual kelima puisi itu tidak hanya menyindir, tetapi menampar telak
terhadap perilaku manusia Indonesia yang berinterksi sejak abad 13 hingga 20.
Puisi yang
dikenal dalam sastra moderen selama ini karakternya elitis individual. Dikatakan elitis karena
yang bisa menikmati hanya kalangan yang berpendidikan dan memiliki kepekaan
tertentu. Disebut karya individual
karena setiap puisi pasti dicantumkan
nama pengarang, sementara dalam GBSI anonim. Ciri lain, secara umum puisi
moderen tidak mudah dihafal, puisi dalam bentuk tembang dolanan gampang diingat
luar kepala.
Rohaniwan
sekaligus budayawan, Dick Hartoko dalam buku Pemandu di Dunia Sastra
menyatakan, puisi sebagai lawan dari prosa. Puisi, kata Peter Dick, ini
sapaan akrab Dick Hartoko, merupakan ungkapan rasa yang menggunaan bahasa terikat.
Keterikatan
itu meliputi: paralelisme, metrum, rima, pola bunyi dan lainnya. Sementara
dalam karya prosa hal itu tidak terjadi, karena karya prosa merupakan ungkapan yang menggunakan bahasa secara
bebas.
Puisi Jawa yang
tergabung dalam DSGBI corak serta karakternya begitu unik. Sangat puitis
tetapi prosaik. Anonim, artinya pengarangnya tidak pernah diketaui, mudah
dihapal dan penikmatnya tidak terbatas, mulai dari anak ingusan sampai
kakek-nenek.
DSGBI agak mirip
dengan puisi mbeling asuhan Remy Sylado alias Yopi Tambayong yang banyak
ditulis di majalah Aktuil 1972. Sifat puisi mbeling, menurut Dick adalah:
nakal, sukar diatur, suka memberontak, dan kurang ajar.
Sementara
menurut Sapardi Djoko Damono, penyair
yang kesohor dengan kupulan puisi Dukamu Abadi, ciri puisi mbeling
adalah kelakar, kritik dan ejekan terhadap sikap sungguh-sungguh dari penulis
dalam mengahadapi karya puisi.
Secara
kontekstual DSGBI memenuhi syarat sebagai puisi prosaik yang mbeling.
Bahkan kembelingannya ngelantur tembus sampai ke jaman yang serba moderen.
Cak Nun,
(Emha Ainun Nadjib), budayawan kelahiran Jombang 1951 menyatakatan, manusia
mederen tidak merasa tersindir meski langkahnya diacak-acak oleh puisi Dayohe
Teko, karena selalu salah dalam mengabil keputusan ketika menerima tamu. Dalam
meafsir puisi Dhayoe Teko, saya agak berbeda sedikit dengan Cak Nun.
Dayoh, oleh
penulis puisi Sajak Sepanjang Jalan ini
ditafsirkan sebagai warga asing yang mulai datang ke Jawa Dwipa (sekarang Indonesia) pada akhir abad ke 12,
awal abad ke 13.
Siapa yang
dimaksud ‘Dayoh’ oleh penceramah yang tak pernah bisa berhenti ngomong bersama
Kyai Kanjeng ini?
2.
BEDAHNYA KERAJAAN SINGASARI
DITAMBAL JADAH BASI
Tembang
dolanan dalam posisinya sebagai puisi mbeling versi Jawa, memiliki ambiguitas. Puisi
bertajuk ‘E Dayohe Teko’ meminjam istilah Budayawan Bakdi Sumanto adalah
subyek yang merdeka, bukan obyek.
Puisi yang ditembangkan
seperti ‘E, Dhayoe Teko’ bisa ditafsirkan secara kontekstual, sesuai
dengan pengalaman pembaca selaku penikmat. Orang lain bebas memaknai, tetapi
tidak perlu stersinggung dengan uraian yang berbeda.
“E, dhayohe teko. E, gelarno kloso. E, klasane bedhah. E, tambalen jadah.
E, jadahe mambu. E, pakakno asu. E, asune mati. E, kelekno kali. E, kaline
banjir. E, kelekno pinggir,” hanyalah tembang
yang selama ini dipandang sebagai dolanan bocah. Sementara itu,
interpretasinya bisa berkaitan dengan sejarah yang usianya mencapai tujuh abad.
