Cara kerja BPD diniai tidak maksimal. Berbagai tokoh di Gunungkidul mulai menyoroti.
Meski ada yang bernada membela, tetapi tidak sedikit yang mengkritik secara pedas
dan tajam.
Di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, terkait dengan tata
pemerintahan, masyarakat diberi ruang untuk berpartisipasi. Prakteknya, hal seperti
itu tidak pernah terjadi, karena hak masyarakat dianggap telah terwakili oleh
lembaga Bada Permusyawaratan Desa (BPD). Sementara menurut UUD 145, pada
hakekatnya hak seseorang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun. Ini merupakan penyebab
utama, akselersi pembangunan desa menjadi tersendat.
Arif
Wibowo, mantan anggota BPD yang kali ini duduk sebagai anggota DPRD II
Gunngkidul merespon fenomena di atas. Kader PKS ini nadanya sedikit membela
BPD. Dia menyatakan, bahwa BPD pada
masanya dengan BPD saat ini jauh berbeda.
“Mengapa
BPD tidak terjun ke masyarakat untuk meyerap aspirasi, karena kali pertama ada
BPD, tetapi tidak ada anggran. Di samping itu, saat ini fungsi BPD bukan lagi
sebagai lembaga perwakilan, melainkan sebagai lembaga permusyawaratan,” kata
Arif Wibowo, Sabtu 3/9/2016.
Menurutnya
aspirasi warga dewasa ini cukup disampaikan oleh Dukuh kepada Desa, yang proses
serta mekanisme penjaringannya dilakukan
pada saat kumpulan RT / RW di forum arisan.
Pendapat Arif Wibowo berseberangan alur pikiran Dodi
Wijaya yang juga anggota DPRD Gunungkidul. “Setahu saya, tugas dan fungsi
BPD mirip DPRD. Kaitanya dengan APB-Desa, perdes, dan pengawasan, seharusnya didaului
dengan melakukan penyerapan aspirasi warga,” ujar Dodi.
Pemikiran Dodi sealur dengan Undang-Undang No 6
Tahun 2014, Pasal 4 huruf d. Di sana disebutkan, bahwa Pengaturan Desa bertujuan
mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan
potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama.
Dodi Wijaya juga merujuk Pasal 68 Ayat (1) huruf c. Di
dalam pasal tersebut dinyatakan, masyarakat desa berhak menyampaikan aspirasi,
saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa.
Dua pasal yang
melatarbelakani pemikiran Dodi di atas sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
28E Ayat 3 yang berbunyi: setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Di dalam praktek tata pemerintahan desa, partisipasi tidak pernah terwujut.
Banyak warga yang tidak mengerti program pembangunan desa, karena mereka
memang tidak diberi ruang untuk berpartisipasi. Hal ini digaris bawahi Slamet
SPd. MM, anggota DPRD DIY. “BPD tidak pernah melakukan penjaringan aspirasi,”
timpalnya.
Sangat ironis,
ini pengalaman Budi Haryanto, selaku Sekdes Desa Karangmojo, bahwa yang banyak
menyerap aspirasi warga justru pemerintah desa, bukan BPD. “Bukan sekedar latah
mengekor Presiden Jokowi. Perangkat desa sudah selayaknya berlaku demikian,” ujarnya
Patut disayangkan, bahwa BPD dalam hal ini menjadi lembaga yang justru
kontra dengan kemauan Peraturan serta Perundang-Undangan yang berlaku.
Terindikasi, pasal yang berkaitan dengan fungsi serta kewajiban BPD tidak
berjalan mulus.
Pasal 55 huruf b. yang menyatakan bahwa BPD berfungsi
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa tidak dijalankan dengan baik.
Termasuk Pasal 63 huruf c. yang substasinya BPD menyerap, menampung,
menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa.
Karena Pasal
yang memuat fungsi serta kewajiban BPD tidak dijalankan secara konsekuen,
akibatnya aspirasi warga desa tertahan. BPD merasa, bahwa yang dipikirkan
secara personal merupakan representasi pendapat masyarskat. Dalam hal ini BPD
yang rohnya merupakan ‘Badan Permusyawaratan’ berubah bentuk menjadi ‘Badan
Perampok’ partisipasi masyarkat.
Makin
pedes dan tajam, “Pada hemat saya BPD itu stagnan, dan tidak proaktif,”
timbrung Ton Martono, dalam kapasitasnya sekaku warga desa Karang rejek, Kecamatan
Wonosari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana Menurut Anda