Emha Ainun
Najib bersama Kyai Kanjeng dalam gelar pencerahan yang beredar di You Tube berkeyaninan,
bahwa ‘dhayoh’ dalam lirik puisi itu adalah ‘tamu’ yang berasal dari
negeri Cina. Emha tidak sedang dalam memprofokasi rasialisme, karena sejarah
memang menunjukkan demikian.
Secara
historis, tentara Tar Tar (tamu) utusan Kaisar Khubilai Khan bersandar di pelabuhan Gresik Jawa Timur
tahun 1293. Misi utama Kedatangan mereka adalah membalas penghinaan Kerta
Negara Raja Singsari terhadap martabat
Tiongkok.
Penduduk Jawa
Dwipa kala itu dalam keadaan tidak utuh (bedhah). Meski demikian kehadiran bala
tentara Tar Tar disambut dengan digelarke kloso / tikar. Artinya mereka
diterima, diberi tempat, meski Singasari sedang bedhah / kacau balau.
Bedahnya
kerajaan Singasari ditutupi / ditambal
jadah mambu / basi. Betapa tidak? Karena Raden Wijaya punya niat lain yang sesungguhnya sangat
buruk tetapi sengaja disembunyikan. Tentara Tar Tar dibujuk mengempur Jaya
Katwang, Raja Kediri.
Niat busuk menantu Joko Dolog ini tercium, langkah
berikutnya jadah basi tersebut dipakake asu.
Tidak lain, asu yang dimkasud adalah bala tentara Cina di bawah pimpinan
Khao Sing, Ikhe Mise dan Shih Pe, yang sebelumnya membantu membunuh Jaya
Katwang dan meruntuhkan Kediri.
Jadah basi
dalam ilmu perang adalah trik atau siasat. Dan Raden Wijaya kenyataannya
berhasil. Dalam lirik puisi digambarkan
asune mati. Bala tentara Cina yang tewas kelekno kali. Artinya mereka
diusir dari tanah Jawa, karena Jawa
Dwipa sedang banjir darah.
Tentara Tar
Tar terdesak kocar-kacir, sebagian yang selamat pulang ke negeri asal, sebagian
dikelekno
pinggir. Artinya mereka yang
memilih tetap tinggal di pulau Jawa, tetapi sebagai warga yang
termaginalisasi.
Fakta
menunjukkan, sampai saat ini, meski kekuatan di bidang ekonomi luar biasa, Cina
di Indonesia tetap menjadi minoritas yang dipinggirkan.
Kemudian
bukan satu hal yang kebetulan kalau ‘dhayoh’ yang minoritas itu ada
hubungan erat dengan ‘bathok’. Kongkritnya, tembang E,
Dhayohe Teko tersambung dengan puisi Sluku-Sluku Bathok. Tentu
ini bukan rekayasa, karena ada bukti
SOLO-BELITUNG MENYATU DUEL DI
IBUKOTA
Warga Cina
yang menetap di Jawa yang oleh Raden Wijaya
pendiri sekaligus Raja Maja Pahit I, memang sengaja dipinggirkan,
dibatasi dengan label khusus sesuai istilah sekarang, minoritas. Marginalisasi
tersebut terjadi hingga sekarang.
Dari rezim
Orde Lama, Orde Baru sampai ke penguasa Reformasi, etnis Cina tetap menyisakan
problema yang berupa bola klasik yang liar. Pustaka Utama Grafiti menterjemahkan
tulisan Stuart W Greif, membahas Cina totok / asli maaupun peranakan /
keturunan di Indonesia.
Soeharto di
masa kejayaan pernah menggagas pembauran, bahkan dia mempelopori kawin politik.
Penguasa Orde Baru ini berbesan dengan Liem Shiu Liong, klonglomerat besar di
jamannya.
Tetap saa
etnis minoritas tak bisa menyatu, pada akhir masa jabatan Soeharto, Cina
menjadi sasaran empuk untuk diobrak-abrik dan dibumi hangus.
Di tangan
Megawati Sukarno Putri, dari sisi kebudayaan dicoba untuk direkatkan kembali dengan
memberi keleluasaan seni barongsai tampil di panggung nasional. Secara
demontratif di layar televisi Megawati acap mengatakan Gong Si Pacai.
Tanpa
disadari upaya penyatuan Jawa-Cina, terjadi di ranah DKI Jakarta. Joko Widodo
dari Solo Kota Bengawan dipertemukan dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dari
Belitung Timur.
Sejarah
minoritas itu terhubung sedemikian nyata di dalam puisi Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo. Si Rama menyang Sala, oleh-olehe payung motha. Mak jenthit lolo lobah, Cina mati ora obah. Nek obah medeni bocah, Nek urip goleka dhuwit.
Kaget?
Hubungan yang begitu transparan tersebut jika disandingkan dengan dhayoh sang minoritas, adalah bukan sesuatu
yang kebetulan. Siapa yang dimaksud dengan Si Rama? Tidak lain adalah penguasa.
Siapa penguasa negeri ini? Alam demokrasi memberi tafsiran, sang penguasa itu adalah
rakyat.
Betapa
kuat dukungan rakyat terhadap Joko Widodo yang nota bene Walikota Solo untuk
memenangkan pertarungan pilgub di DKI Jakarta berpasangan dengan Ahok.
Megawati
sebagai komandan Bnteng itu sebatas nemu kuwuk. Hanya dia tidak berani jujur.
Sebagai politisi, kapan dia mengkader Jokowi
menjadi PDI P bewes? Tidak pernah terjadi. Jokowi muncul secara alami.
Begitu
pula hubungan Prabowo dengan Ahok. Di acara ILC yang dipandu Karni Ilyas, Ahok
terjun ke politik bukan di Gerindra, tetpi di PIB.
Tiga
tahun duet Jawa-Cina memimpin Jakarta, tiba-tiba Mak jentit lo lo lobah, cina mati
ora obah, nek obah medeni bocah, nek urip goleko duwit.
Jokowi
mak jentit memimpin Indonesia masuk ke Istana menyisihkan pasangan
Prabowo-Hatta. Jawa-Bugis melenggang, satu pikiran yang hendak dituntaskan
adalah fenomena dis-orientasi bangsa. Bedahnya Singasari adalah retaknya NKRI.
Lantas?
Ahok ditinggal di DKI, Joko Widodo njentit ke Istana. Ahok tidak boleh mati,
sebab kalau dia mati berbahaya, paling tidak bocah DKI bakal dibikin ketakutan
oleh para mafia anggaran. Ahok ditugasi
mencari duit yang dirampok oleh ‘bajingan negara’ yang menyelinap pada sistem
pemerintahan.
Menjadi
terang benderang hubungan antara dhayoh dengan bathok. Ahok harus mengisi
bathok hingga penuh untuk keperluan membangun ibukota NKRI yang masih ada
kecenderungan koyak.
Tantangan
terberat yang dihadapi Ahok, di DKI masih banyak berkeliaran Buto Galak. Siapa
mereka?
4.
ERA MODEREN PEJABAT NYUNGGI WAKUL ITU
PUN BERULANG
Semenjak Soeharto
menerapkan kebijakan swastanisasi, pegusaha diberi peran untuk
menumbuhkembangkan perekonomian. Golongan minoritas Cina mulai leluasa
menguasai usaha dari hulu sampai hilir. Mereka tampil menjadi gurita raksasa.
Di era
reformasi, minoritas untuk yang pertama kali diperankan oleh Basuki Tahaya
Purnama (Betepe) alias Ahok memimpin DKI Jakarta. Banyak yang ketakutan dan
menolak, tetapi prototipe Ahok melaju seperti tidak terbendung.
Betepe, oleh berbagai pihak senantiasa dihujat dan
disudutkan. Mata Najwa, Kick Kendy,
bahkan Karni Ilyas berusaha merobohkan Ahok dengan pertanyaan-pertanyaan peluru
yang mematikan. Sayang mereka tidak berhasil. Sebaliknya malah membuat Ahok
makin berkibar.
Dengan enak
karena Betepe rupanya memiliki kecerdasan di atas rata-rata, dia berhasil
membungkam kenakalan media. Mantan Bupati Belitung Timur itu tetap menjadi Gundul
pacul yang gembelengan. Dia mutar-mutar
DKI sembari nyunggi wakul.
Ahok, apa ini
kamuflase atau tulus, tetap nyunggi wakul dalam arti bertekad membuat rakyat
Jakarta menjadi makmur. Lawan politik yang didukung sebagian elit masyarakat seperti Ratna Sarumpaet
dengan sengit melawan dan mengkritik langkah yang dilakukan Ahok.
Jago wiring kuning cebol kepalang yang diprediksi Jayabaya, rupanya
benar-benar terjadi. Hanya saja, Betepe tidak cebol banget, karena dia memang
bukan bangsa Jepang, tetapi Cina.
Aling-aling
hukum, dia terus membersihkan DKI dengan cara menggusur pemukikan kumuh. Warga
dipindahkan ke rusun sekelas apartemen dengan fasilitas relatif memadai. “Tidak
selamanya orang miskin dilupakan,” kata Ahok yang bercita-cita mengubah
Indonesia dari Jakarta.
Ahok menjadi
sentral pemberitaan oleh berbagai media. Basuki Tjahaya Purnama semakin
wira-wiri nyunggi wakul, dengan pernyataan-pernyataan yang mendekati sombong
tetapi rendah hati. Hah? Dia berusaha bagaimana caranya, warga DKI harus
makmur, harus kenyang.
Dalam
mengejar kemakmuran DKI, oleh warga yang setengah pro setengah kontra, Ahok
pernah diperingatkan. Pertama, Ahok harus mengatasi banjir air, kedua banjir
mobil si biang kemacetan, ketiga banjir manusia dalam bentuk urbanisasi.
Dengan kepala
yang terus gembelengan, Betepe merespon semua kritikan dengan gaya yang
mendekati kufur. Ahok lupa, bahwa wakul berisi nasi yang dicita-citakan
sewaktu-waktu bisa ngglewang / tumpah.
Kebentus ing
tawang kesandung ing roto, tidak pernah ada di kamus Petahana yang
ingin duduk di kursi DKI untuk keduakalinya ini. Wakul ngglimpang segane dadi sak
latar, mungkin tidak pernah dia perkirakan.
Satu hal yang
serba bisa terjadi, bahwa nasi / kemakmuran
warga DKI itu lepas / tumpah dadi sak latar. Siapa yang
menikmAti? Mereka adalah Buto Galak yang sejak lama sigrak-sigrak.
5. ERAMPOK DUIT NEGARA DIGAMBARKAN SEBAGAI BURON ANEH
DKI Jakarta
adalah kota moderen yang terus menunjukkan wajah kebelantaran. Gaduh, ganas dan membakar. Juga menjadi sentral
sarang perampok uang negara.
Belum satupun
Gubernur DKI mampu menundukkan buto galak yang selalu lunjak-lunjak.
Mereka begitu sigrak nyandak kunco nuli tanjak. Di DKI, bahkan di selurun
negeri ini, klonglomerat adalah gurita raksasa yang membelit sendi
perekonomian, dengan berbagai cara, termasuk tidak segan menyuap para pejabat,
demi pengembangan usaha.
Budaya
pungli, suap, korupsi, nyuci uang sampai dengan para centeng tukang palak di
jalanan, di pasar moderen maupun tradisional
marak, saat ini merupakan realita yang dihadapi Ahok. Raut
perampok itu pating celoneh, seperti buron / hewan yang aneh.
Gubernur DKI
yang bicaranya ceplas-ceplos cenderung kasar dan urakkan itu termasuk berani mencari uang negara
dengan memangkas angaran seluruh SKPD
yang dibawahinya.
“Saya tanya
kepada kepala-kepala dinas, proyek segede ini bisa nggak dijabarkan detail
satuannya. Mereka nggak bisa. Ya udah, semua
proyek gue pangkas,” uar Ahok di acara Kick Andi.
Ahok
menjelaskan, bahwa anggaran dipangkas, tetapi pembangunan terus berjalan ini
agak aneh dan menimbulkan banyak pertanyaan.
“Nggak ada
yang aneh, DKI itu punya BUMD yang duitnya trilyunan. Anggara saya pangkas
tetapi pembangunan di DKI terus berjalan karena yang biayai perusahaan daerah,”
kata Ahok.
Kecenderungan
mencuri uangan negara seperti terorganisir. korupsi berjamaah, bahkan ada yang
model beking-bekingan. Hal tersebut disindir melalui larik “La wong kewe sing mara-marai.”
Pejabat yang
bersih, aparat hukum yang jujur, menghadapi buto galak pilih balik kanan, hi-hi aku wedi ayo adi podo bali.
Keberanian melakukan pembersihan korupsi di jantung
pemerintahan, baik di masa Orde Lama,
Orde Baru, maupun Ordeb Reformasi, itu hilang, karena banyak mata
plerak-plerok komplit dengan kulit
ambengkerok.
Seutuhnya,
tembang bernafas puisi itu memperolok Penguasa / pejabat Kota Jakarta, yang
kerakusannya telah ada sejak jaman Belanda.
Ahok, tidak
pernah dilihat dari prespektif tembang
kuno buto galak. Dia memiliki
keberanian, hampir tiada tanding. Foke,
Gubernur sebelumnya pun dia obrak-abrik, terkait dengan pengeluaran ijin
prinsip reklamasi pantai utara Jakarta.
Esensi cino
urip goleko duwit untuk membangun DKI
Jakarta terjadi di masa Ahok, meski kemudian banyak cacimaki dari
lawan-lawan politiknya.
6.
DERAJAT JOKOWI-JEKA TIDAK LEBIH
TINGGI DARI BOCAH ANGON
Pusat
pemerintahan RI, termasuk pemerintahan di DKI bisa diumpamakan sebagai gerbang pertanian menghijau yang membuat petani ayem karena tandure
wis ngalilir. Karya yang mulai menampakkan harapan, kendalanya tidak
sederhana.
Duet
Jokowi-Jeka, Duet Ahok-Jarot di Panggung
Jakarta, satu sisi memperoleh angin, ada dukungan besar, ada ilir besar,
ada kipas besar dari rakyat Indonesia dan DKI, meski banyak mulut yang kurang
kerjaan.
Presiden, Gubernur, Bupati / Walikota sampai Kades /
Lurah memegang kekuasaan dalam format temante anyar. Ke depan, mereka adalah pelopor dalam
menggapai cita-cita baru. Para pemimpin harus berani menek blimbing, meski
pohonnya terbilang licin.
Perlu
diketahui, derajad Jokowi-Jeka serta Ahok-Jrot tidak lebih tinggi dari Cah
Angon. Mereka menggembara sekaligus menggembala 251 juta rakyat, agar
tidak satupun kelaparan secara jasmani rohani .
Lunyu-lunyu peneken, merupakan perintah rakyat yang harus mereka kerjakan.
Satu kritikan halus namun pedas, pakaian yang disebut dodot yang dikenakan para
pejabat di negeri kumuh dan kotor, karena anomali syahwat.
Sebenarnya
rusaknya dodot / kekuasaan itu tidak separah yang dibayangkan orang, dengan
catatan ada keberanian untuk melakukan taubat nasuha. Disebutkan, bahwa dodot
iro kumitir bedah ing pinggir.
Taubat yang
dimaksud cukup dengan domono
clumatono, perbaiki dan piara
dalam kesadaran kembali ke jalan lurus. Untuk apa? Kanggo sebo mengko sore.
Bejatnya para
pemimpin masa kini masih diberi kesempatan
her-registrasi, pendaftaran ulang untuk kembali ke fitroh, kembali
kefitri. Penutup tembang ilir-ilir menyyebutkan, mumpung padang rembulane, mumpung jembar
kalangane.
Roh Nawacita,
itu bukan sekedar ingin membangun karakter bangsa dalam tataran rakyat.
Mengeluh anak muda tidak paham sopan-satun, ora ngerti uanggah-ungguh
adalah tidak adil kalau tidak pernah menyesali kelakuan para pejabat yang tidak
segan merampok hak rakyat.
Banyaknya
pejabat yang tidak sopan, membuat negeri ini butuh lembaga adhoc seperti KPK.
Harapanya KPK tidak punya pekerjaan dan bubar dengan sendirinya kalau
Jokowi-Jeka juga Ahok-Jarot berhasil memberangus aparat negara dengan tembang
ILIR-ILIR. Nah.
7.
TAHUN 2024 PRESIDEN INDONESIA CINA?
Terlepas dari berhasil dan tidaknya
pembangunan karakter bangsa, perkembangan politik (kekuasaan) dan atau
pemerintahan di Indonesia mulai menampakkan keanehan. Ada semacam akrobat
jungkir balik. Realitas tak terbantahkan, PDI Perjuangan adalah pemenang pemilu
legislatif 2014. Tetapi fakta lain menunjukkan bahwa Partai Banteng Moncong
Putih tersebut bukan penguasa di negeri ini. Sedang dan sudah berlangsung
gerakan besar menuju kepemimpin RI di masa datang.
Kondisi seperti itu membuat Budi
Utama, mantan Ketua DPRD Gunungkidul kader gaek PDI P terheran-heran. Bahkan,
politisi yang sekarang tidak menjadi apa-apa, serta siapa-siapa, kecuali
menjadi dirinya sendiri itu galau dan gerah.
“Jokowi Kader PDI Perjuangan terpilih menjadi Presiden RI ke 7.
PDI Perjuangan pemenang pemilu legislatif. Tetapi kenapa penguasa negeri kok Golkar ya?” demikian kegerahannya tersirat melalui saluran medsos.
PDI Perjuangan pemenang pemilu legislatif. Tetapi kenapa penguasa negeri kok Golkar ya?” demikian kegerahannya tersirat melalui saluran medsos.
Dia mulai merasakan, bahwa di negeri
ini ada yang tidak beres. Dia yakin ada aktor yang mengatur semua
kejadian itu.
“Saya menduga ini ada akrobat politik
dari Ketua Golkar untuk memenangkan Pilpres selanjutnya,” tandasnya.
Di sisi lain Budi Utama mengaitkan
pemimpin bangsa dengan ramalan Jayabaya yang menyebut datangnya jago wiring
kuning dari tanah seberang. Dalam ramalan Jayabaya disebutkan munculnya ‘jago
kate wiring kuning, dedege cebol kepalang’.
“Kalau si jago kate itu sudah
terjadi, yaitu masuknya Jepang mengalahkan penjajah Belanda. Tetapi Jago wiring
kuning kali ini lain cerita. Jago wiring kuning masuk melalui sistem tata
pemerintahan. Dia menggunakan aturan dan payung hukum yang berlaku di negeri
ini untuk berbagai kepentingan kelompok mereka,” ulasnya.
Dan ini, lanjut Budi Utama, termasuk
penguasa bangsa di masa mendatang. Hal ini tidak bisa dielakkan manakala
disangkutpautkan dengan hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta.
Terpisah, budayawan, seniman teater
juga penyair, Emha Ainun Nadjib dalam berbagai kesempatan mengatakan, penguasa
negeri ini tidak pernah menampakkan sosok aslinya.
“Jokowi tidak berkuasa. Megawati
tidak berkuasa. Anak-anak Megawati, (yang dimaksud termasuk para kader PDI P)
lebih makin tidak berkuasa, apalagi Golkar,” ucap Cak Nun, di Youtube, yang
membuat orang awam mungkin bingung.
Menurutnya, penguasa di negeri ini
tidak pernah muncul di televisi. Tidak pernah diekspose oleh media cetak, atau
media online. Namun demikian cengkeraman tangannya sangat terasa dan berada di
mana-mana.
“Dia bukan orang tetapi
kelompok pemilik modal atau RAS. Yang jelas mereka adalah Yahudi Timur dan
Cina,” tuding Emha.
Ada setting atau konspirasi besar,
demikian Emha menyebut, untuk membuat Indonesia menjadi ‘panggung bermain’
menurut kehendak wudelnya para pemilik uang.
“Sekarang di antara mereka pun secara
internal, baik lokal, regional. nasional maupun internasional, sedang bertarung
satu sama lain, saling sikut memperebutkan kekuasaan tersebut,” tandasnya.
Menurut Emha Ainun Nadjib, bukan satu
hal yang mustahil, kalau tahun 2024, Presiden RI ke 9 adalah Cina. Tetapi
menurutnya di negeri ini masih ada kader bangsa yang memegang prinsip: sedumuk bathuk, senyari bumi.
“Jadi jangan berharap, bahwa
Indinesia bisa Anda permainkan seperti rencana yang Anda pikirkan,” ujarnya
mengultimatum.
Figur Ahok
selama ini memang sangat ditakutkan dan dikhawatirkan melaju ke Istana. Gus Dur
pernah bilang, “jangankan gubernur, jadi presiden pun bisa.”
Secara
regulatif, Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945 memang memberi kesempatan untuk seluruh WNI
yang sejak kelahirannya tidak pernah minta kewarganegaraan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda